Goa Jepang di Biak. (Foto: blogspot.com)

Tak banyak tempat di Indonesia yang mampu merangkum sejarah kelam perang dunia sekaligus membalutnya dalam kisah-kisah mistis yang hidup hingga kini. Di Pulau Biak, Papua, sebuah gua sunyi menyimpan jejak berdarah masa lalu yang tidak pernah benar-benar lenyap dari ingatan yaitu Goa Jepang atau yang dikenal juga sebagai Goa Binsari. Bukan sekadar lubang batu di perut bumi, tempat ini pernah menjadi benteng pertahanan tentara Kekaisaran Jepang saat Perang Dunia II dan kini menjadi tempat wisata yang menarik untuk di kunjungi.

Apa yang tersisa dari ribuan nyawa yang gugur di dalamnya? Dan mengapa hingga kini masih terdengar jeritan di malam hari dari lorong-lorong gelap itu? Dirangkum dari berbagai sumber, mari kita menelusuri sejarah berdarah dan aura mistis yang menyelimuti Goa Jepang di Biak, sebuah situs yang tak hanya mengajarkan pentingnya perdamaian, tetapi juga menyimpan suara-suara dari masa lalu yang belum selesai bercerita.

Sejarah dan Latar Belakang

Pada tahun 1942 hingga 1943, sekitar 10.000 tentara Kekaisaran Jepang mendarat di Pulau Biak. Menyadari posisi strategis pulau ini di jalur militer Pasifik, Jepang segera membangun sistem pertahanan berupa benteng-benteng di sepanjang pantai, hutan, hingga gua-gua alami. Salah satu lokasi yang paling terkenal adalah Goa Jepang (Abyab Binsari) yang terletak di Kabupaten Biak Numfor.

Awalnya, goa ini merupakan formasi alami. Namun, oleh tentara Jepang, goa ini dikembangkan menjadi pusat logistik, tempat perlindungan, sekaligus markas komando. Sejak tahun 1943 hingga 1944, tempat ini menjadi basis utama Jepang untuk menghadapi kemungkinan serangan Sekutu.

Puncak pertempuran terjadi pada Mei hingga Juni 1944, saat pasukan Sekutu yang dipimpin Amerika Serikat melancarkan serangan besar-besaran ke Pulau Biak. Dalam upaya untuk menghancurkan pertahanan Jepang yang bersembunyi di Goa Binsari, Sekutu menjatuhkan drum-drum berisi bahan bakar ke dalam goa dan menyalakannya. Akibatnya, sekitar 3.000 tentara Jepang yang berada di dalam terbakar dan terkubur hidup-hidup.

Komandan Jepang saat itu, Letnan Kolonel Kuzume Naoyuki, juga menjadi bagian dari tragedi besar tersebut. Peristiwa ini menjadikan Goa Jepang sebagai salah satu titik paling mematikan dalam sejarah pertempuran Pasifik di Perang Dunia II.

Hingga hari ini, Goa Jepang masih menyimpan sisa-sisa sejarah yang menyedihkan. Tulang-belulang tentara Jepang yang ditemukan di dalam goa kini disimpan di ruang arsip khusus di kawasan tersebut. Pemerintah telah merenovasi tempat ini menjadi situs wisata sejarah, dilengkapi dengan jalur wisatawan dan papan-papan informasi sejarah.

Tidak jauh dari goa, berdiri Monumen Perang Dunia II di Pantai Ambroben. Monumen ini terdiri dari delapan batu besar yang melambangkan delapan jenderal Jepang yang memimpin pertahanan di Biak. Lokasi ini sering menjadi tempat ziarah bagi wisatawan dari Jepang serta menarik minat para pecinta sejarah dari seluruh dunia.

Goa Jepang (Binsari) berlokasi sekitar 4 kilometer dari pusat Kota Biak, tepatnya di Kelurahan Samofa, Kabupaten Biak Numfor. Akses menuju lokasi ini cukup mudah, dapat ditempuh dalam waktu sekitar 30 menit dari pusat kota.

Goa Jepang bukan sekadar situs sejarah, melainkan simbol dari kekejaman perang dan pentingnya menjaga perdamaian. Pemerintah Indonesia dan Jepang sepakat untuk terus merawat situs ini sebagai warisan sejarah dunia. Tak hanya menjadi destinasi wisata edukatif, Goa Jepang juga menjadi tempat refleksi akan pentingnya perdamaian antarbangsa.

Mitos Mistis Goa Jepang

Selain nilai sejarahnya, Goa Jepang di Biak juga dipenuhi dengan berbagai kisah mistis yang telah beredar luas di masyarakat. Kisah-kisah ini menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan, terutama mereka yang tertarik dengan nuansa supranatural.

1. Suara Langkah dan Jeritan

Penduduk setempat dan pengunjung sering melaporkan mendengar suara langkah kaki tentara yang berbaris di dalam goa pada malam hari. Jeritan kesakitan juga kerap terdengar, diyakini berasal dari arwah para tentara Jepang yang tewas terbakar dan terkubur hidup-hidup selama serangan Sekutu.

2. Penampakan Hantu Prajurit Jepang

Beberapa pengunjung mengaku melihat sosok prajurit Jepang lengkap dengan seragam militer dan senjata. Sosok ini sering terlihat berdiri diam di lorong goa atau berjalan sebelum menghilang begitu saja. Penampakan ini diyakini sebagai manifestasi arwah yang belum tenang.

3. Kesurupan

Insiden kesurupan juga dilaporkan di lokasi ini, terutama saat ada pengunjung yang masuk tanpa izin atau mengucapkan kata-kata tidak sopan. Beberapa orang merasa seperti dikendalikan atau berbicara dalam bahasa asing. Tak sedikit pula yang mengaku merasa diawasi dari kegelapan, meskipun tidak melihat siapa pun di sekitar mereka.

4. Suara Tangisan dan Permintaan Tolong

Kisah lain menyebutkan, saat keluarga tentara Jepang datang berziarah, sering terdengar suara tangisan dan permintaan tolong dari dalam goa. Beberapa percaya bahwa arwah-arwah tersebut ingin dipulangkan ke tanah air mereka.

5. Tiang Bendera Bergerak Sendiri

Ada laporan tentang tiang bendera di dekat Monumen Perang Dunia II yang tiba-tiba bergerak sendiri pada malam hari, padahal tidak ada angin atau aktivitas manusia di sekitarnya. Fenomena ini semakin memperkuat keyakinan masyarakat akan aura mistis di lokasi tersebut.

6. Legenda Nenek Penunggu Gua

Nama “Binsari” diyakini berasal dari bahasa Biak yang berarti “perempuan tua” atau “nenek”. Legenda menyebutkan bahwa sebelum goa digunakan oleh tentara Jepang, tempat itu dihuni oleh seorang nenek dengan kemampuan spiritual tinggi. Setelah tentara Jepang datang, nenek tersebut menghilang secara misterius, menambah kesan angker di lokasi tersebut.

Goa Jepang di Biak, Papua, merupakan situs bersejarah yang sarat makna. Di balik fungsinya sebagai benteng pertahanan Jepang dalam Perang Dunia II, tempat ini menyimpan kisah pilu tentang kematian ribuan tentara dan tragedi perang yang tak terlupakan. Kini, Goa Jepang menjadi pengingat akan pentingnya perdamaian dan menjadi daya tarik wisata sejarah yang juga dibalut kisah-kisah mistis yang terus hidup dalam narasi masyarakat. [UN]