SUTAN SJAHRIR adalah perdana menteri pertama Indonesia yang memiliki peran cukup besar dalam kemerdekaan Indonesia. Ia bahkan orang pertama yang memaksa Ir. Soekarno untuk segera memproklamasikan kemerdekaan.
Sjahrir yang lahir di Padang Panjang, Sumatera Barat, 5 Maret 1909, putera dari pasangan Mohammad Rasad gelar Maharaja Soetan bin Soetan Leman gelar Soetan Palindih dan Puti Siti Rabiah. Ayahnya adalah penasehat Sultan Deli dan seorang kepala jaksa (landraad) yang disegani di Medan.
Pendidikan Sjahrir bermula di Europesche Langere School (Sekolah Dasar Belanda) di Medan. Setelah lulus melanjutkan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs/MULO (Sekolah Menengah Pertama Belanda) kemudian melanjutkan ke AMS/Algemeene Middelbare School jurusan Budaya.
Sutan Sjahrir, salah satu tokoh pergerakan Indonesia yang mengenyam pendidikan di Eropa memiliki sebuah kisah cinta yang unik. Kisah Sjahrir layaknya sebuah cerita roman tentang cinta buta hingga tragedi yang membuat keduanya terpisah jauh.
Ia adalah Maria Duchateau, seorang perempuan asal Belanda yang tak sengaja ditemui Sjahrir di negeri kincir angin saat mengenyam studi pada tahun 1931.
Di dalam buku “Sjahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia”, Maria dituliskan sebagai istri dari tokoh Sosialis Belanda, Sol Tas yang memiliki dua orang anak. Sol Tas juga merupakan salah satu teman Sjahrir dalam berdiskusi di Belanda.
Hubungan asmara antara Sjahrir dengan Maria terjalin di saat pernikahannya dengan Sol Tas renggang.
Namun, di bulan November 1931, Sjahrir memutuskan kembali ke tanah air untuk bergabung dengan kelompok pergerakan di Indonesia dan mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia (PNI) Baru bersama Bung Hatta.
Bulan Desember 1931, Sjahrir tiba di Batavia. Dia lalu jadi Ketua Redaksi Daulat Ra’jat. Sjahrir tidak menjadi pengekor gaya kaum pergerakan, baik mereka yang dalam pengawasan maupun pemenjaraan seperti Sukarno. Sjahrir sering muncul dengan dandanan bohemian: sarung lecek sebagai bawahan, jas sebagai atasan, juga peci di kepala.
Namun hubungan antara Sjahrir dan Maria tidak berhenti, kisah cinta terus dilakukan meski keduanya terpisahkan jarak. Surat menjadi satu-satunya cara mereka memadu kasih di tengah era penjajahan Belanda di Indonesia saat itu.
Empat bulan sesudah Sjahrir meninggalkan Belanda, Maria bersama kedua anaknya bertolak ke Indonesia untuk menyusul Sjahrir yang tak sabar menunggu perempuan yang dicintainya, Sjahrir pun menyusul dari Batavia ke Medan, tempat berlabuhnya kapal yang dinaiki Maria dan kedua anaknya.
Keduanya kemudian memutuskan menikah, tepatnya pada 10 April 1932 di sebuah masjid di Medan. Mereka pun tinggal di sebuah rumah di kota Medan, berbelanja kebutuhan sehari-hari di Pasar Kesawen, ataupun sekedar berjalan santai bergandengan tangan mesra di Grand Hotel yang disebut terlarang bagi pribumi.
Maria “berjalan-jalan di kota Medan, berkain sarung dan kebaya, bergandengan tangan dengan suaminya yang orang Indonesia,” tulis Frances Gouda dalam Dutch Culture Overseas: Praktik Kolonial di Hindia Belanda, 1900-1942 (2008: 300).
