Koran Sulindo – Lakon Perempuan–Perempuan Chairil akan dipentaskan di Teater Jakarta Taman Ismail Marzuki pada 11-12 November 2017. Pementasan teater ini merupakan produksi ke-18 dari Titimangsa Foundation, yang dipimpin Happy Salma.
Agus Noor didapuk sebagai sutradara sekaligus penulis naskah. Yang juga menjadi penulis lakonnya adalah Ahda Imran. Lakon ini, selain mengacu ke karya-karya Chairil, juga menjadikan buku biografi Chairil Anwar yang ditulis Hasan Aspahani sebagai referensi utamanya.
Para pemainnya adalah Reza Rahadian, Chelsea Islan, Tara Basro, Marsha Timothy, dan Sita Nursanti. “Lewat Perempuan–Perempuan Chairil Anwar, kami mencoba menginterpretasikan puisi-puisi Chairil Anwar dengan mengangkat kisah cintanya,” tutur Happy Salma. Sesuai judulnya, kisahnya memang tentang empat orang perempuan yang menyimpan kisah cinta Chairil Anwar.
Sosok Chairil Anwar diperankan aktor Reza Rahadian. Teater bagi dia memang bukan “barang” baru. Ia sudah menggelutinya sejak masih duduk di bangku SMP. Tahun 2016 lalu, misalnya, dia juga bermain dalam lakon Bunga Penutup Abad, yang diadaptasi dari tetralogi novel Pulau Buru karya sastrawan Pramoedya Ananta Toer.
Toh, Reza tak memungkiri, memerankan sosok Chairil Anwar bukanlah pekerjaan ringan. Apalagi, di saat yang sama, aktor lajang berusia 30 tahun ini juga sedang disibukkan dengan syuting film terbarunya. Jika bukan karena dedikasi dan kecintaannya dengan dunia teater, menurut Reza, dirinya tak akan menerima pekerjaan ini.
“Banyak sekali dialog panjang dan, yang bikin sulit, di tengah-tengahnya ada sisipan puisi-puisi Chairil yang harus dihapal. Tapi, saya merasa banyak terbantu karena sutradaranya sudah tahu persis apa yang dimau. Yang repot kan kalau sutradara enggak tahu cerita ini mau dibawa ke mana,” tuturnya.
Akan halnya Chelsea Islan mengaku suka memerankan sosok Sri Ajati, yang namanya diabadikan Chairil dalam sajak “Senja di Pelabuhan Kecil” dan “Hampa”. Alasan Chelsea: karakternya berbeda dari peran-peran yang pernah ia mainkan di atas panggung teater sebelumnya. “Karakter Sri itu humble dan friendly,” katanya.
Chairil Anwar mengenal Sri saat bersama-sama terlibat dalam pementasan teater. Pada zamannya, Sri juga dikenal sebagai seorang penyiar radio. “Ini tantangan baru buat saya karena saya harus bernyanyi. Juga ada monolognya,” ungkap Chelsea.
Sri sendiri, dalam sebuah wawancara dengan sejumlah media semasa hidupnya, mengaku tidak pernah tahu Chairil mencintai dirinya. Namun, di tangan sutradara dan penulis lakon, Agus Noor, ada ucapan Sri seperti ini: “Di antara bermacam bahaya di dunia, dicintai penyair adalah salah satunya.…”YANG MEMERANKAN tokoh Mirat adalah Tara Basro. Nama Mirat diabadikan Chairil pada sejumlah puisinya, antara lain “Sajak Putih” dan “Mirat Muda, Chairil Muda”. Mirat atau lengkapnya Sumirat adalah pelukis yang sedang berguru kepada Soedjojono, Bapak Pelukis Indonesia, ketika bertemu Chairil.
Karena banyaknya puisi ditulis Chairil yang ditujukan kepada Mirat, Agus Noor menggambarkan kisah cinta itu sebagai bentuk percintaan Chairil yang penuh gairah. “Mirat adalah salah satu cintanya Chairil, yang bisa dibilang cinta yang menggebu-gebu Chairil,” ujar Tara, yang baru pertama kali bermain di panggung teater. “Bisa ikut terlibat di Perempuan–Perempuan Chairil adalah suatu pengalaman yang sangat menarik dan sangat berbeda. Saya mendapat banyak ilmu.”
Kisah cinta Chairil dan Mirat kandas karena orang tua Mirat menentang hubungan keduanya. “Apa arti peluk dan ciuman kita, Chairil. Petualangan tanpa tujuan sia-sia belaka,” demikian petikan ujaran Mirat yang ada dalam lakon itu.
Sosok perempuan lain dalam lakon ini adalah Ida Nasution, yang diperankan Marsha Timothy. Sama halnya dengan Tara Basro, Marsha juga baru untuk pertama kalinya bermain dalam pentas teater. “Ida ini adalah partner debatnya Chairil. Dari naskah yang saya baca, mereka ini dari segi intelektual memang setara dan enggak mau kalah satu sama lain. Jadi, hubungannya memang seru. Ada lucunya juga,” ungkap Marsha. Nama Ida dalam karya-karya Chairil tak hanya tertera dalam sajak, misalnya dalam sajak berjudul “Ajakan”, tapi juga dalam beberapa pidato Chairil.
Chairil Anwar sendiri kemudian menikah perempuan bernama Hapsah Wiraredja di Karawang, Jawa Barat, pada 6 September 1946. Dari pernikahan ini lahir seorang putri, yang diberi nama Evawani Alissa pada 17 Juni 1947. Namun, pada akhir 1948, Chairil dan Hapsah bercerai.
Sosok Hapsah dalam lakon ini diperankan oleh Sita Nursanti. Aktris sekaligus mantan penyanyi trio RSD (Rida Sita Dewi) ini mengaku sempat setengah tidak percaya ketika ditawari peran dalam pentas ini. “Saya kan gendut. Tapi, setelah riset dan kebetulang ketemu langsung sama Bu Evawani dan dia bilang ibunya memang berbadan gede, akhirnya saya lega,” kata artis kelahiran Sumedang, Jawa Barat, 27 Agustus 1974 ini. “Kebetulannya lagi, tokoh yang saya perankan ini juga orang Sunda.”
Pada segmen Hapsah, naskahnya ditulis Ahda Imran. Menurut Ahda, kehidupan Hapsah sangat ironis. Karena, sebagai perempuan yang dinikahi Chairil Anwar, justru sangat langka namanya ditorehkan dalam karya Chairil. “Jikapun ada, hanya yang dibuat menjelang akhir hayat Chairil Anwar dan sosok ini pun jarang terpublikasikan,” ujar Ahda.
Lebih lanjut, Ahda menjelaskan, Hapsahlah yang menarik Chairil Anwar untuk “menginjak Bumi”. “Hapsahlah dunia kenyataan Chairil Anwar bahwa pada akhirnya Chairil punya mimpi besar untuk membahagiakan anak-istrinya. Setelah diusir oleh Hapsah, mimpi besar Chairil adalah ingin menikahi kembali Hapsah. Di sana digambarkan Chairil bekerja keras sampai lupa kesehatannya. Dan sebelum mimpi itu tercapai, sastrawan besar ini meninggal dalam keadaan melarat. Itu klimaksnya,” kata Ahda.
Chairil sendiri oleh banyak kalangan kerap dijuluki sebagai Binatang Jalang. Panggilan ini mengacu kepada ungkapan Chairil yang ditulis dalam sajak “Aku”: Aku ini binatang jalang/Dari kumpulannya terbuang…. [GKD]