Pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada-Yogyakarta, Dr Kuskridho Ambardi, menilai sosialisme Indonesia yang dirumuskan zaman Bung Karno perlu dieksplorasi dan ada peninjauan ulang, dengan penerjemahan yang sesuai konteks sekarang. “Ide Bung Karno harus dihadapkan pada tantangan masa kini. Bukan sekadar dikutip-kutip belaka,” tuturnya.
Berikut petikan wawancara wartawan Suluh Indonesia Yuyuk Sugarman dengan penulis buku Mengungkap Politik Kartel: Studi tentang Sistem Kepartaian di Era Reformasi itu.
Apa relevansi konsepsi sosialisme Indonesia, terutama yang digagas Bung Karno, untuk Indonesia hari ini?
Kalau tujuan dasar sosialisme Bung Karno tentu masih relevan, yakni pentingnya pencapaian kesejahteraan yang berkeadilan. Tapi, penerjemahan strategis dalam sosialisme ala Indonesia yang dirumuskan Bung Karno masih perlu kita telaah. Sebab, itu dirumuskan dalam berberapa ungkapan di tahun 1950- an dan 1960-an, seperti Manipol Usdek, Nasakom, dan berbagai dekon (deklarasi ekonomi).
Inti sosialisme ala Indonesia yang dirumuskan saat itu memuat tiga ciri. Pertama: tumpuan aktor ekonomi pada perusahaan negara atau dalam bahasa sekarang BUMN. Kedua: prinsip pembangunan berbasis perencanaan negara. Ketiga: ekonomi yang mencerminkan egalitarianisme dan tidak elitis—yang dalam bahasa sekarang disebut ekonomi kerakyatan. Di antara tiga ciri ini mungkin tak semuanya bisa diadopsi dengan mudah dan seolah secara otomatis akan menghasilkan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat.
Aspek mana saja dari konsepsi sosialisme Bung Karno yang masih relevan dengan situasi Indonesia saat ini?
Aspek yang paling relevan saat ini, saya kira, adalah aspek ketiga, ekonomi egalitar yang tidak elitis. Alasannya, tumpuan terlalu besar pada konglomerasi terbukti runtuh di Indonesia pada tahun 1998. Dan tetesan ke bawah terlalu sedikit. Dan kini ketimpangan pendapatan di Indonesia juga makin melebar.
Sementara itu, kedua ciri lainnya perlu dilihat ulang. BUMN di Indonesia adalah jago kandang yang lebih memiliki nilai politis ketimbang ekonomis. Terlepas dari beberapa BUMN yang bagus, mayoritas dari BUMN tak mampu menjadi kekuatan ekonomi yang melampaui Indonesia seperti SingTel.
Karena lebih banyak yang jadi jago kandang dan mendapat proteksi politik, BUMN tidak bisa menjadi motor penggerak ekonomi dan pembangunan.
Kalau competitiveness menjadi ciri penting perusahaan, BUMN kita belum teruji sampai nanti ketika Masyarakat Ekonomi ASEAN berjalan.
Aspek ketiga, perencanaan pembangunan, juga perlu ditinjau ulang. Banyak negara maju yang tak mengandalkan perencanaan pembangunan secara detail ternyata juga berhasil menyejahterakan rakyatnya.
Jadi, yang diperlukan bukan perencanaan yang detail, tapi arah kebijakan yang jelas. Sementara itu, pada saat yang sama, variasi kemampuan daerah juga tak akan cocok dengan perencanaan yang terpusat dan terlalu rigid.
Pendeknya, dari ketiga ciri pokok sosialisme ala Indonesia yang dirumuskan zaman Bung Karno perlu dieksplorasi dan ditinjau ulang dengan penerjemahan yang sesuai konteks sekarang.
Ada pendapat yang mengatakan, qua-konsepsi sebenarnya gagasan-gagasan Bung Karno–seperti sosialisme-marhaen dan Trisakti—sudah betul. Hanya saja, realitas yang terjadi hari ini belum compatible dengan gagasan-gagasan Bung Karno tersebut. Pendapat Anda?
Justru gagasannya yang harus direvisi dan dipikirkan ulang jika realitasnya berubah. Metaforanya, kita tidak bisa berjaya dengan ide koran cetak dan mengabaikan realitas yang berubah menjadi digital. Kita tak bisa menyalahkan teknologi digital.
Apakah Anda masih berkeyakinan bahwa gagasan Bung Karno di atas bisa diterapkan di Indonesia hari ini? Jika ada penyesuaian, aspek mana saja yang harus disesuaikan dengan realitas zaman?
Yang harus dihitung adalah perubahan realitas dan tantangan yang muncul di dalamnya. Jadi, misalnya, kalau tantangan sekarang adalah meningkatkan competitiveness untuk menghadapi globalisasi perekonomian, BUMN pilihan aktor ekonomi harus juga dikaitkan dengan peningkatan kemampuan berkompetisi dengan pemain dari luar. Tanpa perbaikan itu, BUMN hanya akan menjadi beban ekonomi dan hanya bernilai politik saja.
Kalau perencanaan terpusat justru mengurangi kemampuan daerah atau perusahaan lokal, berarti perencanaan itu harus diubah. Misalnya, justru bagaimana menumbuhkan dan memberi ruang perusahaan di daerah untuk berkembang. Atau, bagaimana pemerintah memberi fasilitas tautan perusahaan-perusahaan lokal ke perusahaan multinasional sehingga perusahaan lokal masuk dalam jaringan pertambahan nilai produksi internasional atau global.
Dengan kata lain, ide Bung Karno harus dihadapkan pada tantangan masa kini. Bukan sekadar dikutip-kutip belaka.
Apakah konsep Nawacita yang dijalankan pemerintahan Jokowi dalam praktiknya sudah sejalan dengan gagasan sosialisme ataupun Trisakti Bung Karno?
Slogannya diambil, khususnya Trisakti yang disampaikan Bung Karno dalam pidato Nawaksara tahun 1966, tapi terjemahan dan praktiknya tidak selalu cocok. Misalnya prinsip berdikari atau berdiri di atas kaki sendiri. Sekarang kita berdiri dengan kaki buatan Cina, bikinan Jepang, dan kaki buatan Amerika Serikat. Tidak selalu itu artinya buruk. Tapi, slogan berdikari yang diambil jelas tidak diterjemahkan dengan jitu.
Nawacita sesungguhnya hanya bagian kecil dari gagasan bung Karno. Diambil ungkapan yang catchy saja.
Seberapa jauh nilai-nilai sosialisme ala Bung Karno telah diterapkan di negara ini sejak Proklamasi Kemerdekaan sampai sekarang?
Saya kira diterapkan sangat minimal. Di tahun 1950, gagasan Bung Karno tentang sosialisme ala Indonesia belum berkembang penuh sampai pada kebijakan yang komprehensif dan kukuh. Di zaman Orde Baru ide itu tak dipakai. Dan di era reformasi diadopsi sebagai slogan dan belum sepenuhnya didialogkan dengan tantangan nyata.
Kita lupa berdebat di level konseptualnya dan alpa berdiskusi di level kebijakannya. []