Sebetulnya tidak tepat kalau disebut empat keraton, nyatanya yang ada cuma dua keraton dan dua pura: Keraton Surakarta, Keraton Yogyakarta, Pura/Puro Mangkunegaran dan Puro Pakualaman. Tetap saja ada yang istimewa dari jejak sejarah dinasti Mataram (Islam) ini. Ditulis sebagai Mataram Islam untuk membedakan dengan dinasti Wangsa Sanjaya penguasa Mataran Hindu pada abad 7-10 Masehi.

Berdirinya Keraton Surakarta dan Yogyakarta juga menjadi penanda berakhirnya kerajaan Mataram Islam dengan Sultan Agung Hanyakrakusuma sebagai raja pertama (1613 – 1645) hingga Amangkurat IV (1719-1726) sebagai raja terakhir.

Bermula pada Perjanjian Giyanti

Awal kisah perpecahan kerajaan di Jawa ini bermula dari pertikaian antar keluarga kerajaan yang dimanfaatkan penguasa VOC, dengan politik adu domba antar saudara.

Konflik saudara tersebut melibatkan Susuhunan Paku Buwana II, Pangeran Mangkubumi, dan Raden Mas Said alias Pangeran Sambernyawa. Berdasarkan silsilahnya, Paku Buwana II (raja pendiri dari Kasunanan Surakarta) dan Pangeran Mangkubumi adalah kakak beradik, yang merupakan putra dari Amangkurat IV (1719-1726). Sedangkan Raden Mas Said merupakan salah satu cucu Amangkurat IV, atau lebih tepatnya ialah keponakan dari Paku Buwana II dan Pangeran Mangkubumi.

Raden Said meminta haknya sebagai pewaris takhta Mataram yang diduduki oleh pamannnya yakni, Paku Buwana II. Alasan utamanya ialah: ayah Raden Mas Said, Pangeran Arya Mangkunegara merupakan putra sulung dari Amangkurat IV. Oleh karenanya, Arya Mangkunegaralah yang seharusnya menjadi raja Mataram meneruskan Amangkurat IV. Namun, karena Arya Mangkunegara sering menentang kebijakan VOC akhirnya dihukum buang, diasingkan ke Srilanka hingga meninggal dunia. VOC pun kemudian menaikkan putra Amangkurat IV lainnya, yakni Pangeran Prabusuyasa, sebagai penguasa Mataram selanjutnya dan bergelar Paku Buwana II.

Ketika Paku Buwana II memangku tahta kepemimpinan Mataram, ia memindahkan ibu kota kerajaan tersebut dari Kartasura ke Surakarta pada 17 Febuari 1745.  Perpindahan tersebut terjadi setelah Keraton Kartasura hancur akibat adanya pemberontakan yang dipimpin Mas Garendi atau Sunan Kuning pada 1742 dan mengakibatkan istana Mataram di Kartasura rusak. Hal ini semakin memperkuat Raden Mas Said ingin merebut tahta Mataram dari Paku Buwana II. Karena memiliki tujuan yang sama, akhirnya Raden Mas Said bekerja sama dengan Pangeran Mangkubumi untuk merebut tahta Mataram dari Paku Buwana II yang dilindungi VOC.

Riwayat berubah, pada Desember 1749 Paku Buwana II meninggal. Kekosongan tahta ini dimanfaatkan oleh Pangeran Mangkubumi yang mengangkat diri sebagai raja baru Mataram. Namun VOC tidak mengakui Pangeran Mangkubumi sebagai penguasa di Mataram karena sebelum Paku Buwana II meninggal ia memberikan wewenang pengangkatan raja baru kepada VOC.

Situasi memanas ketika VOC  mengangkat putra Paku Buwana II, Raden Mas Soerjadi menjadi raja Mataram dengan gelar Paku Buwana III. Raden Mas Said dan Pangeran Mangkubumi kembali melancarkan serangan pada VOC dan Paku Buwana III.

Untuk mengatasi serangan dari Raden Mas Said dan Pangeran Mangkubumi, VOC kemudian menyusun siasat adu domba kedua tokoh tersebut.  Politik adu domba yang dilancarkan VOC membuahkan hasil, pada 1752 pecah perselisihan antara Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said. Hal ini kemudian dimanfaatkan oleh VOC untuk berunding dengan Mangkubumi. VOC membujuk Mangkubumi dengan menjanjikan setengah wilayah kekuasaan Mataram yang dipegang Paku Buwana III.

Pada September 1754 penguasa VOC mengadakan perundingan dengan mengudang Paku Buwana III dan Pangeran Mangkubumi untuk membahas pembagian wilayah kekuasaan Mataram. Perundingan itu mencapai kesepakatan dengan ditandatanganinya Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755 yang membagi kerajaan Mataram menjadi dua bagian yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.

Nama “Giyanti” diambil dari lokasi penandatanganan perjanjian, yaitu di Desa Janti, dalam ejaan van Ophuijsen menjadi Giyanti. Kini terletak di Desa Jantiharjo, Matesih, Karanganyar, Jawa Tengah.

