Monumen Pembebasan Irian Barat di Lapangan Banteng, Jakarta

Koran Sulindo – Ahad malam, 7 Januari 1962, sekitar pukul 20.05 Waktu Indonesia Tengah. Sony yang baru berusia 14 tahun bersama puluhan remaja sebayanya serta anak-anak yang lebih muda usianya berbaris di sepanjang Jalan Cenderawasih, Makassar. Mereka berbaris untuk menyambut dan melihat dari dekat Presiden Soekarno, yang sedang melakukan kunjungan ke Sulawesi Selatan.

Sebenarnya, sejak Perang Kemerdekaan, pemandangan semacam itu menjadi kelaziman di banyak daerah di Indonesia. Kedatangan Bung Karno selalu disambut dengan antusias oleh banyak kalangan, termasuk oleh anak-anak dan remaja.

Menurut rencana, Bung Karno malam itu akan singgah di Gedung Olahraga Makassar, untuk memberikan wejangan yang berkaitan dengan Tri Komando Rakyat atau biasa dikenal dengan singkatannya, Trikora. Bung Karno sudah berada di Makassar sejak tanggal 4 Januari 1962 tanpa gangguan sama sekali.

Keadaan keamanan di Sulawesi Selatan pada tahun 1960-an itu sudah lebih kondusif. Gerombolan pemberontak Darul Islam di sana yang dipimpin Kahar Muzakar semakin menyurut kekuatan dan pengikutnya. Situasi Makassar relatif “normal”, tak lagi mencekam.

Situasi inilah yang dimanfaatkan oleh beberapa orang untuk melakukan aksi kejahatannya. Mereka menyelinap di antara barisan orang-orang yang sedang menyambut Bung Karno. Dan…, mereka melemparkan granat-tangan ke arah mobil yang ditumpangi Presiden Soekarno!

Buum…, buum…! Asap mengepul. Jerit kesakitan dan teriakan kepanikan terdengar sepanjang jalan itu.

Namun, Yang Mahakuasa punya kehendak lain. Granat tangan itu tak menjangkau mobil yang dituju, tapi jatuh di jalan, kurang-lebih 150 meter di belakang mobil yang membawa Bung Karno.

Barisan orang-orang yang ada jalan pun kemudian buyar. Namun, ada puluhan tubuh berjatuhan, sebagian dalam keadaan mengenaskan.

Bagaimana nasib Sony? Ia ternyata berlari pulang ke rumahnya, yang tak jauh dari tempat ledakan.

“Ibu…, Ibu…, basah, Bu!” teriaknya sebelum roboh di depan rumahnya sambil memegang usus yang keluar dari perutnya.

Demikian cerita yang didapat wartawan Pikiran Rakjat, yang dimuat di edisi 13 Januari 1962 koran itu.

Sony adalah satu di antara tiga orang yang wafat langsung karena ledakan granat tersebut. Dua korban wafat yang lain adalah orang dewasa.

Menurut Pikiran Rakjat  edisi sebelumnya, 9 Januari 1962,  dan juga berita Antara pada 8 Januari 1962, sebanyak 28 orang lain luka-luka dan lebih separo dari jumlah itu adalah anak-anak. Korban lainnya adalah masyarakat sipil yang telah dewasa (10 orang) serta aparat Brimob dan TNI (3 orang). Dua di antara yang luka-luka kemudian meninggal dunia di Rumah Sakit Pelamonia.

Ini merupakan peristiwa percobaan pembunuhan kedua terhadap Presiden Soekarno yang menelan korban jiwa, setelah Peristiwa Cikini pada tahun 1957.

Saksi mata Safrullah Daeng Kulle di Historia edisi 28 Agustus 2015 menceritakan, ia bersama teman-teman sepermainannya berdiri sejak sore di seberang jalan, menunggu rombongan Presiden Soekarno yang akan melintas menuju Gelanggang Olahraga Mattoanging. “Semua orang antusias waktu mobil Presiden Soekarno melintas. Kami melambaikan tangan dan bersorak-sorak,” tutur Safrullah.

Presiden Soekarno sendiri setelah percobaan pembunuhan itu mengungkapkan, dirinya bersyukur kepada Allah yang telah melindungi dirinya. “Hati saya sedih sekali mengingat penderita yang luka dan yang mati akibat percobaan pembunuhan terhadap diri saya,” ungkap Bung Karno.