Koran Sulindo – Ribuan orang terlihat antre di Toko Tani Indonesia Center, Pasar Minggu, pekan lalu. Beberapa orang bahkan ada yang sudah datang sejak dinihari. Hingga menjelang sore antrean masih panjang, hingga keluar pagar kantor yang juga dipakai oleh Badan Litbang Kementarian Pertanian itu.
Mereka rela antre lama untuk membeli telur ayam ras seharga Rp19.500 per kilogram yang dijual dalam Operasi Pasar Kementan itu. Hari itu Kementan melepas 100 truk pikap pengangkut berisi 100 ton telur, yang didistribusikan ke pasar-pasar di kawasan Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek). Kementan mendapat pasokan telur dari peternak Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Banten.
Operasi pasar dilakukan karena harga telur seperti mendadak tiba-tiba berada di kisaran harga Rp28 ribu per kg setelah lebaran lalu. Di banyak daerah bahkan bisa seharga lebih dari Rp 30 ribu.
“Pas puasa kemarin sekitar Rp 22 ribu sampai Rp 24 ribu, terus pas habis Lebaran baru mulai naik dari Rp 25 ribu sampai sekarang Rp 29 ribu,” kata Eko, seorang pedagang di Pasar Palmerah Jakarta, seperti dikutip Kompas.com.
Tak hanya konsumen yang kelimpungan karena melonjaknya harga, pedagangpun gelisah karena mereka juga harus membeli dari produsen demgan harga tinggi. Belum lagi karena kenaikan harga yang tinggi, penjualan pedagang diklaim ikutan turun.
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita tentu saja sigap langsung memanggil para peternak ayam petelur dan penjual pakan. Ia telah menyiapkan langkah-langkah untuk menstabilkan harga telur di pasaran.
“Dapat respons positif dari para pelaku, yaitu jangan mengambil tambahan keuntungan,” kata, Enggar di kantornya, pekan lalu.
Enggar berjanji akan intervensi pasar jika selama sepekan ini harga telur tak juga turun. Menurutnya, lonjakan harga terjadi karena masa libur panjang Lebaran. Para pekerja di peternakan cuti panjang.
Selain itu, cuaca ekstrem juga menyebabkan kenaikan harga telur dan daging ayam, karena produktivitas peternak ayam menurun.
“Ada cuaca ekstrem. Bisa kita saksikan di Dieng ada salju,” kata Enggar.
Sebelumnya, Kemendag akan merevisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) 27 Tahun 2017 soal penetapan harga acuan untuk batas atas dan batas bawah untuk ayam dan telur.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan, Tjahya Widayanti, mengatakan aturan patokan harga akan dimasukkan ke dalam revisi Permendag itu, dengan harga batas bawah kedua komoditas itu sebesar Rp 17 ribu per kilogram (kg) dan harga batas atas mencapai Rp 19 ribu per kg.
“Aturan sudah masuk ke biro hukum untuk diterbitkan,” kata Tjahya.
Namun sebelum aturan itu sempat keluar, harga telur keburu melonjak.
Industri Raksasa
Perunggasan adalah industri raksasa. Sejak hulu-hilir, pakan, vaksin, anakan ayam, indukan ayam, hingga peralatan peternakan, perputaran uangnya mencapai Rp 450 triliun per tahun. Pada 2016 lalu, Kemenko Perekonomian menyatakan akan membentuk BUMN Perunggasan agar petani rakyat mempunyai pembeli. Namun ide itu setelah 2 tahun ini tak terdengar lagi.
Menurut Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) bisnis unggas di Indonesia tidak sehat karena hanya terdapat 2 perusahaan besar, dan ironisnya keduanya merupakan perusahaan asing, PT Japfa Comfeed dari Singapura dan PT Charoen Pokphand dari Thailand.
Kedua “aseng” itu menguasai hampir 80 persen bisnis unggas tanah air, dan tidak hanya menguasai hulu, tapi juga hilir. Puluhan perusahaan lokal hanya mematuk remah-remah. Belakangan, dikabarkan konglomerasi besar nasional Indo Food bakal memasuki kawasan empuk ini, tapi 2 perusahaan besar itu menyatakan tak khawatir.
