Ilustrasi: Megawati ketika berpidato setelah menereima gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Mokpo Korea Selatan/pdiperjuangan.id

Koran Sulindo – Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri menerima gelar Doktor Honoris Causa (DHC) dari Universitas Nasional Mokpo (Mokpo National University) pada  Kamis (16/11) lalu. Ketua Umum PDI Perjuangan tersebut dinilai konsisten memperjuangkan paradigma Ekonomi Pancasila.

Berikut pidato lengkapnya:

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Salam Damai Sejahtera bagi kita semua, Salom, Namo Buddhaya, Om Swastiastu.

Yang Terhormat Dr. IL Choi, President of Mokpo National University

Yang Mulia Senat Guru Besar Mokpo National University

Yang Terhormat Duta Besar Republik Indonesia untuk Republic of Korea

Civitas Academika Mokpo National University

Para undangan dan hadirin yang berbahagia;

Tadi kita sudah mendengarkan alasan pihak universitas kenapa memberikan gelar doktor honoris causa dalam bidang ekonomi, demokrasi ekonomi tepatnya. Saya ucapkan terima kasih atas gelar ini.

Pada kesempatan ini, saya ingin berbagi dengan Anda semua tentang ilmu politik. Ilmu politik yang terkait dengan demokrasi yang saya pelajari langsung dari ayah saya. Beliau adalah Bapak Bangsa Indonesia, Presiden Pertama Republik Indonesia, Dr. Ir Soekarno, atau biasa kami panggil Bung Karno.

Sepanjang hidupnya Bung Karno tercatat dianugerahi 26 gelar Doktor Honoris Causa. la diakui memiliki wawasan keilmuan yang luas dan berkontribusi terhadap berbagai cabang ilmu pengetahuan. Doktor Honoris Causa yang diterimanya antara lain dalam bidang Ilmu Teknik, Ilmu Sosial dan Politik, Ilmu Hukum, Ilmu Sejarah, Ilmu Filsafat dan Ilmu Ushuluddin.

Gelar tersebut diberikan tidak hanya dari berbagai universitas dalam negeri, namun juga dari luar negeri, seperti dari Columbia University (Amerika Serikat), Berlin University Jerman, Lomonosov University Moscow, dan Al-Azhar University Kairo.

Pemikiran politik Bung Karno merupakan antitesa terhadap imperialisme dan kapitalisme, yang menjadi akar kemiskinan bangsa-bangsa terjajah, termasuk di Indonesia. Puncak pemikiran politiknya tertuang dalam konsep tentang dasar negara Indonesia, yang disebut Pancasila. Pancasila berarti lima sila.

Lima prinsip dasar, pertama Ketuhanan Yang Maha Esa. Segenap rakyat ber-Tuhan secara berkebudayaan, yakni dengan tiada egoisme agama. Ke-Tuhan-an yang berbudi pekerti luhur, yang hormat-menghormati satu sama lain.

Kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Prinsip kedua ini mematrikan kebangsaan atau nasionalisme. Nasionalisme merupakan gerakan pembebasan, suatu jawaban terhadap penindasan, inspirasi agung dari kemerdekaan. Prinsip ini merupakan komitmen Indonesia untuk mencapai keadilan dan kemakmuran, bukan hanya untuk Indonesia, tapi juga untuk bangsa-bangsa lain. Kami nasionalis, kami cinta kepada bangsa kami dan kepada semua bangsa.

Ketiga, Persatuan Indonesia. Prinsip ini menunjukkan pentingannya bergandengan erat satu sama lain, sehingga dikatakan pula sebagai internasionalisme. Antara nasionalisme dan internasionalisme tidak ada perselisihan atau pertentangan. Internasionalisme hanya dapat tumbuh dan berkembang di atas tanah subur nasionalisme. Dengan prinsip internasionalisme setiap bangsa menghargai dan menjaga hak-hak semua bangsa, baik besar maupun kecil. Internasionalisme sejati adalah suatu tanda bahwa suatu bangsa sudah dewasa dan bertanggung jawab, meninggalkan rasa keunggulan rasial, menanggalkan penyakit chauvinisme dan kosmopolitanisme.

