Suluh Indonesia – Seperti banyak daerah lainnya, Sukabumi juga melahirkan seorang ulama pejuang dan politisi yang disegani pemerintah kolonial. Salah satunya, Ajengan Ahmad Sanusi yang lahir di Cantayan, Cikembar, Sukabumi, pada 1888.
Setelah belajar di sejumlah pesantren dan menunaikan ibadah haji, Ahmad Sanusi kembali ke kampung halamannya. Ia membantu ayahnya mengajar di Pesantren Cantayan. Dari sini dia mulai menapak karir keulamaan dan terlibat dalam pelbagai persoalan keagamaan dan kemasyarakatan.
Dia sempat menjadi incaran pemerintah kolonial Belanda karena terlibat di sejumlah organisasi. Misalnya, di Sarekat Islam cabang Sukabumi. Ceramah-ceramahnya dianggap menjadi inspirasi anggota ormas ini untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda.
Ia difitnah dan dipenjara di Sukabumi dan Cianjur, masing-masing selama enam dan tujuh bulan. Pada 1927, atas perintah Gubernur Jenderal A.C.D. de Graeff, ia dipindahkan ke Tanah Tinggi, Batavia alias Jakarta.
Dalam pengasingan di Tanah Tinggi, Ahmad Sanusi mengisi hari-harinya dengan menulis tentang ilmu-ilmu kegamaan seperti tafsir, fikih, dan tauhid. Ia bahkan membuat majalah Al-Bidayah al-Islamiyah yang terbit sebulan sekali.
Di tempat pembuangannya itu pula dia bahkan mendirikan organisasi perhimpunan Persatuan Ummat Islam (PUI), sebuah ormas Islam yang masih berkembang hingga sekarang di seluruh Indonesia.
Setelah dibebaskan, Ahmad Sanusi kembali ke Sukabumi, tapi tak lagi menetap di tempat tinggalnya semula. Dia pindah ke desa Gunung Puyuh dan mendirikan Pesantren Syamsul Ulum di sana pada 1934.
Baca juga: Bung Karno: Fajar yang Luka
Ketika Jepang masuk ke Indonesia, Ahmad Sanusi diangkat menjadi Foku Shuchohan (Wakil Residen) wilayah Bogor pada 1944. Dan saat perang di Pasifik membuat Jepang semakin tertekan, ia menjadi anggota BPUPKI.
Di badan tersebut, ulama ajengan itu menyampaikan pelbagai pemikirannya mengenai negara Indonesia yang akan didirikan. Dia mengusulkan ke sidang agar bentuk negara Indonesia adalah jumhuriyah atau republik.
Ahmad Sanusi di sidang BPUPKI terlibat dalam perdebatan mengenai rumusan pasal ketuhanan. Saat itu hasil kerja Panitia Sembilan menghasilkan salah satu rumusan yang berbunyi: “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.