Potret kelompok 'Dahomey Amazons', mengunjungi Paris (Eropa), Sekitar 01 / 02-1891. (blackhistorymonth)

Jika selama ini kisah prajurit selalu dikaitkan dengan keberanian laki-laki di medan perang, maka sejarah Afrika Barat menyimpan sejarah yang berbeda dimana sebuah perang dipimpin oleh keberanian para perempuan. Bukan hanya mendampingi dari balik layar, mereka mengangkat senjata, bertempur di garis depan, dan mempertaruhkan nyawa demi tanah air serta rajanya.

Di tengah gemuruh genderang perang dan hiruk pikuk strategi kerajaan, mereka hadir bukan sebagai pengecualian, melainkan kekuatan utama. Kisah itu berasal dari Kerajaan Dahomey, sebuah kekuatan besar yang pernah berjaya di wilayah yang kini dikenal sebagai Benin. Di sanalah, lahir pasukan militer yang seluruh anggotanya adalah perempuan, prajurit tangguh yang menantang norma, menembus batas, dan membuktikan bahwa keberanian tidak pernah mengenal jenis kelamin.

Pada masa kejayaan Kerajaan Dahomey yang kini menjadi bagian dari wilayah negara Benin hidup sebuah korps militer yang luar biasa dan tidak biasa yaitu prajurit wanita Dahomey. Dikenal karena keberanian, keganasan, dan loyalitas mereka, para prajurit ini bukan sekadar simbol kekuatan perempuan, melainkan penjaga takhta, pelindung raja, sekaligus garda depan dalam berbagai medan tempur.

Dalam bahasa Fon, bahasa masyarakat Dahomey, mereka disebut mino, yang berarti “ibu kami”, atau ahosi, yang berarti “istri raja”. Namun, ketika bangsa Eropa pertama kali menyaksikan langsung kehebatan mereka di medan perang, mereka menjuluki pasukan ini sebagai “Amazon” merujuk pada prajurit wanita legendaris dalam mitologi Yunani. Julukan itu melekat dan menjadi pengakuan dunia atas keberanian para wanita Dahomey.

Asal Usul yang Diselimuti Misteri

Asal mula pembentukan pasukan ini masih menyisakan ruang bagi spekulasi sejarah. Beberapa sejarawan menduga bahwa kehadiran prajurit wanita adalah respons atas berkurangnya jumlah laki-laki akibat perang dengan kerajaan tetangga maupun praktik perdagangan budak. Teori lain mengaitkannya dengan aturan internal istana yang melarang pria memasuki kompleks kerajaan pada malam hari demi mencegah upaya kudeta. Apa pun penyebabnya, yang jelas, para wanita ini telah menjadi bagian dari istana sejak setidaknya abad ke-17 atau awal abad ke-18.

Melansir laman Britannica, di masa pemerintahan Raja Ghezo (1818–1858), kekuatan mereka diperluas dan dilembagakan. Jumlah prajurit wanita meningkat pesat hingga mencapai ribuan orang, yang diperkirakan mencakup sekitar sepertiga dari seluruh kekuatan militer kerajaan. Mereka berasal dari beragam latar belakang ada yang bergabung secara sukarela, tetapi tak sedikit pula yang direkrut secara paksa, termasuk wanita yang dijatuhi hukuman atau ditangkap dalam penyerbuan ke wilayah musuh.

Menjadi prajurit wanita di Dahomey berarti bersedia menjalani pelatihan keras dan menghadapi risiko kematian di medan perang. Namun, status sosial yang menyertai posisi ini membuat banyak wanita tertarik. Mereka tinggal di istana, disediakan makanan, alkohol, tembakau, bahkan dilayani oleh budak.

Ketika mereka berjalan di ruang publik, seorang pelayan akan berjalan di depan mereka sambil membunyikan lonceng sebagai tanda agar warga menyingkir dan para pria menundukkan pandangan mereka. Ini bukan hanya bentuk perlindungan, melainkan juga simbol pengakuan atas kehormatan mereka.

Pasukan ini memiliki struktur organisasi militer yang sangat teratur. Mereka dibagi ke dalam berbagai resimen dengan spesialisasi tugas yang berbeda-beda. Salah satu yang tertua adalah para Gbeto, pemburu ulung yang dikenal ahli dalam melacak dan membunuh gajah. Banyak yang meyakini bahwa kelompok inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya korps prajurit wanita Dahomey.

Seiring waktu, lahir resimen Gulohento yang menjadi kelompok terbesar. Mereka dipersenjatai dengan senapan, namun tak jarang membawa pedang pendek dan tombak sebagai senjata tambahan. Di sisi lain, resimen Nyekplohento dikenal karena reputasinya yang kejam dan brutal. Kelompok pemanah ini sangat ditakuti karena ketepatan dan keberaniannya.

Ada pula resimen Gohento, kelompok pemanah yang menggunakan busur dan anak panah beracun. Namun, dengan semakin meluasnya penggunaan senjata api, peran mereka mulai bergeser menjadi pasukan pendukung. Sementara itu, resimen Agbalya bertugas mengoperasikan senjata artileri berat yang tidak hanya berfungsi sebagai alat tempur, tetapi juga sebagai senjata psikologis untuk mengguncang mental musuh sebelum pertempuran dimulai. Setiap resimen memiliki seragam, simbol, serta ritual khas yang memperkuat identitas dan kohesi kelompok mereka.

Perang, Kejatuhan, dan Jejak Budaya

Prajurit wanita Dahomey tidak hanya menjadi simbol, mereka benar-benar tampil di medan tempur. Sejarah mencatat keterlibatan mereka dalam Pertempuran Savi pada tahun 1727 sebagai salah satu debut militer besar. Mereka juga terlibat dalam dua perang besar melawan Prancis pada 1890 dan 1892. Namun, setelah kekalahan dalam pertempuran terakhir pada November 1892, Kerajaan Dahomey jatuh ke tangan kolonial, dan pasukan prajurit wanita pun dibubarkan.

Meski demikian, jejak mereka tidak hilang begitu saja. Warisan para prajurit wanita Dahomey hidup kembali dalam berbagai bentuk budaya populer modern. Mereka menjadi inspirasi utama bagi Dora Milaje, pengawal elit dalam semesta Black Panther milik Marvel. Bahkan film The Woman King (2022) yang dibintangi oleh Viola Davis secara khusus mengangkat kisah seorang jenderal wanita Dahomey dalam balutan fiksi sejarah yang menggugah.

Prajurit wanita Dahomey adalah bukti nyata bahwa sejarah tidak hanya ditulis oleh laki-laki. Di tanah Afrika Barat, para wanita ini menentang norma, memegang senjata, dan mempertaruhkan nyawa untuk melindungi tanah air serta rajanya. Mereka bukan hanya pejuang, tetapi juga penjaga kehormatan, simbol keteguhan, dan pelopor keberanian perempuan dalam sejarah militer dunia. Kisah mereka, yang dahulu nyaris dilupakan, kini bersinar kembali sebagai inspirasi lintas zaman. [UN]