Frits Maurits Kariheo

PERSOALAN Irian Barat menjadi begitu menegangkan sejak akhir 1961 dan awal 1962. Namun, di sisi lain, berakhirnya pemberontakan PRRI/Permesta serta surutnya gerakan Darul Islam di Jawa Barat, Aceh, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan cukup membuat TNI bisa mencurahkan perhatian lebih besar untuk merebut kembali Irian Barat, setelah upaya diplomasi mengalami jalan buntu.

Ada hal yang menarik yang kurang terungkap dalam penulisan sejarah berkaitan dengan Perjuangan Pembebasan Irian Barat, selain Peristiwa Cenderawasih itu. Dalam rombongan kunjungan Presiden Soekarno ke Makassar tersebut ternyata ada seorang pemuda dari Irian Barat. Namanya Fritz Maurits Kriheo.

Usia Fritz masih 27 tahun ketika itu. Dia tercatat sebagai mahasiswa Jurusan Filsafat dan Hukum  Universitas Leiden.

Fritz meninggalkan keluarganya di Amsterdam dengan alasan untuk berlibur menjelang Natal. Namun, orang tuanya tidak diberi tahu ke mana tujuannya.

Ia hanya memberitahu dirinya akan kembali pada 8 Januari 1962.  Keluarganya baru tahu kemudian Fritz pergi ke Indonesia justru dari pemberitaan surat kabar.

Sebelum ikut dalam rombongan Presiden Soekarno ke Makassar, Fritz pada 31 Desember 1961 mengatakan kepada pers, seluruh penduduk Irian Barat ragu-ragu terhadap usul “self determination” dari pihak Belanda. Seandainya diadakan pemilihan umum atau referendum, mereka akan memihak Indonesia.

Hal yang sama ia tegaskan kembali kepada insan pers di Istana Bogor, Jawa Barat. Waktu itu, Fritz baru selesai bertemu dengan Presiden Soekarno, yang didampingi Menteri Luar Negeri Soebandrio.

“Saya pikir rakyat Irian Barat dan Bumi Irian Barat mendapatkan tempat yang amat dalam di hati Presiden Soekarno. Belum pernah saya merasa begitu akrab berbicara dengan seorang besar seperti pertemuan saya dengan Soekarno,” kata Fritz kepada wartawan.

Pria kelahiran Serui pada tahun 1935 ini menerangkan, di Irian Barat ada dua badan perjuangan. Pertama: Partai Kemerdekaan Indonesia. Kedua: Partai Nasional.

Dalam catatan pers Belanda, Fritz sendiri merupakan anggota Partai Nasional.  Partai ini antara lain bertujuan melepaskan Irian Barat dari cengekraman Belanda.  Fritz menuding Dewan Papua yang dibentuk Belanda tidak punya uang untuk menentukan bujet sendiri. Artinya, urusan keuangan Dewan Papua sudah ditetapkan oleh Belanda.

”Jika sesuatu badan keuangan ditentukan pihak lain, sudah pasti ia akan tunduk kepada pihak itu,” kata Frits sebagaimana diberitakan Antara pada 1 Januari 1962.

Pers Belanda seperti De Telegraaf dan De Volkskrant mengungkapkan, Fritz di almamaternya memang dikenal sebagai mahasiswa yang kukuh pada pendiriannya. Fritz kerap mengatakan, dirinya meragukan pendirian Belanda mengenai hari depan Irian Barat. Demikian Antara edisi 5 Januari 1962 melaporkan.

Isi Trikora sangat jelas. Pertama: gagalkan pembentukan negara boneka Papua buatan Belanda. Kedua: kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat, Tanah Air Indonesia. Ketiga: bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan Tanah Air dan bangsa.

Fritz dengan tegas dan jelas kerap menyatakan penentangannya terhadap pembentukan negara boneka oleh Belanda.

Selain mengikuti kunjungan Presiden Soekarno ke Makassar, Fritz Maurits Kiriheo juga berkeliling Indonesia. Pada 10 Januari 1962, ia terbang ke Kutaraja, Aceh. Tanggal 14 Januari 1962, ia diberitakan sudah berada di Garut, Jawa Barat, untuk melihat latihan militer.

