Koran Sulindo – Di balik lembaran sejarah peradaban kuno yang sarat akan penemuan dan pemikiran filsafat, terselip kisah inspiratif sekaligus tragis tentang seorang wanita bernama Hypatia dari Alexandria.
Di tengah dominasi laki-laki dalam dunia akademis Yunani kuno, Hypatia berdiri tegak sebagai salah satu tokoh perempuan yang tidak hanya menguasai matematika dan astronomi, tetapi juga memiliki keberanian untuk mempertahankan keyakinan dan kebebasan berpikir.
Dalam perjalanannya yang penuh dedikasi, Hypatia menjelma menjadi simbol kecerdasan dan ketangguhan, tetapi akhirnya harus menghadapi kenyataan pahit sebagai korban dari fanatisme.
Sejarah mencatat kisah Hypatia tidak hanya sebagai tragedi, namun juga sebagai pengingat abadi tentang perjuangan intelektual dan keberanian seorang perempuan melampaui batasan sosial pada masanya.
Dilansir dari beberapa sumber, Hypatia dari Alexandria adalah salah satu dari sedikit wanita yang berhasil menembus dunia akademis di Yunani kuno. Sebagai seorang filsuf, matematikawan, dan astronom yang berpengaruh, Hypatia tidak hanya menonjol karena kecerdasannya tetapi juga karena keberaniannya yang teguh.
Kehadirannya di ranah akademis, terlebih sebagai seorang wanita dalam dunia yang didominasi pria, menjadi simbol intelektualitas yang menginspirasi. Namun, nasibnya yang tragis di tangan para biarawan fanatik menjadikan kisahnya sebagai salah satu tragedi paling menyedihkan dalam sejarah ilmu pengetahuan.
Hypatia lahir sekitar tahun 350 M dari seorang ayah bernama Theon, seorang matematikawan dan filsuf di Alexandria. Meski dia menguasai matematika sejak dini, Hypatia tidak sepenuhnya mengikuti ajaran ayahnya dan segera mengembangkan caranya sendiri dalam memahami bidang yang diminatinya.
Selain matematika, ia sangat tertarik pada astronomi dan menciptakan astrolabe, sebuah alat yang digunakan untuk mengukur posisi benda langit di malam hari.
Sebagai seorang pengajar, Hypatia dikenal di kalangan akademis Yunani. Dia memimpin sekolah Neoplatonic di Alexandria, di mana ia mengajar filsafat dan astronomi, menggabungkan pemikiran Plato dan Plotinus dalam pendekatan yang membangkitkan kembali pelajaran geometri klasik.
Meskipun ia terkenal dan dihormati, Hypatia memilih untuk hidup membujang, fokus pada pengembangan ilmunya, dan hingga akhir hayatnya dikenal sebagai seorang perawan.
Popularitas Hypatia di kalangan ilmuwan dan masyarakat umum Alexandria tidak luput dari sorotan. Banyak yang ingin belajar darinya, bahkan menganggapnya sebagai sosok berilmu yang dapat memperdalam wawasan spiritual dan ilmiah mereka.
Namun, di sisi lain, ia juga memiliki banyak lawan yang iri terhadap pencapaiannya, termasuk kalangan biarawan fanatik pada zaman itu. Hypatia mempraktikkan paganisme, sebuah kepercayaan yang memuja berhala atau roh alam, di tengah masa-masa awal perkembangan agama Kristen.
Sementara banyak penyembah berhala pada waktu itu beralih memeluk agama Kristen untuk menghindari penganiayaan, Hypatia tetap teguh dengan keyakinannya. Sikapnya yang lantang dan berbeda inilah yang menjadikannya sasaran bagi kelompok-kelompok Kristen radikal yang tidak setuju dengan keyakinannya.
Pada musim panas tahun 415 Masehi, peristiwa tragis yang mengakhiri hidup Hypatia terjadi. Keteguhan Hypatia dalam mempertahankan keyakinannya memicu amarah para biarawan Kristen fanatik, yang akhirnya dipimpin oleh seorang biarawan bernama Petrus, murid dari Uskup Sirilius yang berpengaruh.
Seorang uskup Alexandria ini memerintahkan penangkapan Hypatia dengan tuduhan bahwa ia seorang penyihir. Pada hari itu, Hypatia sedang memberikan kuliah ketika segerombolan massa biarawan menangkap dan menyeretnya ke jalan sambil terus menyiksanya.
Penangkapan itu berubah menjadi serangkaian tindakan brutal. Hypatia disiksa, ditelanjangi, bahkan dipukul dengan batu bata, dan tubuhnya dikoyak. Setelah itu, tubuh Hypatia yang tak bernyawa dibakar, meninggalkan luka dalam di hati mereka yang mencintai dan menghormati ilmu pengetahuannya.
Tragedi ini menandai akhir hidup Hypatia, namun gagasan dan ajarannya terus hidup. Hypatia dikooptasi sebagai simbol kebajikan Kristen di abad pertengahan, dan kisahnya bahkan menjadi bagian dari legenda Saint Catherine dari Alexandria.
Meskipun ia gugur, Hypatia tetap menjadi ikon yang menginspirasi dunia ilmiah sebagai pelopor wanita yang berani menentang batasan sosial demi ilmu pengetahuan, filsafat, dan astronomi. [UN]