Catatan Cak AT:
Muktamar ke-15 Persatuan Ummat Islam (PUI) dibuka dengan gegap gempita di aula utama Smesco, Jakarta. Tentu saja, bukan hanya karena tata suara yang membuat jantung berdetak lebih cepat dari biasanya, tetapi juga karena kehadiran tokoh di panggung ormas ini: Zulkifli Hasan.
Ya, Pak Zul, Menteri Koordinator Bidang Pangan kita, hadir untuk pertama kalinya di acara akbar PUI. Ketua Umum PAN dan tokoh Muhammadiyah sejati ini tiba-tiba menjadi bintang panggung, bicara penuh semangat tentang dua kata yang, katanya, bisa menyelamatkan bangsa: ishlah dan cinta.
Dan seperti biasa, kita harus angkat topi. Bukan hanya karena tata suara yang bisa membuat telinga berdzikir sendiri, tetapi juga karena kejelian panitia membaca strategi: hadirkan Pak Zul, dukung ketahanan pangan, lalu sematkan kata “kerja sama strategis.” Selesai sudah.
Semua senang. PUI senang, Pak Zul senang. Bahkan mungkin, Kepala Kepolisian RI, Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo pun senang. Apalagi, namanya disebut berkali-kali sebagai tokoh yang paling rajin hadir di tengah-tengah ormas Islam, termasuk di PUI bersama jajaran penuh.
Tapi mari kita refleksikan sejenak. Pak Zul menyebut ishlah dan cinta sebagai kunci penyelesaian semua persoalan. “Dengan ishlah dan cinta, selesai semuanya,” katanya dengan penuh keyakinan dan gaya lembutnya —seperti sedang kampanye, tapi bukan kampanye.
Tentu saja kita bisa tersenyum, lalu bertanya dalam hati: “Sudahkah cinta itu masuk ke kebijakan?” Kesadaran ini barangkali tumbuh dalam diri Pak Zul sejak lama. Tapi mungkin kini ia menyadarinya lebih dalam, setelah tahu dua kata itu jadi jargon dalam Intisab PUI.
Untuk memberi ilustrasi, Pak Zul mengangkat nostalgia tentang masa Orde Baru, dengan semangat seperti anak kos yang mengenang masakan ibu. Katanya, dulu kita punya pesawat terbang, satelit yang pertama, kapal canggih, dan tentu saja, swasembada pangan.
Sekarang? Ia pun membandingkan. Sawahnya masih itu-itu saja, bahkan ratusan ribu hektare lenyap tiap tahun —antara lain menjadi perumahan. Lalu, reformasi yang sudah berusia hampir 30 tahun? “Reformasi tanpa cinta,” katanya, “ya begini hasilnya.”
Sebentar, mari kita luruskan. Benar bahwa banyak capaian Orde Baru yang monumental—terutama di bidang pangan dan infrastruktur. Tapi, apakah kita ingin mengulang masa itu sepenuhnya, apalagi di ranah politik, dengan paket lengkap termasuk represi dan pembungkaman?
Reformasi, istilah lain ishlah, mestinya berjalan ke arah perbaikan, bukan sekadar romantisme masa lalu. Tapi ketika ishlah berjalan tanpa cinta, hasilnya ya bisa seperti sekarang: rakyat menonton elite saling berebut kursi, sementara sawah tetap tenggelam saat musim hujan.
Pak Zul juga mengkritik reformasi yang penuh bansos tapi tanpa cinta. “Cinta pemerintah ke rakyat seperti ini hanya pura-pura,” katanya. Pernyataan ini cukup berani. Tapi di era mana, Pak? Bukankah PAN juga ikut dalam banyak rezim yang menjalankan bansos demi partai?
Namun kita setuju: cinta itu bukan sekadar bansos menjelang pemilu. Cinta itu adalah kehadiran negara yang membangun kemandirian rakyat. Dan di sinilah, menurut Pak Zul, Presiden Prabowo Subianto mulai menghadirkan cinta yang sejati: mengalirkan dana hampir seribu triliun ke desa, lewat koperasi dan program berbasis rakyat.
Kita tentu berharap ini bukan sekadar cinta musiman. Karena cinta sejati itu membangun, bukan menjanjikan. Dan koperasi, jika dikelola serius, bisa menjadi jalan nyata bagi kesejahteraan. Tapi sejarah juga mencatat, betapa koperasi kerap menjadi alat politik, bukan alat produksi.
Yang unik, Pak Zul sang pengusaha tajir juga jatuh hati pada Intisab PUI. Entah karena iramanya yang indah, atau karena isinya yang pas dengan narasi politiknya. “Kalau sudah baca Intisab, berarti sudah jadi PUI,” katanya berseloroh, sambil melirik ke Kapolri yang mungkin kaget: “Lho, saya kapan daftar?” Mereka memang ikut koor membacanya.
Empat prinsip Intisab PUI —Allah sebagai tujuan, ikhlas sebagai prinsip, ishlah sebagai jalan, dan cinta sebagai syiar— bukan sekadar jargon. Jika betul-betul diterjemahkan dalam gerakan, maka ia bisa menjadi arah baru ormas Islam yang tidak hanya pandai berceramah, tapi juga pandai bertani, berdagang, dan membangun desa.
Namun, mari jujur. Selama ini, kerja-kerja PUI yang berdampak nyata belum terasa luas. Banyak ormas lain sudah lebih dulu terjun ke sawah dan kebun.
Karena itu, jika PUI ingin benar-benar membawa ishlah dan cinta ke masyarakat, maka keterlibatan dalam gerakan ketahanan pangan —seperti program Makan Bergizi Gratis (MBG) dan Gerakan Nasional Wakaf Pangan (GNWP)— adalah langkah yang mesti dipacu, bukan hanya dipidatokan.