Presiden Joko Widodo/biro pers istana presiden

Koran Sulindo – Lebih 3 tahun terakhir memimpin Indonesia, Presiden Joko Widodo mungkin sudah menyusuri seluruh wilayah Republik Indonesia, dari barat hingga ke timur, dari Sabang sampai Merauke. Jokowi juga pernah mengunjungi ujung utara Indonesia, Pulau Miangas. Ia hanya belum sempat mampir ke Pulau Rote, ujung selatan Indonesia, walau sempat dijadwalkan berkunjung ke sana.

Blusukan Presiden Jokowi itu bisa disusur jejak digitalnya di situs Presidenri.go.id. Di peta digital tersebut juga dapat diketahui daerah-daerah terpencil mana di bagian NKRI ini yang sudah dikunjunginya, antara lain Pulau Sebatik, Pulau We, dan Pulau Buru.

Perjalanan fisikal Jokowi mengunjungi wilayahnya ini mungkin hanya bisa diperbandingkan dengan lawatan Presiden Soekarno sejak Indonesia merdeka pada 1945 hingga wafatnya. Blusukan Bung Karno bahkan lebih jauh sebenarnya sudah dilakukan sejak 1942 sepulang dari pengasingan di Bengkulu. Sejak tahun itu hingga Jepang keluar dari tanah Indonesia, Bung Karno berkeliling nusantara, mempromosikan permintaan Pemerintah Militer Jepang, namun dalam banyak pidatonya yang langsung di hadirin berpuluh ribu orang, ia biasa menyelipkan semangat memerdekakan Indonesia.

Seluruh blusukan Jokowi bisa diartikan sebagai kampanyenya untuk Pemilihan Presiden pada 17 April 2019. Jokowi tahu pertarungan tak sampai 1,5 tahun lagi itu bukan hal gampang untuk dimenangkan. Ia hingga saat ini belum pernah secara resmi akan maju lagi dalam Pilpres nanti, walau seluruh partai koalisi pendukung pemerintahnya, seperti Golkar, Nasdem, Hanura, dan PKPI sudah mengajukan namanya untuk periode kedua.

Survei-survei juga sudah mengeluarkan hasil, dan elektabilitas Jokowi masih tertinggi di antara nama lain, namun belum di titik aman.

Survei Indo Barometer menunjukan Jokowi masih unggul dengan memiliki tingkat kepercayaan dan keterpilihan yang tertinggi untuk dipilih menjadi presiden. Hasil serupa juga dinyatakan dalam survei Poltracking yang dirilis pekan lalu dan Populi Center yang dirilis awal November 2017.

Pilpres 2019

Sebenarnya Jokowi sudah menunjukan sinyal-sinyal akan maju lagi untuk meraih periode kedua pemerintahannya. Bahkan ia memberikan panggung yang sangat besar:  gigir gunung di Wamena Papua, menaiki sepeda motor trail menuruni sekitar 7 km jalan yang baru selesai dibangunnya di pojok negeri yang lama dianaktirikan sejak Indonesia ada itu.

Dalam lawatan yang diberi nama Lintas Nusantara itu, Jokowi memulai dari ujung barat, Aceh. Di serambi Mekah itu ia menghadiri Pekan Nasional Petani Nelayan ke-15 di Stadion Harapan Bangsa, Gampong Lhong Raya, Banda Aceh, Sabtu 6 Mei 2017. Di hadapan sekitar 35 ribu petani dan nelayan, Presiden mengatakan pemerintah terus membangun infrastruktur pertanian, mulai dari waduk, embung, hingga irigasi sekunder dan tersier. Sehari kemudian Jokowi melanjutkan perjalanan ke Kalimantan Selatan, mengunjungi Puncak Budaya Maritim Pesta Laut Mappanretasi 2017 di Pantai Pagatan, Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan.

Lalu ia terbang ke Maluku Utara, meresmikan fasilitas Pelabuhan Tapaleo, Pelabuhan Wayabula dan Pelabuhan Bicoli di Kabupaten Halmahera Tengah, Senin 8 Mei. Jokowi adalah presiden kedua yang pernah menginjakkan kakinya di situ setelah Presiden Soekarno pada 1957.

Jokowi memulai lawatan dari Aceh dan mengakhiri di Papua; seperti memberi pernyataan di antara spasi dalam kalimat-kalimat yang dimuat media: Indonesia bukan hanya Jawa, bukan hanya Jakarta. Dalam 5 hari itu Jokowi non stop pindah dari satu kota ke kota lain, pindah dari zona waktu satu ke lainnya, bersalaman dengan orang-orang yang warna kulitnya beda kontras antara putih di Kalimantan dengan hitam di Papua.

