Koran Sulindo – Beralasan akan menindak penjahat sejak jam tiga pagi warga yang tinggal tinggal di Perumahan Flamboyan, Songgokerto, Batu, Malang mulai di evakuasi.

Rumah mereka pelan-pelan diketuk penghuninya dibangunkan dan diajak menyingir. Kata pengantarnya singkat, “kami polisi,  ada penjahat di sekitar sini dan kami mau melakukan tindakan.”

Tak hanya memindahkan warga, polisi juga menghubungi pemadam kebakaran dan PLN sementara  rumah sakit juga dikontak agar menyiagakan ambulans. Semua dilakukan diam-diam tanpa keributan.

Bahkan, mencegah informasi merembes keluar tim pemukul dari Crisis Respon Team (CRT) Walet Hitam yang diangkut pesawat dari lapangan terbang Pondok Cabe tak diberi tahu tujuan mereka.

Juga komunikasi dengan Pangkalan Udara Abdulrahman Saleh, baru dilakukan last minute. Hanya lima menit sebelum aproaching. Jaminan gentlemen agrement-lah yang meyakinkan Danlanud agar mengizinkan pesawat mendarat.

Begitu mendarat, pesawat langsung diarahkan Paskhas TNI AU langsung masuk hanggar. Muatan dibongkar dan briefing singkat dilakukan di tempat itu juga. Sasaran mereka jelas bukan main-main. Pentolan teroris profil tinggi, Azhari Husin.

Pergerakan CRT itu merupakan misi penindakan teroris pertama kali yang menggunakan pasukan khusus terstruktur. Di rumah kontrak yang di Jalan Flamboyan A1 Nomor 7 itulah ditenggarai keberadaan buron paling dicari se-Asia Tenggara.

Dalam buku Misi Walet Hitam 09.11.05 – 15.45: Menguak Misteri Teroris Dr Azhari tulisan Arif Wachjunadi menyebut CRT hanya mempunyai waktu dua jam mempelajari lokasi sasaran. Menjaga kerahasiaan operasi, selama di Malang anggota tim dikarantina dan tak diperkenankan keluar.

Rabu siang 11 November 2005, setelah meyakini buron berada di lokasi penyergapan segera dimulai. Meski awalnya terencana, namun karena situasi kritis CRT akhirnya terpaksa melakukan serangan darurat. Anggota tim menyebar ke sejumlah titik dan mengepung sasaran.

Mirip tayangan film, tembak menembak benar-benar mirip film Hollywood termasuk kepulan bom asap dan dua sniper yang mengintai di atap. Ketika seorang penghuni kontrakan melempar bom ke arah tim surveillance, senjata penembak jitu keburu menyalak. Sang pelempar langsung rubuh.

Di tengah baku tembak itu sebuah teriakan mengumandangg dari dalam rumah, “saya mau keluar, jangan tembak,” teriak seseorang yang setelah diidentifikasi ternyata itu suara sang buron, Azhari.

Dalam buku itu, Komandan CRT Iptu Bram mengaku melihat tangan Azhari membuka pintu rumah perlahan. “Baik, kamu keluar kami tidak akan melakukan penembakan,” jawab Bram.

Meski begitu ia curiga karena bentuk dada Azhari menggelembung. Itu jelas bukan pertanda baik, bisa jadi itu adalah rompi bom bunuh diri. “Berhenti di situ, lepaskan baju kamu dan lekas angkat tangan,” kata Bram.

Azhari malah melotot dan menantang, “hai polis, kalau berani masuk sini!” kata Azhari balas berteriak dan segera masuk lagi ke dalam rumah sambil mengacungkan senjata ke anggota CRT yang bertindak sebagai sniper.

Tak mau membuang peluang, senjata Colt M4A1 Carbine 5,56 milimeter sang sniper membidik pintu dengan tembakan double tap. Peluru itu menembus dada sang buron dan langsung membuatnya tersungkur. Azhari tewas pukul 15.45 WIB, Rabu 9 November 2005.

Tentu saja adegan mirip film koboi segera mengundang takjub publik. Puja-puji mengalir seperti mantra pada para jagoan-jagoan berseragam cokelat itu. Panggung bubar!

