Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri melakukan panen perdana padi unggul lokal jenis MSP. di Bogor, Jawa Barat, 2010.

Koran Sulindo – Republik Indonesia belakangan ini seperti kehilangan arah. Negara ini bagai baru muncul dari dalam perut Bumi dan warganya tidak tahu harus berbuat apa. Padahal, usia kemerdekaannya telah 71 tahun. Perjuangan untuk meraih kemerdekaannya pun melewati jalan yang sangat panjang, dengan pengorbanan yang tak terpermanai. Juga dengan pergolakan pemikiran—yang diakui banyak cendekiawan dari berbagai belahan dunia—memiliki bobot yang tinggi.

Kemerdekaan sendiri, seperti diungkapkan Bung Karno dalam risalahnya yang ditulis 12 tahun sebelum merdeka, “Mentjapai Indonesia Merdeka”,  merupakan suatu “jembatan emas”, yang di seberangnya terpecah menjadi dua: satu ke dunia keselamatan marhaen dan yang satunya lagi menuju ke dunia kesengsaraan marhaen.

Tentu saja, Bung Karno menginginkan jalan yang diambil bangsa ini adalah jalan keselamatan marhaen. Dengan demikian tercipta suatu masyarakat yang adil  dan   makmur, suatu masyarakat yang hidup  sejahtera, suatu masyarakat tanpa penindasan, tanpa exploitation de l’homme par  l’homme, masyarakat yang memberi kebahagiaan kepada seluruh rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke.

Ia tidak mau bangsa Indonesia mengalami apa yang terjadi setelah Revolusi Prancis di abad ke-18. Revolusi itu memang berhasil menumbangkan kekuasaan kaum feodal. Tapi, kemudian, yang memegang kekuasaan adalah kaum borjuis, padahal rakyat jelata memegang peran yang besar dan penting dalam revolusi tersebut.

Bung Karno tidak ingin bangsa Indonesia hanya menjadi “pengupas nangka” dan kemudian hanya mendapat “getah”-nya, sementara yang menikmati buah “nangka”-nya adalah segolongan kecil saja dari bangsa Indonesia atau bahkan bangsa lain.

Untuk itu, Bung Karno kemudian merumuskan apa yang disebut sosio-demokrasi, yakni suatu sistem yang menempatkan kaum marhaen atau kaum jelata sebagai pemegang kekuasaan politik dan ekonomi. “Inilah demokrasi sejati yang kita cita-citakan, dan yang saya sebutkan dengan nama-baru sosio-demokrasi. Inilah demokrasi-tulen yang hanya bisa timbul dari nasionalisme Marhaen, dari nasionalisme yang di dalam batinnya sudah mengandung kerakyatan-tulen, yang

anti tiap-tiap macam kapitalisme dan imprealisme walaupun dari bangsa sendiri, yang penuh dengan rasa-keadilan dan rasa kemanusiaan yang melonjak tiap-tiap sifat keborjuisan dan keningratan—nasionalisme kerakyatan yang saya sebutkan pula dengan nama-baru sosio-nasionalisme. Hanya sosio-nasionalisme bisa melahirkan sosio-demokrasi, nasionalisme lain tidak bisa dan tidak akan melahirkan sosio-demokrasi. Siapa yang berkemak-kemik ‘sosio-demokrasi’ tetapi dadanya masih berisi sifat-sifat keborjuisannya atau keningratan walau sedikitpun juga, ia adalah seorang munafik yang bermuka dua!” tulis Bung Karno dalam risalahnya itu.

Ketika bangsa Indonesia berhasil meraih kemerdekaan dan Bung Karno duduk di kursi presiden, apa yang ia cita-citakan itu diupayakan untuk diwujudkan secara bertahap dan terarah. Pada tahun 1959, misalnya, Bapak Bangsa itu membuat Konsep Pembangunan Semesta Berencana, yang kemudian dituangkan dalam Ketetapan MPRS No. I/MPRS/1960 tentang Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai Garis-Garis Besar daripada Haluan Negara. Juga dalam Ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960 tentang Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahap Pertama 1961-1969.

“Maka pekerjaan kita antara 17 Agustus 1945 sampai kepada kini berupa, pada   hakikatnya, tak lain-tak bukan, menyempurnakan jembatan itu, melalui beberapa tingkatan-tingkatan, yang Saudara-Saudara semuanya  telah kenal, terucapkan melalui  mulut saya. Ada tingkatan yang herois, tingkatan yang penuh dengan  kepahlawanan, tingkatan yang kita bertindak dan bersikap sebagai satu bangsa  yang kompak, ada tingkatan yang menunjukkan gejala-gejala dan keadaan-keadaan   yang kurang nyaman,  tingkatan-tingkatan yang semuanya sudah saja sinyalir di dalam pidato saya pada tanggal 17 Agustus 1959 yang lalu,” demikian amanat Bung Karno yang disampaikan di depan Rapat Pleno I Dewan Perancang Nasional atau Depernas di Istana Negara pada 28 Agustus 1959..

Sesuai namanya, dewan itulah yang menggodok langkah-langkah yang akan dilakukan dalam Pola Pembangunan Nasional Semesta. Dalam dewan itu, seluruh kekuatan rakyat terlibat aktif, seperti para ahli, cendekiawan berbagai bidang, serta para akademisi dari berbagai perguruan tinggi. Tidak kurang dari 589 orang bergabung di dalam “Seksi Penelitian Nasional Berencana” yang ada dalam dewan tersebut.

“Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana adalah suatu kebijakan politik pembangunan yang tidak hanya berwatak ideologis sekaligus teknokratis, tetapi dapat dipastikan bersifat ilmiah, dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan,” kata putri Bung Karno, Megawati Soekarnoputri, pada pidatonya di acara “Konvensi Haluan Negara”, yang diselenggarakan di Jakarta pada 30 Maret 2016 lalu.

Artinya, lanjut Megawati, ilmu pengetahuan digunakan oleh Depernas sebagai basis kerangka berpikir nasional dalam perumusan metoda penelitian, metoda perumusan, pembuatan rancangan, implementasi, pengawasan, dan penilaian terhadap dijalankannya Tripola Pembangunan, yakni pola proyek, pola penjelasan, dan pola pembiayaan.