Setelah Perjanjian Giyanti, Pangeran Mangkubumi mendapat setengah wilayah Mataram yang kemudian memunculkan kerajaan baru bernama Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Pangeran Mangkubumi lalu menobatkan diri sebagai raja dengan gelar Sri Sultan Hamengku Buwana I, dan Paku Buwana III tetap sebagai penguasa Keraton Surakarta.

Raja Keraton Surakarta bergelar Susuhunan Paku Buwana , dan raja Keraton Yogyakarta bergelar Sultan Hamengku Buwana.

Dengan terbentuknya dua keraton ini, riwayat Kerajaan Mataram Islam telah berakhir baik secara de facto maupun de jure.

Perjanjian Salatiga dan berdirinya Mengkunegaran

Raden Mas Said, yang tidak terlibat dalam Perjanjian Giyanti dan merasa belum mendapatkan haknya, semakin gencar melakukan perlawanan terhadap Hamengkubuwono I, Pakubuwono III, dan VOC. Kemudian VOC menawarkan jalan damai dengan perundingan, yang akhirnya diterima oleh Raden Mas Said.

Pihak-pihak terkait berkumpul di Salatiga, Jawa Tengah, pada 17 Maret 1757 untuk menyepakati perjanjian. Dalam perjanjian itu, Raden Mas Said diakui sebagai pangeran merdeka dengan wilayah otonom berstatus kadipaten yang disebut Praja Mangkunegaran.

Mangkunegaran merupakan kadipaten yang posisinya di bawah kasunanan dan kasultanan, sehingga penguasanya tidak berhak menyandang gelar Sunan ataupun Sultan layaknya raja. Gelar para Mangkunegara yang memegang pemerintahan di Mangkunegaran adalah Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA). Raden Mas Said kemudian dinobatkan sebagai pendiri sekaligus penguasa pertama Mangkunegaran yang bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I.

Kedudukan pemimpin Mangkunegaran berada di Pura/Puro Mangkunegaran, yang didirikan di kawasan Banjarsari, Surakarta. Mangkunegaran merupakan kerajaan otonom yang berhak memiliki tentara sendiri yang independen dari Kasunanan Surakarta. Satuan militer Mangkunegaran dinamakan Legium Mangkunegaran. Sedangkan wilayahnya mencakup bagian utara Kota Surakarta, yakni Kecamatan Banjarsari, seluruh Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Wonogiri, dan sebagian wilayah Kecamatan Ngawen serta Semin di Gunung Kidul, Yogyakarta. Keseluruhan wilayah Mangkunegaran tersebut hampir mencapai 50 persen wilayah Kasunanan Surakarta.

Pakualaman

Pura/Puro Pakualaman adalah kompleks istana yang terletak di Yogyakarta dan merupakan hasil dari perjanjian antara Sultan Yogyakarta dan Adipati Paku Alam I tahun 1813. Pendirian Pura Pakualaman terkait dengan peristiwa sejarah penting yang terjadi pada masa itu.

Peristiwa tersebut berkaitan dengan perjuangan melawan kekuasaan Belanda yang mendominasi Hindia Belanda pada abad ke-19. Pada saat itu, Sultan Yogyakarta dan Adipati Paku Alam I (yang menguasai beberapa wilayah di Yogyakarta) bersatu dalam perjuangan melawan Belanda.

Sebagai penghargaan atas kontribusi Adipati Paku Alam I dalam perjuangan tersebut, Sultan Yogyakarta memberikan beberapa wilayah kepada Adipati Paku Alam I. Wilayah ini kemudian menjadi inti dari apa yang kemudian dikenal sebagai Pura Pakualaman. Pembentukan Pura Pakualaman memberikan Adipati Paku Alam I kedudukan dan kekuasaan yang lebih otonom di dalam wilayah Yogyakarta.

Pura Pakualaman, seperti halnya kraton di Yogyakarta, memiliki fungsi sebagai pusat pemerintahan, budaya, dan spiritual di wilayahnya sendiri. Meskipun secara administratif terkait dengan Sultan Yogyakarta, Pura Pakualaman memiliki otonomi dalam pengaturan internalnya sendiri.

Sejak berdirinya, Pura Pakualaman telah menjadi bagian dan warisan budaya Yogyakarta. Tempat ini juga menjadi pusat kegiatan kebudayaan dan tradisi Jawa, serta merupakan simbol dari persatuan antara Sultan Yogyakarta dan Adipati Paku Alam dalam perjuangan melawan penjajahan Belanda.

Jadi ada empat pusat kekuasaan di wilayah Surakarta dan Yogyakarta: Keraton Surakarta – Keraton Yogyakarta – Puro Mangkunegaran – Puro Pakualaman. Setelah kemerdekaan RI, kewenangan dan kekuasaannya berubah disesuaikan dengan bentuk negara Republik Indonesia. [KS]