Koran Sulindo – Takluknya Sultan Hamengkubowono II kepada tentara Inggris pada peristiwa Geger Sepehi 20 Juni 1812, menandai susutnya wibawa raja-raja Jawa sampai titik nadir.
Sementara putranya yakni HB III sudah ditangkap dan ditahan di Benteng Vredenberg, HB II tak punya pilihan selain menyerah. Sultan yang malang itu harus merelakan semua senjatanya dilucuti tentara Inggris termasuk menyerahkan keris, pedang dan cundrik pusakanya.
Untuk orang Jawa, kekalahan itu menjadi aib paling memalukan. Sepanjang sejarahnya, hanya sekali itu saja istana Jawa sebagai lambang kedaulatannya diserbu, dirampok dan dihinakan orang-orang Eropa.
Ketika Residen Yogyakarta John Crawfurd yang diiringi pasukan Inggris dan Sepoy mulai masuk keraton, HB II memerintahkan pengikutnya segera mengenakan kain putih sebagai ‘tanda hormat’ bahkan termasuk pengawal perempuan dan para punggawa.
Babad Bedhah ing Kraton Ngayogyakarta tulisan Pangeran Panular menyebut ketika Crawfurd masuk keraton, pasukan Inggris dan Sepoy segera mengeliling Sultan dan pengikutnya. Mereka semua ditangkap dan kerisnya dirampas, dengan tak seorangpun melawan.
Ketika Sultan HB II hendak mengambil keris pusakanya yang masih tertinggal di Proboyekso, di luar kemauannya kedua lengannya dipegang kuat-kuat oleh perwira muda yang menangkapnya yakni Letnan Henry N. Douglas dari Resimen Infanteri H.M.78th Highland.
HB II dengan suara pelan bertanya, mengapa orang Inggris berbuat seperti ini kepadanya padahal dia sudah menyerah dengan semua pasukannya dan siap mengikuti apa saja yang diinginkan Tuwan Jindral atau Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles.
Baca juga:
- Geger Sepehi, Takluknya Keraton Yogyakarta pada Inggris
- Penjarahan Brutal Inggris di Keraton Yogyakarta
Jadi, HB II memohon belas kasihan dan menyatakan tak perlu menangkapnya dan minta keris pribadinya karena itu akan membuatnya amat malu.
Ia juga menyebut bahwa Raffles sendiri yang mengangkatnya kembali sebagai Raja Yogyakarta enam bulan sebelumnya. Kepada para penangkapnya, HB II juga meminta agar keluarga dekatnya tidak disakiti secara fisik.
Babad itu menyebut melalui ‘perantaraan’ Yang Maha Kuasa, Crawfurd setuju dan perwira yang sudah hendak maju untuk mengambil kerisnya kembali mundur. Ketika Sultan HB II disuruh berjalan menuju Benteng Vredenberg ia diiringi perwira dan serdadu Inggris dengan pedang terhunus.
Di belakang HB II berjalan dengan menyedihkan para pangeran Yogyakarta dengan senjata mereka dipegang pada setiap sisi oleh serdadu Inggris.
Sepanjang jalan, terlihat tak seorangpun putra HB II siap maju membantu ayah mereka yang tengah menyandang wirang ini. Masuk akal, karena selama ini mereka tak sependapat dengannya atau labete benkeng ing karsa. Mereka juga menganggap bahwa yang Mahakuasa sudah menetapkan begitu hingga mereka ‘harus’ masa bodoh pada nasibnya.
Bagi masyarakat Jawa, bagaimanapun takluknya keraton kepada Inggris itu sangat mengagetkan. Penyitaan keris HB II dan para pengikutnya bagi mereka secara tegas mengacu pada kehilangan kejantanannya.
Dikebiri
Istilah untuk menggambarkan orang Jawa tanpa senjata adalah abedhogolan yang sekaligus juga bermakna dasar kehilangan kelelakian atau dikebiri. Dhogol atau penis seringkali diasosiasikan dengan fungsi keris sebagai ‘wakil’ kelelakian.
Sehari setelah takluknya keraton, dalam upacara penobatan Sultan HB III, Crawfurd merancang protokoler baru yang mewajibkan para pangeran memberi hormat kepada HB III dan Raffles sebagai Letnan Gubernur Inggris. Mereka harus membungkukkan leher sedemikian rupa agar bisa ‘mencium’ kaki dan lutut kedua orang itu.
Sikap menghormat seperti itu kepada orang-orang Eropa itu belum pernah terjadi dalam adat Jawa sebelumnya. Tata cara tersebut, jelas secara brutal menggarisbawahi realitas baru kedudukan Keraton Yogya yang lebih rendah saat berhadapan dengan kekuasaan Eropa di Batavia.
Selain itu, kenyataan bahwa Raffles tak menggunakan gelar penuh sebagai Gubernur Jenderal dan hanya memilih Letan Gubernur setara dengan Gubernur Belanda di Pantai Timur Laut Jawa yang usang membuat tindakan ini menjadi dua kali lipat lebih menyakitkan.
Mulai saat itu, orang Eropa dianggap lebih dari sekadar primus inter pares atau lebih terkemuka dari sesamanya seperti yang selama ini dilakukan Belanda di Jawa. Mereka menganggap Inggris sebagai penguasa tak terkalahkan dan para penguasa Jawa diatur berdasarkan izin mereka.
Pergeseran mendasar hubungan antara orang Jawa dan Eropa ini dicatat Babad Bedhah ing Kraton Ngayogyakarta dengan cara yang menarik ketika menggambarkan adu harimau dengan kerbau yang dipentaskan untuk menghormati Crawfurd di alun-alun selatan 16 Desember 1812.
Pada pentas itu hampir tak seperti biasanya, harimau itu berhasil mengalahkan dua kerbau buas yang besar. Tentu saja dengan sendirinya, si macan atas titah Sultan HB III dibiarkan pergi bebas sebagai tanda penghormatan.
Baca juga:
- Invasion of Java, Inggris Bukan Lawan Sebanding Kompeni
- Wong Liplap, Kebencian Jawa Pada Pengaruh Asing
Selang setahun kemudian, pertarungan dengan hasil yang sama persis kembali terjadi ketika digelar pentas untuk menghormati kunjungan Raffles dan istrinya ke Yogyakarta. Setelah bertarung lebih kurang selama satu jam macan lorek, salah satu dari spesies yang besar dan buas berhasil mengalahkan musuh-musuhnya.
Bagi mereka yang paham filosofi adu harimau itu, perkembangan tersebut dianggap mempunyai arti yang sangat penting. Pada suatu saat ketika orang Jawa benar-benar gagal memerangi orang Eropa, adu harimau dianggap sebagai suatu bentuk ‘pertarungan’ pengganti. Orang asing, dalam pikiran Jawa diasosiasikan sebagai harimau yang gesit, mematikan tetapi tanpa daya tahan.
Sementara orang Jawa menganggap diri mereka mirip kerbau yang kuat, menahan diri, dan hampir selalu berhasil. Itulah sebabnya mengapat dari adu banteng yang penuh darah itu selalu ditonton oleh orang Jawa sekaligus untuk membangun keistimewaannya.
Kemenangan harimau atas musuh-musuhnya itu dengan satir dilambangkan dalam pikiran orang Jawa sebagai kemenangan Inggris atas keraton Jawa.(TGU)