Seragam tentara VOC di abad ke-17. [Sumber Depdiknas 2005].

Koran Sulindo –Semasa dipimpin Ki Ageng Pemanahan dan Ki Juru Martani sebagai penasihatnya, tak sebersitpun niat Mataram memerdekan diri. Wilayah bebas pajak itu tetap menjadi daerah bawahan Pajang yang setia dan patuh.

Status quo berubah ketika Ki Ageng Pemanahan mangkat sementara Sutawijaya tak mau repot-repot lagi menyembunyikan ambisinya.

Di masa-masa awal, Ngabehi Loring Pasar alias Sutawijaya masih berusaha menunjukkan kesetiaannya dengan menuruti saran Juru Martani menghadap Sultan Hadiwijaya di Pajang. Termasuk ketika ia melaporkan kematian ayahnya di tahun 1575.

Oleh Sultan Hadiwijaya, selain ditunjuk Hadiwijaya sebagai penguasa Mataram menggantikan ayahnya, ia sekaligus diingatkan agar tak pernah lupa menghadap ke Pajang setiap tahun.

Tampil sebagai pemimpin tertinggi di Mataram, Sutawijaya dengan penuh semangat segera mengkonsolidasikan kekuasaannya.

Selain persiapan material seperti merayu penguasa sekitarnya seperti Kedu dan Bagelen, Sutawijaya juga melakukan persiapan spiritual dengan banyak-banyak bertapa di Gunung Merapi maupun pantai laut selatan.

Legenda menyebut tapabrata Sutawijaya di laut selatan itu menjadi pemicu fenomena supernatural yang dianggap mengganggu ‘kerajaan’ di Laut Selatan dengan ombak besar, hujan badai, gempa, dan gunung meletus

Ketika Sang Ratu Kidul datang melihat siapa yang menjadi pengganggu kerajaannya, ia justru jatuh cinta sekaligus meminta Sutawijaya agar menghentikan meditasinya.

Sebagai imbalannya, sang Ratu setuju membantu Sutawijaya membangun kerajaan barunya, Mataram.

Memperat ikatan tersebut, sekalian saja Sutawijaya melamar sang Ratu menjadi pasangan spiritualnya sekalgus sepaket dengan semua penerus-penerusnya.

Slamet Muljana dalam Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara  menyebut hal menarik dari Sutawijaya di muara Kali Opak di pesisir selatan Jawa. Konon dalam pertapaan itu ia bertemu Ratu Kidul yang menjanjikan bantuan setiap Sutawijaya membutuhkan.

Menurut Slamet, kisah pertapaan di Laut Selatan pada hakikatnya merupakan upaya Sutawijaya memeriksa apakah pantai-pantai itu bisa dipakai sebagai pelabuhan oleh Mataram yang sedang dibangun.

Slamet Muljana menafsirkan kisah pertapaan itu menunjukkan bahwa Sutawijaya tetaplah mengidamkan kekuatan maritim tangguh seperti di era Demak atau Majapahit.

Sayang, niat itu mustahil terwujud karena tingginya gelombang laut selatan. Jadi pada hakikatnya, ‘perkawinan’ Ratu Kidul yang berkuasa di Laut Hindia dengan Sultan Mataram tak dapat dilaksanakan.

Sutawijaya jelas tak mau frontal menyerobot pantai-pantai di Laut Jawa yang bagaimanapun tetap dikuasai orang-orang Cina yang merupakan pendukung Demak. Belum lagi kedatangan orang-orang Eropa yang dengan meriam kapal yang tak tertandingi.

Sebagai naskah paling tua yang menulis keberadaan Ratu Kidul, Babad Tanah Jawi menyebut Kanjeng Ratu Kidul adalah pelindung dan mempelai ‘spiritual’ Sutawijaya sekaligus raja-saja Mataram di kemudian hari.

Namun, tentu saja kisah Babad Tanah Jawi boleh serta merta dianggap sebagai kebenaran karena dari beragam susunan dan isi tidak pernah ditemukan salinan yang lebih tua dari abad ke-18. Berjarak dua abad dibanding masa awal-awal keberadaan Kasultanan Mataram.

Meski babad ini dianggap sebagai babon rekonstruksi sejarah Jawa, para peneliti senantiasa menggunakan pendekatan kritis karena menyadari kentalnya mitos dan pengkultusan tokoh-tokohnya.

Sastrawan Pramoedya Ananta Toer dalam pidato tertulis penerimaan penghargaan Ramon Magsaysay 1988 berjudul Sastra, Sensor dan Negara: Seberapa Jauh Bahaya Bacaan?menyebut mitos tentang Ratu Kidul sengaja diciptakan.

Pram menganggap mitos diperlukan untuk mengkompensasi dua kali kekalahan Sultan Agung menyerang Batavia sekaligus kegagalannya menguasai perdagangan laut di Pantai Utara Jawa.

“Untuk menutupi kehilangan tersebut pujangga Jawa menciptakan Dewi Laut Nyai Roro Kidul sebagai selimut, bahwa Mataram masih menguasai laut, di sini Laut Selatan. Mitos ini melahirkan anak-anak mitos yang lain: bahwa setiap raja Mataram beristerikan Sang Dewi tersebut,” tulis Pram.

Dengan nasib yang jeblok dan kebutuhan untuk melanggengkan kekuasaan Mataram, kisah Ratu Kidul sangat berguna untuk merangket bawah sadar rakyat.

Pram juga menyebut, tabu mengenakan pakaian warna hijau muda di wilayah laut selatan juga menegaskan bahwa para pujangga istana di Mataram ingin ‘membunuh’ asosiasi rakyat Jawa pada warna yang digunakan oleh tentara Kompeni. Coba tebak warna apa? Ya, warna hijau muda![TGU]