Koran Sulindo – Harus diakui, dunia politik praktis di Indonesia sangat dipengaruhi media massa, termasuk di dalamnya adalah media sosial di Internet. Banyak tokoh politik praktis di negara ini mafhum, opini dan pandangan serta pengambilan keputusan oleh masyarakat bisa diarahkan oleh media massa. Masyarakat dapat “dikondisikan” untuk menyetujui apa yang disajikan media massa.
Gerak langkah para tokoh politik itu, dan juga partai politiknya, akhirnya cenderung mengikuti irama gendang yang ditabuh media massa. Padahal, media massa pun tak lepas dari berbagai kepentingan.
Fenomena ini memberi sinyal adanya unsur utama dalam dunia politik yang diabaikan: pendidikan politik. Para tokoh politik praktis dan partai poltik lebih memprioritaskan kemenangan elektoral. Akibatnya, langkah-langkah dan keputusan yang diambil pun cenderung berlandaskan kepentingan pragmatis kekuasaan tinimbang ideologis.
Dampak ikutannya: maraknya politik transaksi, politik gentong babi, politik dagang sapi, dan sebagainya, yang dipenuhi tipu muslihat dan pengkhianatan; pertikaian dan perendahan martabat kemanusiaan. Banyak politisi menjadi zoon politikon dalam pengertiaan yang paling harfiah: hewan yang berpolitik. Padahal, istilah yang diperkenalkan Aristoteles itu awalnya berkonotasi positif.
Tapi, bagaimana bisa berbicara hal-hal ideologis bila pendidikan diabaikan? Bagaimana pula akan menjalankan dan menyebarluaskan nilai-nilai politik otentik bila informasi dan pengetahuan tentang apa yang terjadi di tengah masyarakat lebih banyak didapat dari media massa?
Masyarakat hanya ditemui dan disapa bila musim kampanye tiba. Persoalan-persoalan yang ada di tengah masyarakat, bau kecut keringat mereka, kebingungan-kebingungan mereka, kegelisahan dan ketakutan mereka, kemudian hanya diringkas dan diringkus untuk dikonversikan menjadi rupiah atau bahan pokok makanan, plus janji-janji.
Pendidikan politik bukan hanya urusan di dalam kelas atau ruang-ruang diskusi. Pendidikan politik juga seyogianya dijalankan dan terlihat dalam keputusan-keputusan politik yang dibuat, baik oleh tokohnya maupun institusinya, partai politik.
Tak dapat dinafikan, keputusan PDI Perjuangan untuk mengusung kadernya sendiri dalam kontestasi politik di Tanah Air merupakan bagian dari pendidikan politik juga. Efek bawaannya: menumbuhkan kebanggaan serta meningkatan rasa percaya diri dan loyalitas kader-kadernya untuk tetap di garis perjuangan ideologis partai. Apalagi, PDI Perjuangan punya sejarah dan pengalaman yang sangat panjang sebagai partai politik.
PDI Perjuangan sekarang ini merupakan partai besar, yang memperoleh dukungan rakyat terbanyak di parlemen. Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri juga pernah mendapat amanah dari rakyat untuk menjadi Wakil Presiden dan kemudian Presiden Ke-5 Republik Indonesia. Pada pemilihan tahun 2014 lalu, sebagian besar rakyat Indonesia juga memberi kepercayaan kepada kader PDI Perjuangan, Joko Widodo, untuk menjadi presiden.
Jadi, PDI Perjuangan diyakini oleh rakyat banyak sebagai partai politik yang mampu menghasilkan kader-kader terbaik untuk memberikan baktinya kepada Indonesia, bahkan untuk posisi sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, Presiden Republik Indonesia. PDI Perjuangan punya banyak kader yang mumpuni, yang memiliki kemampuan dan wawasan yang dapat memberikan solusi atas berbagai masalah yang ada di negeri ini. Proficiat! [PUR]