Keempat, musyawarah untuk mufakat, demokrasi. Demokrasi bukan monopoli atau penemuan dari aturan sosial barat. Demokrasi yang dimaksud merupakan keadaan asli manusia, meskipun mengalami perubahan implementasi untuk disesuaikan dengan kondisi-kondisi sosial yang khusus. Dan yang terakhir, kelima adalah Keadilan Sosial. Di dalam keadilan sosial terangkai kemakmuran sosial, karena kedua hal tersebut tidak dapat dipisahkan.

Lima prinsip di atas merupakan saripati dari demokrasi Indonesia, yaitu demokrasi Pancasila. Inilah yang saya yakini sebagai demokrasi sejati, perpaduan antara demokrasi politik dan demokrasi ekonomi. Suatu sistem demokrasi yang melindungi golongan-golongan yang lemah. Sementara, golongan-golongan yang kuat dibatasi kekuatannya, agar tidak terjadi eksploitasi terhadap golongan yang lemah oleh golongan yang kuat. Karena itu, demokrasi Indonesia sudah seharusnya tidak berdiri di atas faham-faham liberalisme. Di sisi lain, demokrasi Pancasila juga menentang otoritarianisme dan totalitarianisme, yang hanya akan melahirkan demokrasi sentralisme dan kekuasaan diktator.

Saudara-saudara,

Demokrasi bagi saya adalah alat, bukan tujuan. Saya meyakini bahwa inti dari demokrasi adalah permusyawaratan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan, bukan oleh perdebatan dan siasat yang diakhiri dengan adu kekuatan dan penghitungan suara pro dan kontra. Inilah yang saya pahami sebagai “demokrasi Pancasila”.

Sebagai alat, demokrasi Pancasila mengenal kebebasan berpikir dan berbicara. Tetapi, kebebasan dalam batas-batas tertentu, yakni batas keselamatan negara, batas kepentingan rakyat banyak, batas kepribadian bangsa, batas kesusilaan dan batas pertanggungjawaban kepada Tuhan.

Begitu juga dalam lapangan ekonomi. Tujuan dijalankannya demokrasi Pancasila adalah tercapainya Trisakti yaitu berdaulat dalam politik, berdiri di atas kaki sendiri di bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan. Saya yakin, semua bangsa di bawah kolong langit ini pun memimpikan dapat sampai pada Trisakti.

Saudara-saudara,

Pada abad 20 keinginan untuk menjadi bangsa yang ber-Trisakti telah berhasil membuat para pendiri bangsa Asia Afrika memimpin perlawanan terhadap sistem ekonomi yang melahirkan keadaan yang sama bagi rakyat dimanapun: kemiskinan, kemelaratan, kesengsaraan, keterbelakangan, kebodohan, serta kehilangan harga diri. Antitesa dari situasi tersebut lahirlah kesadaran nasional, perasaan harus merdeka, dan kehendak kolektif melawan penindasan. Antitesa dari praktek penjajahan adalah kesadaran nasional, keyakinan nasional dan tindakan, serta gerakan nasional untuk merdeka.

Sungguh luar biasa, para pendiri bangsa Asia Afrika di abad 20 ternyata mampu melampaui hasrat kepentingan bangsanya masing-masing. Mereka mengembangkan kepak sayap kemerdekaan, yang diikat dengan emotional bounding rasa senasib-sepenanggungan antar bangsa Asia Afrika. Mereka memimpin gerakan bersama untuk menebarkan spirit kemerdekaan diawali dengan Konferensi Asia Afrika. Hadirlah antitesa dari penderitaan akibat imperialisme dan kapitalisme di Asia Afrika, yaitu berupa kehendak dan gerakan bersama bangsa-bangsa Asia Afrika untuk memasuki suatu tatanan dunia baru. Tatanan dunia baru, yaitu dunia tanpa exploitation de l’homme par l’homme, dunia tanpa exploitation de nation par nation. Lahirlah suatu sintesa, yaitu kemerdekaan bangsa-bangsa Asia, Afrika dan Amerika Latin.

