Kartika Uteh bersama keluarga saat pembutan film dokumenter di rumahnya, 2016
Kartika bersama keluarga saat pembutan film dokumenter di rumahnya, 2016/Peter A. Rohi

Koran Sulindo – Ende 1934. Kota ini terlalu sepi untuk aktivis politik seperti Bung Karno, ketika ia tiba di  Kota Ende, tempat pembuangannya. Tidak ada aktivitas politik di sini, tidak ada diskusi atau perdebatan, bahkan seorang pun di sini tidak dikenalnya.

Bagi istrinya, Inggit, dan anak angkat mereka Ratna Djoeami merasakan juga kesepian. Untung saja ibu Amsi, mertuanya ikut serta ke tempat pembuangan itu mampu memberi kekuatan menjalani kesepian itu. Dua pelayan yang dibawa dari banjaran juga mengalami hal yang sama dengan juragan mereka.

Pelabuhan sibuk dengan pedagang kopra yang banyak dihasilkan pulau ini. Aktivitas lain adalah missi katolik yang berpusat di sini, sebuah percetakan dan sebuah harian local.

Berjalan-jalan di pantai, seorang nelayan keluar dari laut. Dengan pakaian masih basah ia mendekati Bung Karno. Namanya Kota Dia yang ternyata seorang agen polisi yang bersimpati pada perjuangan Bung Karno. Kota Dia kemudian membawa kenalan-kenalannya menemui Bung Karno, itulah murid-murid Bung Karno dalam Toneel Club Kelimutu yang didirikannya sebagai sarana dialog politik, sehingga keluarga itu tidak sepi lagi.

Tiap malam Jumat Bung Karno mengadakan diskusi agama Islam dengan tokoh-tokoh agama local. Seorang di antaranya Atmosoedirdjo membawa anak perempuannya yang berusia 6 tahun.  Anak cantik itu dipanggil Poppy, karena cantik bagai boneka. Atmosoedirdjo, asal Banyumas, adalah Mantri Jalan sebuah jabatan pegawai kolonial yang mengurus jalan sepanjang Pulau Flores.

Diskusi sampai larut malam itu membuat Poppy tertidur lelap di pangkuan ayahandanya. “Saya pindahkan ke kamar ya, tidur bersama Omi,” kata Ibu Inggit. Omi adalah nama panggilan Ratna Djoeami. Sejak itu Ratna Djoeami memiliki teman main yang cocok dan meminta pada Bung Karno agar Poppy diizinkan tinggal bersama mereka. Bung Karno mengubah namanya menjadi Kartika.

“Hanyalah suatu kebetulan, ketika suatu hari kapal yang membawa Bung Karno ke Ende, ayah membawa saya bersama banyak masyarakat melihat Bung Karno turun dari kapal,” katanya kemudian. Ketika Bung Karno dipindahkan ke Bengkulu, saya dan Riwu pembantu Bung Karno ikut serta, kisahnya.

Yang paling berkesan selama mengikuti Bung Karno adalah perjalanan pulang mereka dari Benglulu ke Jakarta, serta perpisahan Ibu Inggit dan Bung Karno.

Pemerintah kolonial Belanda ingin memindahkan pengasingan Bung Karno ke Australia agar tidak dimanfaatkan pihak Jepang. Tetapi para pemimpin saat itu seperti Bung Karno dan juga Bung Hatta sudah punya firasat akan pecah Perang Pasific dan Belanda akan kalah, karena negerinya sendiri di Eropa sedang diduduki Jerman.

Saat itulah, menurut strategi Bung Karno kita akan kerja sama dengan Jepang dan minta jaminan kemerdekaan.

Pagi-pagi subuh inspektur Belanda sudah membangunkan kami. Segera naik ke mobil, kisah Ibu Kartika Uteh. Hanya Bung Karno, Ibu Inggit, Riwu Ga, dan Kartika yang saat itu masih berumur 21 dan 14 tahun. Ikut pula empat orang Jawa yang menjadi polisi Belanda, serta dua ekor anjing milik Bung Karno.

“Saya berusaha mengepak buku2 kesayangan Bung Karno, tapi tak bisa muat di mobil,” ujar Riwu Ga.

Sampai di Muko-Muko pesawat Jepang sudah hilir mudik di atas kami. Inspektur Polisi Belanda yang mengantar Bung Karno dan Ibu Inggit panik. Jepang sudah mendarat di Pekan Baru. Sementara hujan bulan Februari itu sering menghambat perjalanan.

Dalam buku “Ku Antar ke Gerbang, biografi Inggit Ganarsih yang ditulis Ramadhan KH, Ibu Inggit mengatakan mereka meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki, sedang barang-barang dibawa di atas sebuah gerobak yang ditarik sapi.

Bagaimana pun kita harus keluar dari sini, kata Bung Karno, karena kita akan memerdekakan Indonesia. Riwu Ga ingat persis ucapan Bung Karno itu saat saya wawancara di kebun jagungnya di Nunkurus, pedalaman Pulau Timor tahun 1993.

“Maka kami pun berjalan terus. Malam hari mencari kampung untuk menginap. Penduduk membantu dengan membawa tikar dan sedikit makanan. Pagi hari kami lanjutkan perjalanan. Pernah Bung Karno menunda perjalanan karena punya firasat tidak enak. ia sholat dulu. Ternyata betul. Jejak serombongan harimau baru saja lewat. Kalau kami meneruskan perjalanan pasti menjadi santapan harimau,” cerita Ibu Kartika.

Empat hari mereka berjalan terus menerus. Apabila capek, mereka berhenti beristirahat. “Tapi saya istirhat sambil berdiri. Kalau duduk kan lebih capek lagi bila akan meneruskan perjalanan,” kata Ibu Inggit.

Sampai Tapan, mereka langsung mencari mobil menuju rumah dokter Waworuntu, seorang Manado yang beristrikan perempuan Belanda. Di sinilah mereka menginap selama di Padang. Di situlah Bung Karno melakukan perjanjian dengan militer Jepang. “Kami akan bantu Nippon, tapi Nippon harus bantu kami jadi Merdeka,” demikian Bung Karno.

Akan halnya perpisahan Ibu Inggit dan Bung Karno. “Malam hari saya dibangunkan dan ditanya, Kartika mau ikut  siapa? Tanya Haji Mas Mansoer. Saya lihat Bung Hatta juga ada disitu. Tentu saya bilang ikut Ibu, maksud saya Ibu Inggit. Bung Karno dan Haji Mas Mansoer membawa kami ke Jakarta, menyerahkan kami kembali pada Bapak Sanoesi, suami ibu Inggit sebelum bertemu Bung Karno.

Tanggal 28 Februari ini Ibu Kartika akan merayakan ulang tahunnya yang ke 90. [Peter A. Rohi]