Ilustrasi/historia.id

Koran Sulindo – Bung Karno meyakini kedaulatan ekonomi baru dapat diraih tanpa ketergantungan dari modal asing. Pemerintahan Jokowi-JK semestinya serius menegakkan kedaulatan ekonomi.  

Publik tentu masih ingat visi-misi dan program aksi Joko Widodo – Jusuf Kalla saat kampanye pemilihan presiden 2014 lalu. Judulnya menggetarkan karena meminjam konsepsi Trisakti Bung Karno yang tersohor itu: berdaulat, mandiri, dan berkepribadian.

Trisakti disebut sebagai solusi atas persoalan bangsa terutama terkait dengan merosotnya kewibawaan negara, melemahnya sendi-sendi ekonomi nasional, merebaknya intoleransi dan krisis kepribadian bangsa. Soal kedaulatan politik Jokowi-Kalla berkomitmen menyelesaikan secara berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia masa lalu seperti: Kerusuhan Mei 1998, Tragedi Trisakti dan Semanggi I dan II, dan lain-lain.

Tapi, nyaris dua tahun pemerintah Jokowi-Kalla berjalan konsepsi Trisakti Bung Karno, terutama di  bidang ekonomi, tak kunjung terlaksana. Boleh jadi pelaksanaannya terhambat karena kurangnya pengetahuan tentang kemandirian di bidang ekonomi yang digagas Bung Karno. Itu sebabnya perlu kiranya mempelajari kembali apa sesungguhnya yang dimaksud dengan berdikari di bidang ekonomi dan bagaimana pelaksanaannya di masa Bung Karno.

Dalam buku Ekonomi Berdikari Sukarno, Amiruddin Al-Rahab mengutip pidato Bung Karno berjudul “Tahun Berdikari” yang diucapkan pada 17 Agustus 1965, yang menyebutkan, bahwa berdikari prinsipnya merupakan usaha menjadikan kekuatan sendiri sebagai landasan utama pembangunan ekonomi. Pemerintah dan rakyat harus mengoptimalkan potensi kekayaan alam Indonesia dengan beragam penemuan.

Pada akhirnya nilai ekspor akan membesar. Koperasi dan perusahaan negara kemudian diharapkan menjadi motor penggerak dalam proses ini. Lebih lanjut, disebutkan konsep ekonomi berdikari bukannya ingin mengisolasi Indonesia dari hubungan perdagangan atau perekonomian dengan negara-negara lain. Justru dengan ekonomi berdikari, Indonesia mesti memperluas kerja sama dengan negara-negara lain sederajat dan saling menguntungkan.

Bung Karno dengan tepat menjelaskan konsep berdikari itu dalam pidato Nawaksara pada 22 Juni 1966:

“Khusus mengenai Prinsip Berdikari ingin saya tekankan apa yang telah saya nyatakan dalam pidato Proklamasi 17 Agustus 1965, yaitu Takari, bahwa berdikari tidak berarti mengurangi, melainkan memperluas kerja sama internasional, terutama antara semua negara yang baru merdeka. Yang ditolak berdikari adalah ketergantungan kepada imperialis, bukan kerja sama yang sama – derajat dan saling menguntungkan.”

Tanpa Modal Asing

Peneliti Mubyarto Institut [Mubins] Yogyakarta, Tarli Nugroho, membenarkan slogan berdikari bergaung pada 1965. Namun, slogan itu bukanlah slogan kosong melainkan bentuk penegasan pemerintah untuk menata perekonomian Indonesia pasca-kolonialisme. Secara kelembagaan usaha itu telah dilakukan sejak 1956 dan jargon itu ingin menyampaikan sekaligus menegaskan apa yang dilakukan pemerintahan Bung Karno.

Pelaksanaan slogan berdikari itu lantas dilaksanakan Menteri Urusan Minyak dan Gas Bumi, Chairul Saleh, pada April 1965. Hal itu, antara lain, diwujudkan dengan tindakan pemerintah untuk menguasai dan mengawasi semua perusahaan minyak yang ada di Indonesia. Selain untuk kemakmuran, politik ekonomi energi di masa itu juga secara tegas dinyatakan sebagai “untuk tujuan pertahanan” dari gempuran Nekolim.

Nasionalisasi di bidang migas masa itu dilakukan secara patut dan tidak gegabah. Sesuai dengan ketentuan bahwa semua perusahaan minyak asing yang beroperasi di Indonesia mesti tunduk dan diatur oleh perusahaan-perusahaan negara yang menjadi mitranya.

Jauh sebelum pidato dan slogan tersebut bergaung, proses politik nasionalisasi dan ekonomi berdikari di masa pemerintahan Bung Karno telah berlangsung sejak 1956. Seperti yang diungkapkan Tarli Nugroho, proses nasionalisasi itu berlangsung dengan cara-cara yang patut dan sesuai ketentuan. Dalam sejarah negeri ini, nasionalisasi perusahaan asing pernah menjadi kebijakan resmi pemerintah dengan dukungan dari kekuatan politik progresif.

