Dalam beberapa tahun terakhir, geliat Timnas Indonesia menunjukkan wajah baru, perpaduan antara semangat nasionalisme dan keberagaman latar belakang pemainnya. Di antara para pemain yang memperkuat skuad Merah Putih, terdapat nama-nama yang hadir dengan status naturalisasi, namun bukan sekadar karena prestasi sepak bola di luar negeri. Sebagian dari mereka datang membawa jejak sejarah panjang, jejak para blijvers.
Siapa Itu Blijvers?
Istilah blijvers merujuk pada sekelompok orang Belanda atau keturunan Belanda yang memilih untuk menetap secara permanen di Hindia Belanda, wilayah yang kini menjadi Indonesia. Berbeda dengan trekkers orang Belanda yang datang untuk bekerja lalu kembali pulang ke negeri asal, blijvers menancapkan akar dan menjadikan Hindia Belanda sebagai rumah.
Menurut Upik Djalins dalam Journal of Southeast Asian Studies, status sosial dan hukum dalam Hindia Belanda sangat dipengaruhi oleh kebijakan kolonial, termasuk Peraturan Konstitusi Koloni tahun 1854.
Di dalam sistem ini, masyarakat diklasifikasikan berdasarkan ras dan asal-usul. Golongan Eropa, termasuk orang Belanda dan keturunan Eurasia (campuran Eropa dan pribumi), memperoleh kedudukan hukum yang lebih tinggi dibandingkan penduduk asli.
Namun, di antara mereka, para blijvers menempati posisi yang unik. Mereka adalah orang-orang berdarah Belanda yang hidup membaur bersama masyarakat lokal. Dalam prosesnya, banyak dari mereka yang menikah dengan penduduk pribumi, membesarkan anak-anak mereka di tanah Hindia, dan menjadikan Indonesia sebagai kampung halaman sejati.
Blijvers dan Timnas Indonesia
Kini, warisan historis itu mencuat kembali melalui dunia sepak bola. Beberapa pemain Timnas Indonesia yang dinaturalisasi belakangan ini ternyata merupakan keturunan blijvers, sebuah bukti bahwa jejak masa lalu kolonial masih hidup dalam cara yang tak terduga.
Salah satu nama paling menonjol adalah Maarten Paes, penjaga gawang yang resmi menjadi Warga Negara Indonesia (WNI) pada tahun 2024. Status naturalisasi Paes bukan sekadar karena prestasinya sebagai kiper, melainkan karena neneknya lahir di Indonesia—suatu hubungan darah yang mengakar dari masa Hindia Belanda. Latar belakang ini menjadikannya bagian dari kelompok blijvers, yang kini turut membela merah putih di lapangan hijau.
Selain Paes, ada pula Ole Romeny, pemain yang juga memiliki garis keturunan blijvers. Ia dinaturalisasi demi memperkuat Timnas Indonesia dan memperluas tapak sejarah keluarganya di tanah yang pernah menjadi rumah bagi nenek moyangnya.
Blijvers bukan hanya soal sejarah kolonial. Mereka adalah representasi dari bagaimana identitas dapat melewati batas negara dan waktu. Dahulu, mereka mungkin hidup di antara dua dunia, Eropa dan Hindia Belanda sering kali dianggap “bukan sepenuhnya Belanda” namun juga “bukan pribumi”. Kini, keturunan mereka justru menjadi simbol integrasi, bagian dari wajah Indonesia modern yang inklusif dan terbuka.
Blijvers juga menyingkap sisi lain dari kolonialisme, yakni bahwa relasi antara pendatang dan penduduk lokal tak selalu berakhir dengan dominasi satu arah. Dalam kasus blijvers, banyak dari mereka justru membaur, hidup dalam budaya lokal, dan membentuk komunitas yang memiliki rasa keterikatan terhadap tanah ini.
Anak-cucu mereka kemudian lahir dengan semangat yang tak kalah nasionalistik dibanding warga lain, bahkan siap membela nama bangsa di pentas internasional.
Kisah blijvers bukan hanya cerita masa lalu. Ia adalah bagian dari narasi besar tentang bagaimana Indonesia hari ini dibentuk oleh banyak lapisan sejarah dan darah. Saat Maarten Paes berdiri di bawah mistar atau ketika Ole Romeny menggiring bola ke jantung pertahanan lawan, mereka tak sekadar mengenakan seragam Timnas. Mereka membawa serta warisan leluhur yang dahulu memilih Indonesia sebagai tanah tumpah darah sebuah warisan yang kini kembali hidup lewat semangat juang di lapangan hijau.
Dalam konteks ini, sepak bola bukan hanya olahraga. Ia menjadi panggung di mana sejarah, identitas, dan kebangsaan bertemu dalam satu napas, Garuda di dadaku. [UN]