Koran Sulindo – Pada pertengahan Agustus tahun 1945 Jusuf Ronodipuro adalah seorang lelaki muda yang bersemangat. Sama seperti pemuda-pemuda di masa itu, tak ada yang luar biasa dari pemuda ini selain bahwa dia bekerja di Hoso Kyoku yang merupakan radio militer milik Jepang di Jakarta.

Pada Pagi 15 Agustus 1945 itu Jusuf datang ke kantornya seperti biasa. Namun, di matanya suasana kantor telihat sangat ganjil. Beberapa Jepang totok yang bekerja di kantor itu hanya bergerombol dan berbicara pelan setengah berbisik dengan wajah murung. Sementara itu, gadis-gadis Jepang terlihat menangis diam-diam.

Radio itu dipimpin seorang tentara Jepang berpangkat letnan kolonel bernama Letkol Tomo Bachi sedangkan wakilnya adalah Utoyo Ramlan. Selain kedua orang itu, Hoso Kyoku dipimpin oleh Bahtiar Loebis di redaksi.

Bahtiar adalah kakak sastrawan sekaligus wartawan Mochtar Loebis. Ialah yang sering dipercaya membawakan siaran mancanegara di Hoso Kyoku.

Belakangan Jusuf baru tahu bahwa bom atom kedua baru saja dijatuhkan di Nagasaki dan Jepang menyerah tanpa syarat kepada tentara Sekutu. Melalui Moctar Lubis kabar itu diterimanya, merasa itu adalah berita besar Jusuf merasa perlu menyampaikan berita itu pada kawan-kawannya yang berkumpul di Jalan Menteng 31.

Sepeda pancal dikebutnya, namun sampai di sana kawan-kawannya justru telah mendengar berita yang sama dari Adam Malik yang kala itu bekerja di kantor berita Dome milik Jepang.

Besoknya,  Jepang mengisolasi seluruh pegawai di Hoso Kyoku dan membatasi keluar masuknya orang. Pegawai yang sudah berada di kantor dilarang keluar, begitu juga yang sudah berada di kantor dilarang keluar sama sekali. Jepang juga menghentikan siaran luar negeri.

Jadilah Jusuf diisolasi bersama seluruh pegawai dan terpaksa harus bermalam di kantor. Kempetai ditempatkan dipintu masuk mengontrol orang yang keluar masuk.

Jumat 17 Agustus 1945 di kantor semua masih berjalan seperti biasa.  Jusuf dan kawan-kawannya masih terisolasi di dalam kantor dan tak mengetahui bahwa Indonesia telah merdeka. Sampai hari menjelang sore, ketika tengah menyiapkan berbuka puasanya masuk seorang kawan dari kantor berita Dome.

Kawan bernama Syahrudin itu mencari Ronodipuro dan begitu bertemu langsung memberikan selembar surat pendek dari Adam Malik yang berisi naskah proklamasi. “Harap berita terlampir disiarkan,” kata Syahrudin pendek.

Lampiran yang dimaksud tentu saja naskah proklamasi yang sudah dibacakan Soekarno pada pagi harinya. Menghadapi tugas maha penting itu, Jusuf memerlukan diri berembuk dengan kawan-kawannya.

Dengan Kempetai yang mengontrol seluruh ruangan dan menyensor seluruh siaran,  nampaknya mustahil Jusuf melaksanakan amanat itu. Sesaat dia teringat studio siaran luar negeri yang telah ditutup sejak tanggal 15 Agustus. Sepertinya Dewi Fortuna memang sedang berpihak pada mereka. Studio itu tidak dijaga Kempetai.

Masalahnya, ruangan ini tidak tersambung dengan pemancar. Setelah bertanya kepada bagian teknis Jusuf mendapat gagasan mengubah pengaturan kabel stasiun radio itu. Kabel pemancar siaran dalam negeri tersambung dengan pemancar manca negara.

Mereka lantas menyelinap ke dalam studio dan berhasil menyiarkan kepada seluruh dunia berita proklamasi kemerdekaan Indonesia tepat pukul 7 malam selama 15 menit.

Untuk mengecoh Kempetai yang berjaga siaran tetap berlangsung seperti biasa. Hanya saja, siaran itu hanyalah kamulfase, karena sesungguhnya yang disiarkan adalah berita proklamasi yang dibacakan Jusuf dari studio luar negeri.

Ia juga membacakan naskah proklamasi itu dalam Bahasa Inggris, sehingga radio internasional seperti BBC, Radio Amerika, Singapura dan yang lainnya mengerti maksud siaran tersebut dan meneruskannya. Beres dengan siaran gelapnya, mereka kembali ke ruang redaksi.

Tak perlu menunggu lama aksi itu segera saja terbongkar Kempetai. Mereka masuk dengan menendang pintu dengan wajah marah dan teriakan makian. Satu-satu mereka menyeret Bahtiar dan Jusuf untuk diinterogasi. Untunglah sebelum semuanya menjadi fatal bagi Jusuf dan Bahtiar, Tomo Bachi pimpinan Hoso Kyoku masuk dan berbicara dengan Kempetai yang beringas itu.

Jusuf dan Bahtiar lolos dari maut, sementara Hoso Kyoku ditutup malam itu juga semua pegawai dibebaskan dan pulang malam itu juga.

Jika di Jakarta Jepang mengawasi pemancar radio dengan ketat, di daerah banyak radio yang tetap beroperasi. Di Bandung, tak jauh beda dengan Jusuf, Sakti Alamsyah juga melakukan siaran gelap mengabarkan kemerdekaan RI pada dunia pukul 19.00.

Bahkan lebih nekat lagi, dia mengulangi siaran setiap jamnya yakni pada pukul 20.00, 21.00 dan 22.00 waktu Jawa.

Setelah peristiwa tersebut, Ronodipuro mendirikan Radio Suara Indonesia Merdeka yang dibuatnya dari barang-barang elektronik bekas. Radio inilah yang pada tanggal 25 Agustus digunakan untuk berpidato oleh Soekarno. Ini adalah pidato pertama Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia, empat hari berselang giliran Mohammad Hatta berpidato di radio yang sama.

Ia juga meminta kepada Abdulrahman Saleh agar radio-radio di daerah terus melanjutkan siaran untuk menyebarkan semangat perjuangan. Gagasan itu disetujui dan pada tanggal 10 September 1945, pimpinan-pimpinan radio daerah dari Surakarta, Yogyakarta, Bandung, Semarang lain berkumpul mendiskusikan ide itu.

Mereka sepakat mendesak Jepang untuk memberikan stasiun radio mereka kepada Republik Indonesia namun permintaan langsung ditolak Jepang.

Ketika rapat kembali digelar 11 September, diputuskan bahwa radio-radio itu harus direbut paksa karena Jepang lagi-lagi menolak permintaan untuk menyerahkannya dengan sukarela. Dengan moral tentara Jepang yang merosot, radio-radio itu dengan gampang direbut.

Radio-radio inilah yang kelak menjadi Radio Republik Indonesia yang secara resmi diperingati hari jadinya setiap tanggal 11 September. Jusuf kemudian ditunjuk menjadi kepala RRI.(TGU)