Kebijakan nasionalisasi itu dilandasi aturan hukum Undang Undang Nomor 13 Tahun 1956 tentang Pembatalan Hubungan Indonesia-Netherland berdasarkan Perjanjian Konferensi Meja Bundar. Pemerintahan kabinet Ali Sastromidjojo II membatalkan perjanjian KMB  dengan Belanda secara unilateral pada 1956 walau secara parsial pembatalan perjanjian itu telah terjadi sejak 1954..

Selain menyusun dasar hukum nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing, pemerintahan Bung Karno juga memperhatikan hukum-hukum internasional. Itu terlihat dari kesaksian Gouw Giok Siong, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Indonesia, yang ikut menjadi staf ahli tim pembela hukum pemerintah dalam kasus The Bremen Tobacco Case.

Gagalnya upaya pengembalian Irian Barat ke pangkuan ibu pertiwi pada 1957 di Sidang Umum Perserikatan Bangsa Bangsa menjadi pemicu gerakan politik progresif yang disokong Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk menggelorakan semangat perlawanan terhadap Belanda. Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) dan Kesatuan Buruh Marhaenis (KBM) menjadi pelopor aksi massa menuntut pengambilalihan perusahaan-perusahaan Belanda dan asing lainnya.

Bung Karno lantas menanggapi aksi massa tersebut. Hasil rapat Kabinet Djuanda pada 28 November 1957, pemerintah memutuskan untuk mendukung aksi massa dan pengambilalihan beberapa perusahaan Belanda. Hasil ini menunjukkan pemerintah Indonesia merdeka di bawah pimpinan Bung Karno dan Djuanda dengan gerakan-gerakan rakyat progresif yang disokong PNI dan PKI untuk mengakhiri kekuasaan ekonomi Belanda di Indonesia.

Selanjutnya, pada 1958 diterbitkan Undang Undang No. 86 tentang Nasionalisasi Perusahaan-perusahaan Milik Belanda di Indonesia. Aturan ini merupakan lanjutan atas proses nasionalisasi terhadap perusahaan-perusahaan asing dimulai perusahaan Belanda sejak 1956. Proses nasionalisasi ini sebagai perwujudan salah satu tujuan pokok proklamasi yaitu kemerdekaan ekonomi.

Setelah keputusan kembali ke UUD 1945 pada 1959 dibuat, Bung Karno menggagas konsep tentang ekonomi nasional yang menjadi bagian dari sosialisme ala Indonesia. Maka dicetuskanlah gagasan ekonomi terpimpin yang disebut sebagai cara perencanaan untuk menggunakan alat-alat produksi yang terbatas atas dasar kebutuhan rakyat yang mendesak dengan tujuan meningkatkan produksi dan pembagian pendapatan.

Soal ekonomi terpimpin ini, menurut Amiruddin Al-Rahab, sesuai dengan kepribadian Indonesia. Kepribadian Indonesia itu adalah “gotong-royong” yang merupakan hasil perahan dari sila-sila Pancasila yang dijalankan secara musyawarah dan mufakat untuk mencapai kesejahteraan bersama yang penjelmaannya membutuhkan tiga unsur pokok. Pertama, kepentingan bersama ditetapkan bersama, usaha bersama yang dijalankan bersama, terakhir pimpinan bersama yang dimufakati bersama.

Karena itu, ekonomi terpimpin disebut tidak hanya sekadar pemecahan persoalan-persoalan ekonomi semata, tapi sekaligus adalah ideologi dan politik dalam melaksanakan pembangunan. Targetnya mencapai masyarakat adil dan makmur. Untuk itu pula dibentuk Dewan Perancang Nasional untuk menyusun Rencana Pembangunan Semesta Delapan Tahun untuk mecapai masyarakat adil makmur itu.

Belajar dari sejarah tersebut, ekonomi berdikari adalah sebuah keniscayaan. Itu sebabnya di ujung kekuasaannya lewat pidato Nawaksara, 22 Juni 1966, Bung Karno kembali mengingatkan soal berdikari: “Terutama prinsip Berdikari di bidang ekonomi! Sebab dalam keadaan perekonomian bagaimana pun sulitnya, saya minta jangan dilepaskan jiwa ‘self-reliance’ ini, jiwa percaya kepada kekuatan-diri sendiri, jiwa self-help atau jiwa berdikari.”

Bung Karno meyakini tak ada kedaulatan ekonomi zonder (tanpa) kemerdekaan dari modal asing. Semestinya Presiden Jokowi, yang mengagumi Bung Karno, juga memiliki keyakinan seperti itu. [Kristian Ginting]