Peran Mossad

Sesuatu yang silap disadari publik tumbangnya Azahari adalah kerja-kerja di belakang layar. Kerja senyap intelijen, tak cuma intel lokal gropyokan itu melibatkan jejaring intelijen internasional. Khususnya badan intelijen negeri Yahudi, Mossad.

Berbeda dengan klaim aparat Indonesia yang menepuk dada, tak banyak yang tahu bahwa tembak-menembak tanggal 9 November 2005 yang melumpuhkan Azhari di Batu, Malang itu hanya sebuah ujung cerita dari seberang lautan.

Menurut Sejarah Rahasi Mossad Gideon Spies karya Gordon Thomas disebut peristiwa di Batu itu sejatinya diinspirasi Mossad. Kisah itu bermula di awal Oktobrt 2005 ketika seorang kasta di New Delhi memperoleh informasi tentang keberadaan salah satu pembuat bom Al-Qaeda paling berpengalaman.

Keberadaannya sempat terdeteksi di New Delhi sebelum bom-bom bunuh diri terkordinasi Lazkar e-Taiba yang terafiliasi dengan Al-Qaeda mencabik Distrik Pahargani kota itu 29 Oktober 2005. Kala itu, lebih dari 62 orang tewas sementara 100 lainnya mengalami luka serius akibat bom-bom itu.

Tentu saja, tawaran Mossad membantu intelijen India melacak si pembuat bom yang tak lain adalah Azhari langsung diterima dengan suka cita intelijen India. Tak hanya di India, jejak racikan bom Azhari juga terlacak pada insiden empat pemboman bunuh diri terkoordinasi tanggal 7 Juli 2005 di London.

Ketika Mossad berminggu-minggu gagal mengendus jejaknya, petinggi Mossad sumringah ketika sayanim di Jawa Timur menyampaikan kabar baik. Kepada kasta pengendalinya ia menyebut  sejumlah orang mengontrak sebuah rumah di kawasan pinggir Batu.

Ia menjelaskan dua dari orang-orang itu sangat mirip dengan foto-foto para teroris di surat kabar yang dicurigai berada di balik serangan terhadap sebuah restoran di Bali yang menewaskan 25 orang.

Foto yang dipakai rujukan si sayamin itu merujuk figur Azhari Husin dan pentolan Jamaah Islamiyah lainnya yakni Noordin Mohammad Top. Sosok ini banyak digambarkan sebagai seorang pembunuh tak kenal kasihan dengan kepribadian mirip Abu Mushab al Zarqawi di Irak.

Menerima laporan itu, dalam beberapa jam saja si kasta itu sudah berada di Batu namun sayangnya, si Sayamin melaporkan jika Noordin M Top telah meninggalkan Batu pada malam berikutnya.

Sayamin secara harifiah bisa diartikan sebagai orang atau kelompok orang Yahudi yang secara sukarela menjadi penolong begi kepentingan kaum Yahudi. Sedangkan kasta umumnya merujuk pada seorang perwira ‘kasus’.

Berdasarkan aturan baku yang memastikan bahwa kehadiran Mossat harus tetap tak diketahui, kasta ini segera mengirim informasi penting itu ke kepada stasiun Kedutaan Israel di Delhi India yang langsung diteruskan ke Kementerian Luar Negeri India. Dari sanalah kemudian sebuah sebuah sambungan telepon dibuat untuk memberitahukan keberadaan Azhari kepada aparat ‘berwenang’ di Jakarta.

Kurang dari satu jam sejak pembicaraan telepon yang pertama itu, sebuah operasi skala penuh sudah dilaksanakan di Batu dengan ujung tombak unit elite anti teroris Indonesia dengan para penembak dari Jerman dan Australia.

Dengan Azhari yang mati berkalang tanah, Mossad seolah memastikan bahwa tak ada tempat di dunia yang tak bisa dijangkau mereka.

Sepak terjang telik sandi Yahudi di Indonesia sebenarnya bukan barang baru. Berpuluh-puluh tahun sebelumnya jejak mereka ‘berceceran’ bahkan bisa dilacak hingga awal-awal Orde Baru.

