Koran Sulindo – Merdeka bagi bangsa Indonesia bukan sekadar rakyat bisa makan atau hidup berkelimpahan harta. Kalau hanya itu, kemungkinannya juga bisa terbuka sangat lebar di bawah alam penjajahan. Apalagi, seperti kata Bung Karno, yang disampaikan pada “Rapat para Panglima ALRI” di Jakarta, 17 Juni 1965, neo-kolonialisme (nekolim) tidak anti-kemerdekaan an sich. Malah, menurut Bung Karno, kemerdekaan itu dipergunakan nekolim untuk menjalankan neokolonialisme kalau kemerdekaan diartikan secara ansich.
“Yang ditakuti, yang tidak disenangi, yang dibenci oleh nekolim yaitu isi kemerdekaan kita. Dus revolusi kita, revolusi kita yang mau mengadakan suatu dunia baru, baik di sini maupun di luar, tanpa exploitation de l’homme par l’homme dan exploitation de nation par nation. Sebab inti, inti daripada imperialisme adalah exploitation, baik de nation par nation maupun de l’homme par l’homme…. inti daripada imperialisme adalah pengedukan kekayaan, menanamkan power,” kata Bung Karno.
Kita pun sama-sama tahu, bahkan di era kemerdekaan, kekayaan negeri ini banyak dikeduk pihak asing, termasuk kekayaan laut kita. Yang terakhir, 17 Juni 2016 lalu, 12 kapal ikan dari Tiongkok mencoba mengambil ikan di Laut Natuna, Kepulauan Riau. Untunglah, aparat TNI Angkatan Laut bergerak cepat, sehingga satu dari 12 kapal itu berhasil ditangkap. Namun, pemerintah Tiongkok kemudian melayangkan protes. Karena, mereka merasa kapal-kapal itu masih melakukan penangkapan ikan di wilayah perairannya.
Laut Natuna memang berbatasan langsung dengan Laut Cina Selatan, yang oleh pihak Tiongkok diklaim sebagai wilayahnya. Bahkan, meski Tiongkok menyatakan Kepulauan Natuna bukan bagian dari wilayahnya, sebagian Laut Natuna yang masuk zona ekonomi eksklusif Indonesia dibatasi dengan sembilan garis putus-putus (nine dash lines) pada peta mereka. Indonesia sudah sejak puluhan tahun lalu melayangkan surat diplomasi, menanyakan maksud garis putus-putus itu ke pemerintah Tiongkok, tapi sampai kini belum memperoleh tanggapan.
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, terdiri dari belasan ribu pulau, wilayah perairan Indonesia memang sangat rawan. Apalagi, posisi Indonesia diapit dua samudera dan dua benua, yang sangat strategis.
Bung Karno jauh-jauh hari sudah mengingatkan soal tersebut. Itu sebabnya, pada Hari Armada, 6 Januari 1961, Bung Karno mengatakan negara kita hanya bisa menjadi besar dan kuat jika ada persatuan perhubungan penguasaan yang mutlak atas lautan.
Tahun 2004 lalu, Presiden Kelima Republik Indonesia, Megawati Soekarnoputri, sempat mengusulkan agar dibuat peta baru Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karena, kita selama ini tidak pernah tahu secara persis berapa luas wilayah negara kita sebenarnya. Selalu disebut-sebut Indonesia punya 17 ribu pulau. Padahal, menurut Megawati, itu kesalahan besar. Karena, hasil pemetaan terbaru menunjukkan pulau di Indonesia berjumlah 18.860 buah. Itu pun masih terus diteliti. “Kalau tidak ada peta yang jelas, orang bisa seenaknya mencaplok pulau-pulau yang belum bernama. Bagaimana negara kita bisa berdaulat?” kata putri Bung Karno itu.
Ya, menjadi negara yang berdaulat, itulah yang harus selalu diperjuangkan bangsa ini setelah berhasil memperjuangkan kemerdekaan dengan air mata, harta, dan nyawa.
Laporan utama Koran Suluh Indonesia edisi 7 mengangkat topik kedaulatan negara, terutama dalam konflik di Laut Cina Selatan. Koran Suluh Indonesia edisi 7 beredar Senin, 27 Juni 2016. Untuk info berlangganan dan pemasangan iklan, kontak Setyo Gunawan atau Janfry Sihombing di nomor telepon yang tertera di boks redaksi. [PUR]