KPPU menyatakan akan mengoptimalkan satgas kemitraan untuk memastikan 2 perusahaan besar tersebut tidak memonopoli dan melakukan praktik kartel. Mereka juga memelototi terus pola kemitraan 2 raksasa itu dengan para peternak.
Pada 2016 lalu, KPPU mengendus praktik persaingan usaha yang tidak sehat dalam pola kemitraan antara perusahaan dengan peternak. Dalam perjanjian kontrak kerja sama, perusahaan selaku inti disinyalir merupakan pihak yang menentukan ihwal DOC alias anak ayam, pakan, dan harga pasaran ayam hidup. Peternak tidak memiliki daya tawar.
Padahal ada Permentan Nomor 61 Tahun 2016 yang mengatur tentang penyediaan, peredaran, dan pengawasan ayam ras. Poin penting regulasi tersebut adalah pembagian DOC ke integrator dan peternak.
KPPU juga memvonis bersalah 12 perusahaan yang terbukti melakukan praktik kartel pada Oktober 2016. Sebanyak 12 perusahaan itu, 2 di antaranya adalah, tak perlu kaget, PT Charoen Pokphand dan PT Japfa Comfeed. Khusus 2 raksasa ini dijatuhi denda maksimal Rp25 miliar. Sisanya diganjar dengan dengan rentang Rp5 miliar hingga Rp14 miliar.
Namun vonis itu mental di pengadilan negeri Jakarta Selatan setahun berikutnya. Para raksasa melawan balik dan menang.
Tak heranlah kalau hingga kini, produsen biang benih ayam atau great GPS (GGPS) hanya ada 1 perusahaan saja. Industri benih ayam GPS tidak lebih dari 15 perusahaan, dengan 2 perusahaan menguasai pangsa pasar 80%. Sementara industri pembiakan bibit ayam hanya ada sekitar 100 perusahaan, dengan 5 perusahaan menguasai pangsa pasar 80% dan sisanya terbagi di antara 95 perusahaan kecil dan menengah lainnya.
Rencana pemerintah sejak pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono melakukan restrukturisasi industri untuk memperbaiki kemitraan antara pelaku peternak rakyat skala kecil, menengah, dan besar, bahkan untuk meningkatkan daya saing industri, hanya berjalan di tempat.
Dengan potret industri seperti itu, sudah kasat mata harga telur dan ayam bukan di tangan pedagang kecil di pasar atau pemerintah. Karena yang belakangan itu juga masih bertanya apa yang sebenarnya terjadi dibalik lonjakan harga telur hingga sebesar 25 persen bahkan lebih hanya dalam tempo 1-2 pekan saja.
“Harga pakan ternaknya naik, kemudian harga DOC (Day Old Chicken/Anak Ayam) juga naik,” kata Enggar, di kantor Kemenko Perekonomian Jakarta, hari lain dari kutipan beliau di atas.
Harga telur ayam di sejumlah pasar tradisional, termasuk DKI Jakarta meningkat hingga Rp30.000 per kg. Sekitar 2 minggu lalu masih sekitar Rp 24.000 per kg.
Mendag mengatakan sudah berkomunikasi dengan pelaku industri dan perkumpulan pedagang telur untuk memetakan masalah kenaikan harga produksi tersebut.”Nanti akan terus kita intensif, berapa sih marginnya yang tertekan,” kata Enggar.
Kini harga telur di Maluku Utara sudah Rp37.850 per kg. Di Papua? Rp35.500 per kg.
Satgas Pangan yang terdiri atas polisi dan kementerian terkait konon sedang menelusuri rantai distribusi telur.
“Itu yang akan kami selidiki, apakah pengepul, pangkalan atau broker yang ambil untung banyak,” kata Wakil Ketua Satgas Pangan Setyo Wasisto. Tapi ambil untung, sedikit atau banyak, tak melanggar hukum dalam dunia perdagangan.
Keluhan rakyat? Pak Mendag tak terdengar mengatakan apapun soal ini. Jadi mereka harus rela antre sejak pagi-pagi menyambangi tempat-tempat operasi pasar, dengan kemungkinan harga telur takkan pernah sama seperti dulu lagi. [Didit Sidarta]