Berguru

Di era Bung Karno yang tegas mendukung Palestina sekaligus menentang zionisme, Indonesia tak pernah mengakui keberadaan Israel. Ia tak pernah merestui dan dan menentang segala bentuk kontak dan hubungan diplomatik apapun dengan Israel negara itu.

Hubungan sembunyi-sembunyi baru dimulai ketika era Bung Karno digantikan Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto. Menurut Dr Colin Rubenstein, awal mula ketertarikan Indonesia kepada militer Israel bermula ketika negara Zionis itu memenangkan Perang Enam Hari tahun 1967. Petinggi militer Indonesia kala itu terkagum-kagum dengan kesanggupan Israel mereka meladeni sekaligus mengalahkan keroyokan negara-negara Arab seperti Suriah, Mesir dan Lebanon. Soeharto juga menempuh pendekatan moderat serta mengurangi sikap kaku Indonesia pada konflik Palestina-Israel.

Berniat membangun dinas intelijen yang kuat, Soeharto membuka kembali bantuan uang dan pelatihan CIA yang sempat terbengkalai di awal tahun 50-an. Sosok penting dalam hubungan ini adalah perwira intelijen di Polisi Militer, Kolonel Nicklany Soedardjo yang menjabat sebagai Wakil Asisten Intelijen Kopkamtib.

Kenneth J Conboy dalam bukunya Intel: Inside Indonesia’s Intelligence Service menyebut hingga akhir tahun 1968 AS rutin mengucurkan bantuan keuangan rahasia kepada Satuan Khusus Intelijen atau Satsus Intel untuk gaji 60 personel. Bantuan juga mencakup kendaraan pengintaian, sewa rumah aman, sebuah tape recorder mutakhir dan alat sadap canggih QTC-11.

Tak hanya CIA tertarik untuk patungan membantu Satsus Intel, M16 dinas intelijen luar negeri Inggris juga mengirimkan agen-agennya sebagai instruktur.Tak ketinggalan tentu saja Mossad yang pada bulan November 1970 mengirim Anthony Tingle ke Jakarta. Meski mengunakan paspor Inggris, Tingle sejatinya seorang jenderal Israel berusia 50 tahun dan bekerja untuk Mossad.

Conboy menyebut meski tak mudah mendapatkan izin mendatangkan instruktur Israel tanpa memiliki hubungan diplomatik, Nicklany jelas mengabaikan persoalan sensitif itu. “Kita mendatangkan instruktur Israel karena mereka yang terbaik di dunia,” kata Nicklany kepada seorang perwira Satsus Intel.

Kepada agen-agen Satsus Intel, Tingle mengajarkan bagaimana cara menyamarkan identitas selama empat pekan di Cipayung. Very Pelenkahu, salah seorang muridnya menyebut Tingle sangat serius, dingin, tanpa lelucon. “Ia tak pernah tersenyum, tak pernah tertawa, dan tak pernah mau wanita. Dan saya belajar lebih banyak darinya dibanding dari instruktur mana pun,” kata Very.

Tiga tahun berselang, Mossad kembali mengirim pelatih keduanya untuk memberikan pelatihan kontraspionase dan memanfaatkan agen untuk kegiatan kontra-intelijen.Semua peserta kelas kedua ini seluruhnya dari Satsus Intel. Hubungan mesra guru murid ini terbilang awet hingga dekade 80-an.

Pada dekade 90-an hubungan sembunyi-sembunyi Indonesia-Israel tak hanya diwakili para telik sandi. Hubungan mesra justru dilakukan di level tertinggi, Soeharto diam-diam menerima kunjungan Perdana Menteri Yitzak Rabin.

Kunjungan yang hanya beberapa jam itu dilakukan Rabin sepulang dari China dan singgah di Singapura memenuhi ibadah hari Sabatnya. Pertemuan itu hanya berselang tiga minggu setelah pemimpin PLO Yaser Arafat melawat secara resmi dan ‘terang-terangan’ ke Indonesia.[TGU]