Saudara-saudara,

Saya merupakan salah satu saksi mata peristiwa Konferensi Asia Afrika pada tahun 1955. Gerakan Asia Afrika yang merupakan antitesa dari praktek ekonomi kapitalistik, berlajut dengan Gerakan Non Blok pada tahun 1961. Gerakan Non Blok adalah gerakan negara-negara yang tidak mau terjebak dalam blok-blok perang dingin antara Amerika dan Uni Soviet. Pendirinya adalah Josip Broz Tito, Presiden Yugoslavia, Soekarno, Presiden Indonesia, Gamal Abdul Nasser Presiden Mesir, Pandit Jawaharlal Nehru Perdana Menteri India, dan Kwame Nkrumah Presiden Ghana.

Saya adalah peserta termuda dalam Konferensi Tingkat Tinggi Gerakan Non Blok Pertama di Beograd, Yugoslavia. Lima basis pondasi Gerakan Non Blok adalah: saling menghormati integritas dan kedaulatan masing-masing negara, perjanjian non-agresi tidak mengintervensi urusan dalam negeri negara lain, kesetaraan dan keuntungan bersama, serta menjaga perdamaian. Salah satu rekomendasi penting dari konferensi tersebut adalah desakan kepada Amerika dan Uni Soviet untuk tidak menggunakan senjata nuklir.

Saudara-saudara,

Saya sengaja menceritakan sekelumit sejarah peradaban di abad 20. Mari kita lakukan otokritik pada langkah-langkah politik dan ekonomi yang terjadi di abad 21 ini. Ternyata, imperialisme dan kapitalisme yang merupakan watak ingin menguasai orang dan bangsa lain, masih terus menggurita. Hubungan antar bangsa jadi salah kaprah dalam relasi dominasi. Saya sendiri tidak anti asing. Bagi saya, kerjasama dengan bangsa lain merupakan keharusan, karena kita memang tidak dapat mengisolir diri dari bangsa lain. Lagipula, nasionalisme tidak boleh dipahami sebagai suatu sikap anti asing dan perilaku fanatik, yang kemudian akan memunculkan gerakan chauvinisme nasionalis. Namun demikian, dengan berada dalam pergaulan internasional dan dengan terlibat kerjasama politik dan ekonomi dengan bangsa lain, bukan berarti kita menyerahkan kedaulatan bangsa sendiri kepada orang lain. Para pendiri bangsa yang terlibat dalam Konferensi Asia Afrika dan Gerakan Non Blok, menjadi bukti sejarah nyata dalam peradaban manusia. Gerakan yang mereka lakukan adalah fakta sejarah tentang solidaritas, toleransi dan gotong royong bangsa-bangsa. Mereka membuktikan bahwa cita-cita untuk mencapai Trisakti bagi bangsanya, bukan berarti dengan cara mengeksploitasi dan menindas bangsa lain.

Saudara-saudara,

Mari kita renungkan, problem multi dimensi yang lahir akibat globalisasi dan pasar bebas. Contohnya adalah praktek dumping dalam sektor pangan. Kedaulatan pangan negara-negara berkembang terus digerogoti dengan praktek “siasat harga” komoditi impor yang di bawah harga normal produk domestik. Di Indonesia sendiri, ada banyak pangan impor yang dijual lebih murah dibanding produk yang dihasilkan petani dan industri pangan kami.

Efek dominonya adalah daya beli rakyat menurun, lapangan pekerjaan berkurang, deindustrialisasi, dan pada titik tertentu akan mengguncang stabilitas ekonomi dan politik negara. Dengan tegas saya nyatakan saya menolak praktek dumping, free trade bukan berarti menciptakan predator perdagangan internasional. Wajib hukumnya di dalam free trade ada fair trade. Sampai kapan pun posisi politik saya akan tetap sama, terutama dalam menyangkut kedaulatan pangan setiap bangsa. Isu pangan tidak boleh sekedar diartikan sebagai ketahanan pangan yang diukur dengan “asal pangan tersedia di pasar”.