Dalam pernyataannya di Aceh, Fritz kembali mengatakan, “Bagaimanapun Irian Barat bagian dari bangsa Indonesia mutlak .”

Menurut penilaian Fritz, sejak mula meletusnya Revolusi Kemerdekaan Indonesia, putra-putra Irian Barat telah turut berjuang secara aktif untuk mengusir imperialis Belanda dari Bumi Nusantara.  “Akan tetapi, pada waktu itu, hubungan dengan pusat gerakan revolusi itu putus sama sekali,” ujarnya, sebagaimana dikutip dari buku Atjeh dan Trikora (1962). Kesempatan ini dipergunakan oleh Belanda untuk memberikan “penerangan-penerangan yang sangat berat sebelah dan keliru.”

Sejarah kemudian mencatat Fritz meninggalkan kuliahnya. Ia ikut dalam delegasi Indonesia ke Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk memperjuangkan pembebasan Irian Barat. Dalam rombongan itu ada Mayor Dimara, putra Irian Barat juga. Sebelum Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada tahun 1969, Fritz Kiriheo pernah menjadi Direktur PD Irian Bhakti.

Mayor Dimara adalah putra Irian Barat yang aktif berjuang membebaskan Irian Barat dari penjajahan Belanda dan kembali ke Pangkuan Ibu Pertiwi. Memang, banyak tokoh dan pemuda Irian Barat yang juga berjuang dengan gigih dalam mewujudkan Trikora. Mereka antara lain bergabung dalam Front Nasional Pembebasan Irian Barat dan Gerilya Rakyat Irian Barat (GRIB) yang dipimpin Mayor Dimara.

Belanda jelas gusar dengan keterlibatan putra-putra Irian Barat dalam Perjuangan Trikora. Karena, itu berarti klaim mereka bahwa Irian Barat bukan bagian dari Republik Indonesia menjadi semacam pernyataan kosong belaka.

Apalagi, dalam dalam rapat raksasa di Parepare pada 6 Januari 1962, sehari sebelum Peristiwa Cenderawasih, Bung Karno dengan lantang mengatakan, seorang putra Irian Barat telah diangkat menjadi Gubernur Irian Barat dan telah berada di daratan Irian Barat serta sudah menyusun tata pemerintahan. Selain itu, kata Bung Karno lagi, putra Irian Barat yang menjadi Gubernur Irian Barat terus terus aktif berjuang membebaskan Irian Barat dari cengkeraman kolonial Belanda.

Namun, untuk melindungi keselamatan putra Irian Barat tersebut, Presiden Soekarno tidak menyebutkan namanya. Demikian diberitakan Pikiran Rakjat edisi 8 Januari 1962.

Setelah Peristiwa Cenderawasi, Presiden Soekarno pada 10 Januari 1962 menyampaikan pesan yang diumumkan oleh Paglima Kodam XIV Hasanuddin, Kolonel M. Jusuf, melalui Radio Republik Indonesia-Makassar pukul 20.00 waktu setempat atau pukul 19.00 waktu Jakarta.

“Jangan takut! Jangan gentar! Karena, kita benar! Mereka meneror kita. Semakin banyak kesulitan yang kita hadapi semakin yakin kita pada tujuan revolusi kita. Siapkan wilayah Sulsera [Sulawesi Selatan dan Tenggara] untuk dijadikan pangkalan utama Panglima Besar Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat!” demikian pesan Presiden Soekarno yang dibacakan oleh Kolonel M. Jusuf.

Peristiwa Cenderawasih—yang diambil dari nama jalan di Makassar, tempat percobaan pembunuhan terhadap Presiden Soekarno—merupakan upaya mematahkan semangat perlawanan rakyat untuk membebaskan Irian Barat. Sejarah mencatat, Peristiwa Cenderawasih adalah prolog atau awal dari konflik Indonesia dengan Belanda terkait Irian Barat, yang kemudian menjadi konflik terbuka. [Irvan Sjafari, Sejarawan]