Pasangan itu bikin gerah orang-orang Eropa rasis di Medan. Orang-orang kulit putih yang risih itu bahkan bertanya ke Maria, barangkali dirinya membutuhkan pertolongan. Seolah-olah Sjahrir orang jahat
Sutan Sjahrir dan Maria mempunyai hubungan yang mesra bahkan memiliki panggilan kesayangan satu sama lain, yaitu Mieske untuk Maria dan Sidi untuk Sjahrir. Pernikahan dua ras yang berbeda itu menjadi perhatian mencolok. Dengan cepat, berita soal Sjahrir bersama Maria tersiar ke kalangan masyarakat Belanda hingga penduduk pribumi.
Surat kabar setempat bahkan memuat artikel untuk mendesak pemerintah bertindak terhadap Sjahrir dan istrinya. Maria pun pernah dihentikan di tengah jalan oleh orang kulit putih lain yang bertanya apakah dia membutuhkan bantuan. Menyindir hubungannya dengan Sjahrir.
Dengan semakin maraknya pemberitaan Sjahrir dan Maria, kabar pun dengan cepat tersiar bahwa Maria belum resmi bercerai dari suami sebelumnya, Sol Tas, yang ada di Belanda. Sehingga, pernikahan Sjahrir dengan Maria dianggap tidak berlaku oleh pejabat Islam, hanya berselang satu bulan pasca pernikahan mereka.
Atas keputusan itu, pejabat Belanda memulangkan Maria kembali ke kampung halamannya dengan menggunakan kapal. Peristiwa ini juga dijadikan peringatan dari pemerintah Belanda kepada aktivis PNI.
Setelah dipulangkan ke Belanda, Maria terus mencari akal untuk bisa kembali bertemu sang suami. Dia bersurat kepada Ratu Belanda untuk bisa membawa kembali Sjahrir untuk melanjutkan studi di Belanda, namun permintaan itu ditolak.
Maria terus berkirim surat, kali ini alasannya ingin kembali ke Indonesia untuk bertemu dengan suami, namun permintaan itu tak pernah dijawab oleh sang ratu. Hingga pada tahun 1934, pemerintah Belanda meringkus puluhan anggota PNI, tak terkecuali Bung Hatta dan Sjahrir.
Sjahrir ditangkap saat hendak bertolak ke Belanda menyusul Maria. Bahkan sebuah tiket kapal SS Aramis sudah dipesannya jauh-jauh hari. Pertemuan Sjahrir dengan Maria kembali gagal karena Sjahrir yang memiliki pengetahuan luas di bidang hukum, sosiologi, dan politik itu harus mendekam di balik jeruji penjara Cipinang.
Pada tanggal 16 November 1934, diputuskan bahwa lima pimpinan PNI diasingkan ke Boven Digul yang sangat terpencil. Bung Hatta dan Sjahrir turut di dalamnya. Meskipun mereka menganggap pengasingan itu sebagai sebuah tamasya yang tak jelas kapan selesainya.
Tidak dapat dihindari hubungan jarak jauh Sjahrir dan Maria meskipun tetap bersurat mulai berjarak dan retak. Sjahrir di Indonesia timur dan Maria di Belanda. Belakangan surat-surat tersebut dibukukan. Surat-menyurat itu pun lalu terputus oleh Perang Dunia II.
Sjahrir baru bertemu Maria lagi setelah 15 tahun, yaitu pada 1947 di New Delhi. Kala itu Sjahrir sudah jadi Perdana Menteri Indonesia dan berkunjung ke India bersama rombongan kenegaraan. Ketika mereka bertemu di bandara, Sjahrir memang mencium pipi kanan dan pipi kiri Maria. Tapi, seperti dicatat Mrazek (1994: 601), “Menurut Maria Duchateau sendiri dia merasakan suaminya sudah berubah, tetapi ini disebabkan Sjahrir menjadi negarawan.”
Saat itu Sjahrir sudah dekat dengan sekretarisnya Siti Wahyunah Saleh atau Poppy dan mereka kemudian melangsungkan pernikahan pada bulan Mei 1951. Hingga akhir hayatnya yang kita kenal sebagai satu-satunya istri Sjahrir adalah Poppy Sjahrir. [S21]