Soal pangan adalah soal keberlangsungan hidup suatu bangsa, dari mulai hidup dan kehidupan petani, kedaulatan atas air, tanah, dan energi, hingga bagaimana pangan didistribusikan kepada seluruh rakyat dengan aman, murah dan cepat. Kedaulatan pangan berarti kemandirian (selfsuffiency) pangan, melalui kemampuan pemenuhan pangan yang pertama kali harus berasal dari dalam negeri sendiri (selfsupporting). Tentunya, dengan tidak mengabaikan kerjasama yang setara, saling menghormati dan saling menguntungkan dengan bangsa lain.

Saudara-saudara,

Praktek-praktek ekspansi ekonomi yang tidak adil di abad 21 ternyata melahirkan pula gerakan-gerakan transnasional. Tapi, bagi saya apa yang terjadi bukan suatu antitesa seperti yang lahir di abad 20. Perdagangan manusia dan narkotika, kejahatan keuangan, kejahatan terhadap lingkungan seperti illegal logging, eksploitasi sumber daya alam, serta penyebaran faham radikalisme yang mengikis kemanusiaan atas nama agama, jelas bukan antitesa dari penindasan, pemiskinan dan pembodohan yang lahir akibat neokolonialisme dan kapitalisme.

Menurut saya, relasi dan interaksi yang melibatkan rakyat lintas negara dalam berbagai kriminalitas internasional, bukan suatu gerakan antitesa seperti yang dilakukakan para pendiri bangsa. Hal-hal tersebut justru merupakan anak kandung dari praktek-praktek penjajahan politik dan ekonomi. Tindakan mereka jelas bukan merupakan praktek demokrasi politik dan ekonomi Pancasila. Kejahatan terhadap kemanusiaan, apapun bentuknya, bukan suatu antitesa dari ketidakadilan.

Suatu antitesa terhadap kesewenang-wenangan haruslah berwujud gerakan enlightment, suatu jalan pembebasan, bukan gerakan yang menyeret manusia pada “peradaban dark edge”.

Saudara-saudara,

Demokrasi Pancasila telah membimbing saya untuk terus menyuarakan perdamaian dunia. Karena itu pula, saya tidak akan menyerah untuk terus terlibat dalam upaya mencari penyelesaian konflik antara Korea Selatan dan Korea Utara. Saya menentang pihak mana pun yang memanfaatkan situasi di kedua negara dengan memperuncing perseteruan. Saya menentang pihak mana pun, yang dengan berbagai dalih, lalu mengintervensi kedaulatan kedua negara.

Pilihan saya tidak akan pernah berubah. Saya memilih bersama dengan rakyat Korea Selatan dan Korea Utara untuk terus mengupayakan perdamaian kedua negara. Saya pun selalu katakan, kalian sesungguhnya bersaudara, satu rumpun. Kita harus meyakini, selalu ada jalan keluar jika kita memilih jalan dan cara damai dalam menyelesaikan konflik dan sengketa.

Satu hal yang harus menjadi kesadaran kita bersama, apabila konflik Korea Selatan dan Korea Utara semakin mengeras, apabila konflik itu sampai berujung pada peperangan, harus kalian ingat yang paling dirugikan dan paling menderita adalah rakyat Korea Selatan dan Korea Utara sendiri. Dalam perjuangan untuk perdamaian yang saya lakukan, saya selalu sisipkan doa bagi rakyat kedua negara. Semoga perang tidak akan pernah terjadi. Semoga perdamaian yang akan selalu terjadi.

Saudara-saudara,

Sekali lagi saya sampaikan, demokrasi Pancasila adalah jalan bagi setiap bangsa untuk mencapai Trisakti, menjadi bangsa yang berdaulat dalam politik, berdiri di atas kaki sendiri di bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan. Semoga apa yang saya sampaikan menginspirasi anda semua dan menjadikan kita sebagai bagian dari warga dunia yang terus memperjuangkan perdamaian abadi, keadilan dan kesejahteraan sosial!

Wassalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh

Salom

Om Shanti Shanti Shanti Om

 Megawati Soekarnoputri