Tapi baiklah, lagi-lagi kita nyinyiri Jokowi, mengapa ia terus fokus melakukan pembangunan fisik, waduk, jalan, jalan tol, pelabuhan, dan membagi-bagi kartu pintar dan kartu sehat, padahal kas negara, sudah kosong? Apa ia sungguh-sungguh ingin membuat warga negara Indonesia di pojok-pojok negeri yang nyaris tak pernah tersentuh pembangunan sejak merdeka itu tak diabaikan lagi? Atau apa?

Dan blusukan ke mall, membeli sepatu atau baju murah, apakah benar-benar penting? Buat orang kota dan generasi milenial yang lahir besar bersama internet, seorang presiden jalan-jalan ke pusat perbelanjaan mungkin menarik hati, dan menarik jumlah rating dan view jika diunggah ke media sosial, sebuah kampanye yang manis, tapi apakah tidak hanya menjangkau orang yang itu-itu saja, yang mungkin pada Pilpres 2014 lalu sudah memilih pasangan Jokowi-Jusuf Kalla?

Dan bukankah vonis pada Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) pada Mei lalu menunjukkan politik identitas yang digunakan untuk mengganyangnya hingga masuk bui, ternyata sakti. Bukankah senjata itu kemungkinan besar akan digunakan lagi pada Pilpres nanti.

Titik Nol

Sudah sejak awal dengan konsep Nawacita-nya, Jokowi ingin mengubah orientasi pembangunan dari Jawa sentris ke Indonesia sentris. Pada 2 tahun usia pemerintahan Oktober 2016 lalu, ketika kasus penistaan agama dengan sasaran Ahok sedang dimasak, Jokowi menunjukkan pembangunan fisik di pelosok dan pulau-pulau terluar. Contoh terbaik adalah diresmikannya Bandara Miangas, di Kabupaten Kepualauan Talaud Sulawesi Utara yang hanya berpenduduk 750 orang dan ribuan burung. Lalu harga premium di Papua sama dengan harga di Jawa, dan seterusnya, dan sebagainya.

Pencapaian terpenting Jokowi di bidang politik adalah konsolidasi basis kekuasaan. Jokowo sukses merangkul sebagian besar pendukung Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dengan memberikan kursi kabinet bagi Partai Golkar dan PAN. Sebelumnya kabinet hanya diisi wakil PDI-P, PKB, Nasdem, Hanura. Hanya tinggal Gerindra dan PKS yang di luar.

Namun, seperti ditulis di bloomberg.com (On Dirt Bike in Indonesia Jungle, Jokowi Reboots Presidency; 23 Juni 2017), serangan terhadap Ahok memberi luka juga pada Jokowi. “Ini adalah serangan preemptive menjelang pilpres,” kata profesor politik Islam global di Deakin University Australia, Greg Barton.

Hari-hari ini, di bulan terakhir menjelang masuk tahun-tahun politik, posisi Jokowi malah terpuruk dibandingkan katakanlah 6 bulan lalu, jangan lagi dibandingan dengan posisi dan elektabilitas Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjelang pilpres 2009 yang jauh lebih tinggi daripada Jokowi kini.

Seperti ditulis majalah The Economist (Indonesian politics are becoming less predictable; 5 Oktober 2017), posisi politiknya kini goyang. dan bangkitnya politik agama mengancam jalannya ke kursi kepresidenan lagi.

Namun di atas segalanya adalah ekonomi, ekonomi, dan ekonomi. Sejak ia menjadi presiden pada 2014, pertumbuhan ekonomi rata-rata hanya 5 persen per tahun, di bawah pencapaian Presiden SBY, apalagi zaman Orde Baru Soeharto.

Konon sangat terasa dalam kehidupan sehari-hari daya beli masyarakat melemah. Tingkat penjualan para pedagang melorot drastis. Harga-harga komoditi andalan ekspor Indonesia jatuh sejak ia menjadi presiden dan hingga kini masih di titik yang rendah, diikuti terus turunnya investasi asing dalam 2 tahun terakhir.

Banyak orang mahfum pembangunan infrastruktur itu memang harus dan perlu untuk masa depan Indonesia, namun itu baru dirasakan generasi mendatang, sementara generasi sekarang harus menghadapi hidup yang sulit.

Pasar Tanah Abang Jakarta adalah potret paling tepat menggambarkan perekonomian Indonesia. Lorong-lorong yang berisi los-los tampak sepi pembeli, para pedagang punya banyak waktu memainkan telepon selulernya. Jokowi harus menganggap situasi saat ini sebagai titik nol, awal berangkat dari mula lagi. Ini soal ekonomi Pak Jokowi. [Didit Sidarta]