Soewarni Pringgodigdo dan Soewarsih Djojopoespito 1925. (sumber: Wikipedia)

Kongres Pemuda 1928 yang berlangsung tanggal 27-28 Oktober 1928 di Jakarta menghasilkan Sumpah Pemuda 1928. Kongres tersebut dipimpin oleh Sugondo Djojopuspito, seorang anggota organisasi Persatuan Pemuda Indonesia (PPI). Sugondo menjadi pemimpin kongres pemuda II atas persetujuan pimpinan PPI di Belanda, yakni Drs. Mohammad Hatta dan pimpinan PPI di Bandung, Ir. Soekarno.

Sugondo mempunyai seorang istri yang sangat mendukung perjuangannya selama masa itu. Istrinya bernama Soewarsih Djojopoespito (Suwarsih), seorang wanita pribumi yang mendapat kesempatan untuk bersekolah di Europeesche Kweekschool yang merupakan sekolah guru Belanda saat itu. Ketika Suwarsih bersekolah di sana, hanya ada 2 orang pribumi dari 28 murid.

Suwarsih merupakan wanita kelahiran Cibatok, Bogor, Jawa Barat pada 20 April 1912. Suwarsih berasal dari keluarga sederhana dan memiliki nama kecil Tjijih. Ayahnya, Raden Bagoes Noersaid Djajasapoetra berasal dari Cirebon, merupakan sorang Dalang wayang kulit yang andal, Ia mampu menampilkan pagelaran Wayang Kulit dalam tiga bahasa yakni Jawa, Sunda, dan Indonesia, meskipun dirinya buta huruf.

Suwarsih bersama kakak perempuannya, Suwarni, pernah mengenyam pendidikan dasar di Kartini School yang didirikan Van Devanter di Bogor . Sekolah ini setingkat Hollandsch-Inlandsche School (HIS). Suwarsih menempuh ppendidikan di Kartini School selama 7 tahun dari tahun 1919-1926. Usai bersekolah di Kartini School, Suwarsih menempuh pendidikan tingkat menengah selama tiga tahun di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Bogor dari tahun 1926-1929.

Selesai mengenyam pendidikan di MULO, Suwarsih mendapatkan beasiswa penuh berupa pembayaran uang sekolah dan penyediaan asrama untuk melanjutkan pendidikan di Europeesche Kweekschool dimana hanya ada beberapa pribumi yang dapat mengikuti pendidikan disekolah ini.

Setelah lulus dari Europeesche Kweekschool pada tahun 1932 Suwarsih pindah ke Purwakarta Jawa Barat dan membagikan ilmu yang Ia dapat selama pendidikan dengan menjadi seorang guru disana. Setelah setahun mengajar di Purwakarta, Suwarsih menikah dengan Sugondo Djojopuspito di Cibadak, lalu Ia bersama suaminya pindah dari Purwakarta ke Bandung. Setelah pindah ke Bandung, Jawa Barat bersama suaminya, Suwarsih tidak lantas berhenti menjadi seorang guru, Ia melanjutkan perjuangannya dalam mencerdaskan bangsa dengan menjadi seorang guru di sekolah Tamansiswa Bandung, dimana sang suami, Sugondo, menjadi Kepala Sekolah di sekolah tersebut.

Meski Suwarsih mendapatkan pendidikan dari sekolah Belanda dan memiliki ijazah serta kesempatan untuk mengajar di sekolah Belanda, namun Ia lebih memilih untuk menjadi seorang guru di perguruan pribumi. Selain menjadi seorang guru, Suwarsih juga merupakan anggota organisasi Perkoempoelan Perempoean Soenda meskipun hanya sebagai anggota dan tidak memiliki jabatan strategis di organisasi tersebut.

Suwarsih sempat mendirikan sekolah sendiri bernama Loka Siswa namun sekolah tersebut kemudian tutup akibat tidak ada murid yang mendaftar. Pada tahun 1936 saat suaminya, Sugondo Djojopuspito diterima bekerja di Tamansiswa Semarang, Ia ikut berpindah ke Semarang dan mengajar di sekolah Drs. Sigit selama dua tahun. Setelah dua tahun mengajar di Sekolah Drs Sigit, pada tahun 1938 Ia kembali ke Bandung untuk mengajar di Pergoeroean Soenda.

Selain mengajar di sekolah, Suwarsih juga dikenal pandai bernyanyi dan memainkan piano, Ia belajar piano di Eropeesche Kweekschool Surabaya. Saat menidurkan anak bungsunya, Ia seringkali menyanyikan Wiegenlied Ciptaan W.A. Mozart dengan terjemahan Tidurlah Putra Bunda.

Tidak hanya bernyanyi dan bermain piano, Suwarsih juga memiliki karya sastra berupa novel dan beberapa artikel, karyanya yang paling terkenal yakni Novel berjudulManusia Bebas“, berikut Novel karya Suwarsih yang pernah di terbitkan:

1. Buiten het gareel, De Haan Uitgevery, Utrecht, 1940. Dengan kata pengantar dari E. du Perron, Cetakan ke-dua Amsterdam, 1946 [2] Diarsipkan 2008-05-28 di Wayback Machine., terbit atas usaha sastrawan Eduard du Peron

2. Tudjuh tjeritera pendek, Pustaka Rakjat – Jakarta, 1951. Karangan pertama dari dia dalam bahasa Indonesia setelah Kemerdeakaan, diterbitkan atas bantuan Prof. Takdir Alisyahbana (pemilik Pustaka Rakyat)

3. Empat serangkai. Kumpulan tjerita pendek. Pustaka Rakyat – Jakarta, 1954. Diterbitkan atas bantuan Prof. Takdir Alisyahbana (pemilik Pustaka Rakyat)

4. Riwayat hidup Nabi Muhammad s.a.w. Bulan Bintang – Jakarta, 1956 (cetakan kedua 1976), dengan kata pengantar H. HAMKA

5. Marjanah. Balai Pustaka (1959)- Jakarta, 1959. Novel berbahasa Sunda, karangan pertama dari dia tahun 1938, tetapi ditolak oleh Balai Poestaka, kemudian diterjemahkan dalam bahasa Belanda sebagai Buiten het Gareel‘ pada tahun 1939 dan terbit di Utrecht tahun 1940 atas bantuan sastrawan Eduard du Peron

6. Siluman Karangkobar. Pembangunan – Jakarta, 1963. Terbit atas bantuan Hassan Sadhily

7. Hati wanita. Pembangunan – Jakarta, 1964. Terbit atas bantuan Hassan Sadhily

8. Manusia bebas. Djambatan – Jakarta, 1975. Penulisan ulang: Buiten het Gareel, terbit atas bantuan Pemerintah Kerajaan Belanda

9. Maryati. Pustaka Jaya – Jakarta, 1982. Terbit atas bantuan Ayip Rosyadi.

Suwarsih wafat pada 24 Agustus 1977 serta dan diberikan kehormatan untuk dimakamkan di Pemakamam Tamansiswa Taman Wijayabrata di Celeban, Umbulharjo – Yogyakarta.

Dalam rangka hari ulang tahun Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia ke-68, Pemerintah menganugerahkan Tanda Kehormatan Bintang Budaya Parama Dharma pada tanggal 14 Agustus 2013 di Istana Negara oleh Presiden SBY kepada ahli warisnya. [IQT]