Ilustrasi

Koran Sulindo – Kaum Marhaen seringkali dikutip dalam kosa kata yang terkait dengan Bung Karno. Tapi, siapakah sejatinya kaum Marhaen tersebut? Dalam berbagai tulisannya di masa pergerakan kebangsaan, Soekarno kerap menunjukkan tentang “sekelompok masyarakat” Indonesia yang paling menderita secara ekonomi dan politik, tidak saja di era feodalisme, tetapi juga di era kolonialisme modern, yang ia sebut sebagai Marhaen. Marhaen, di mata sang penemunya, merupakan personifikasi dari tipologi masyarakat Indonesia kebanyakan.

Dalam pandangan Soekarno, Marhaen adalah jenis masyarakat yang tersingkir namun sekaligius menjadi bagian dari cara produksi kolonial di Indonesia. Secara umum Soekarno mendefinisikan Marhaen sebagai kaum melarat Indonesia. Dalam berbagai tulisannya, Soekarno juga kerap menamakan Marhaen sebagai proletar Indonesia. Ciri-cirinya antara lain adalah memiliki alat produksi namun dikerjakan dengan tenaga kerja sendiri, di dalamnya juga tercakup kaum pedagang kecil, petani gurem yang memiliki sepotong tanah yang diolah sendiri, serta buruh atau pekerja di sektor-sektor modern yang kala itu mulai massif diintrodusir kolonialisme.

Struktur ekonomi kolonial tidak memungkinkan kaum Marhaen untuk mengembangkan diri. Karena kepemilikan mereka atas alat produksi yang berkualifikasi rendah berakibat pada tingkat produktifitas yang rendah pula. Cara produksi kaum Marhaen, sebagaimana yang diamati Soekarno, cenderung subsisten. Jenis cara produksi ini hanya dapat digunakan sekadar mempertahankan hidup. Di sisi lain, posisi kaum ini tak lebih dari cadangan buruh murah dalam moda produksi kolonial yang saat itu semakin intens mengarah pada sektor ekstraktif di mana perkebunan dan tanaman pangan serta pertambangan menjadi soko guru ekonomi kolonial Belanda.

Kaum Marhaen, dengan demikian, tidak menerima upah langsung dari pemilik modal. Inilah gambaran mayoritas masyarakat Indonesia di era kolonial berdasarkan pengamatan Soekarno. Namun Soekarno juga menyadari bahwa Indonesia di era 1920-an juga mulai tumbuh proletariat murni yang bekerja di sektor ekonomi modern—sekalipun jumlahnya lebi kecil dari kabanyakan kaum melarat Indonesia lainnya. Bagi Soekrano, proletariat yang tengah tumbuh itu juga merupakan bagian dari Marhaen secara keselutuhan. Oleh karena itu, Soekarno mengintegrasikan massa-rakyat Indonesia yang melarat itu ke dalam konsep Marhaen bukan proletar, karena proletar sendiri telah tercakup di dalam istilah Marhaen.

Sentralnya posisi Marhaen dalam masyarakat Indonesia—sebagai “bagian” paling menderita dari mata rantai penghisapan kolonialisme—membuat Soekarno menempatkan kaum ini sebagai barisan utama dan terdepan dalam membawa panji-panji nasionalisme Indonesia.

Soekarno juga menyatakan bahwa sekalipun Marhaen telah mencakup pengertian proletar di dalamnya, namun ia merasa yakin unsur proletar akan mengambil peran yang amat besar dalam perjuangan menumbangkan sistem kapitalisme, kolonialisme dan imperialisme modern. Pernyataannya itu ditulis pada tahun 1933 ketika ia menjabat sebagai Ketua Umum Partai Indonesia (Partindo).

Berdasarkan perspektif Soekarno, di dalam barisan kaum Marhaen masih dapat dipilah lagi berdasarkan kesesuaian konteks jamannya. Di era imperialisme dan kolonialisme modern, menurut Soekarno, hanya kaum yang benar-benar berstatus proletar saja yang memiliki kesanggupan untuk memahami segala seluk-beluk musuh-musuhnya—lebih dari sesama kaum melarat lainnya. Kelas proletar sebagai hasil pembelahan hubungan produksi di dalam masyarakat kapitalis dianggap lebih mengetahui dan menguasai cara-cara perjuangan untuk menggugurkan sistem kapitalisme.

Kaum melarat lainnya, seperti petani, yang juga tercakup dalam konsep Marhaen. yang menurut Soekarno, “Masih hidup dengan satu kaki di dalam ideologi feodalisme, hidup di dalam angan-angan mistik yang melayang-layang di atas awang-awang, tidak begitu ‘selaras zaman’ dan ‘nyata fikiran’ sebagai kaum proletar yang hidup di dalam kegemparan percampur-gaulan abad keduapuluh.” Dengan demikian, sekalipun kaum tani dan buruh sama-sama mengalami ketertindasan dalam sistem kapitalisme dan kolonialisme, dalam pandangan Soekarno, kaum buruh lebih memiliki legitimasi untuk berdiri di barisan paling depan melawan sistem tersebut.

Konsisten dengan pandangan ini Soekarno juga menekankan tentang pentingnya kaum Marhaen memegang kendali atas kekuasaan politik Indonesia pasca kolonial. Era perjuangan mencapai kemerdekaan nasional, bagi Soekarno, masih membuka peluang terjadinya aliansi lintas kelas. Namun, setelah tahap kemerdekaan berhasil dilalui Soekarno tidak menampik adanya kemungkinan terjadinya “bentrok” antar sesama anak negeri berdasarkan posisi sosial-ekonomi. Dalam kondisi semacam itu posisi politik Soekarno jelas tidak bisa lain kecuali memihak sepenuhnya pada kaum Marhaen yang harus berhadapan dengan sesama wagra bangsa yang berposisi sebagai borjuis nasional.

Tapi, berbagai situasi yang terjadi belakangan dinegeri ini, justru melenceng jauh dari garis pemikiran Soekarno. Kaum Marhaen justru makin jauh dari kendali kekuasaan, bahkan kerap menjadi korban permainan para elit penguasa. [Imran Hasibuan]