Ilustrasi masyarakat mengantre minyak goreng - Antara
Ilustrasi masyarakat mengantre minyak goreng - Antara

Kenaikan harga minyak goreng pada paruh kedua tahun 2021 ini terasa berat bagi masyarakat, terutama rumah tangga sederhana dan miskin. Meski pemerintah telah menetapkan harga eceran tertinggi (HET) Rp.11.000 per liter, tetap saja masyarakat harus membeli seharga 18 – 20 ribu rupiah. Akibatnya biaya hidup harian rumah tangga ikut meningkat.

Lisa, salah satu pekerja pabrik manufaktur di Tangerang mengatakan dirinya terpaksa mengurangi pembelian minyak goreng untuk memasak di rumah.

“Saya tidak punya pilihan lain” kata Lisa. “uang yang biasanya cukup untuk membeli minyak goreng 1 kilogram sekarang hanya  separuhnya saja”. Ia juga terpaksa menggunakan minyak goreng berulang kali untuk menghemat.

Dampak kenaikan harga

Apa yang dialami Lisa juga dirasakan hampir seluruh kalangan , karena minyak goreng umum digunakan masyarakat untuk memasak sehari-hari. Bagi rumah tangga menengah bawah dengan pendapatan pas-pasan, kenaikan harga ini sangat memusingkan, apalagi bagi buruh seperti Lisa. Upah yang didapat dari bekerja sudah terlalu kecil untuk menopang kebutuhan harian keluarga.

Sebagai gambarannya, Upah Minimum di Kota Tangerang tahun 2022 naik hanya 40 ribu rupiah. Kenaikan upah itu bahkan tak mampu menutup kenaikan harga minyak goreng yang kebutuhannya 5 liter setiap bulan.

Kenaikan harga juga dikeluhkan pedagang kecil dan industri makanan. Kenaikan harga minyak goreng menyebabkan tingginya biaya produksi, akan tetapi harga jual tidak bisa naik karena akan kehilangan pembeli.

Hal senada disampaikan Ketua Umum GAPMMI, Adhi S. Lukman, menurutnya kenaikan harga bahan baku cukup tinggi. “Kenaikan harga CPO tersebut memang berimbas pada bahan komoditas yang dibutuhkan oleh industri pangan. Hal ini tentunya juga berpengaruh pada harga bahan pokok kita,” ujarnya.

Menurut Lukman dampak lain adalah naiknya harga jual makanan olahan. Diperkirakan pada tahun depan akan ada kenaikan harga makanan mencapai 5 persen.

Penyebab naiknya harga minyak goreng

Kenaikan harga minyak goreng tidak hanya bersumber dari produsen minyak goreng, tetapi terhubung juga dengan sektor hulu pemasok bahan baku, yaitu perkebunan sawit, produsen dan pedagang Crude Palm Oil (CPO).

Menanggapi keluhan masyarakat, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) berupaya keras menyampaikan alasan naiknya harga lewat pernyataan di media.

Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemendag, Oke Nurwan, mengatakan ada dua alasan naiknya harga minyak goreng, antara lain lantaran faktor global dan faktor di dalam negeri.

Menurut Kemendag penyebab pertama adalah naiknya harga CPO dunia menjadi US$ 1.365 per metrik ton dari harga sebelumnya US$ 500-600. Penyebab kedua, kebanyakan entitas (perusahaan) produsen minyak goreng dan CPO berbeda sehingga produsen minyak goreng dalam negeri harus membeli CPO sesuai dengan harga pasar lelang dalam negeri mengacu pada harga lelang KPBN Dumai, yang juga terkorelasi dengan harga pasar internasional.

Karena itu, ketika harga minyak sawit mentah melonjak, harga minyak goreng curah dan kemasan sederhana ikut meningkat tajam.

Kendali harga

Sebagai kebutuhan pokok masyarakat, acuan harga minyak goreng ditetapkan oleh pemerintah melalui kementerian perdagangan, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 7 Tahun 2020. Tujuan peraturan ini untuk menjamin ketersediaan serta stabilitas harga di tingkat konsumen.

Permendag tersebut mengatur harga acuan penjualan di konsumen atau sering disebut HET untuk minyak goreng kemasan sederhana seharga 11 ribu rupiah.

Lebih lanjut juga diatur, jika harga di tingkat konsumen berada di atas harga acuan, Menteri dapat menugaskan badan usaha milik negara untuk melakukan penjualan sesuai dengan Harga Acuan.

Jika melihat melihat peraturan di atas maka sudah jelas tindakan yang harus dilakukan pemerintah mengatasi lonjakan harga minyak goreng, yaitu menjual minyak goreng kepada masyarakat sesuai harga acuan 11 ribu rupiah.

Alih-alih menyediakan minyak goreng sesuai harga acuan, Kemendag justru membuka opsi untuk menaikkan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng. “Berkaitan dengan ini, memang akan ada penyesuaian harga acuan,” kata Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemendag Oke Nurwan pada awal Desember.

Rencana menaikkan HET tentunya semakin memberatkan masyarakat, karena bisa dipastikan harga baru akan jauh lebih tinggi. Selain itu menaikkan HET dinilai bukanlah solusi utama, karena perlu penyelidikan mendalam penyebab kenaikan harga yang diberlakukan produsen secara serentak, apakah ada penyimpangan, kartel harga atau praktik usaha tidak sehat.

Orientasi ekspor

Salah satu dampak liberalisasi pertanian, sektor hulu industri minyak goreng yaitu perkebunan sawit dan produksi CPO kini lebih berorientasi ekspor. Menurut Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), pada tahun 2020 produksi minyak sawit atau CPO Indonesia mencapai 51 juta ton, di antaranya 34 juta di ekspor dan 17,35 juta ton untuk konsumsi dalam negeri. Dengan produksi sebesar itu, Indonesia menjadi produsen terbesar minyak sawit dunia dengan market share mencapai 55 persen.

Tingginya harga minyak sawit dunia saat ini tentu menguntungkan bagi perusahaan pengekspor CPO. Selain itu pemerintah juga mendapat keuntungan besar dari pungutan ekspor CPO yang nilainya mencapai US$ 155 per ton. Besaran pungutan ekspor CPO itu diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 76/PMK.05/2021.

Tentunya pemerintah lebih menyukai peningkatan ekspor CPO dan tingginya harga dibanding pemenuhan kebutuhan domestik, sebab ekspor akan memperbesar pemasukan kas negara.

Perlindungan masyarakat

Apa yang dikemukakan Kementerian Perdagangan tidak sepenuhnya bisa di jadikan alasan untuk menaikkan harga acuan minyak goreng. Harga pasar CPO Internasional seharusnya tidak menjadi acuan harga CPO untuk produksi minyak goreng.

Tidak seperti yang disampaikan Kemendag, jika ditinjau lebih seksama, pemilik kebun sawit, produsen CPO dan produsen minyak goreng adalah grup usaha yang sama misalnya Wilmar, Sinarmas Group, Musimas atau Salim Ivomas. Minyak goreng kemasan yang beredar seperti merk Filma, Bimoli, Sunco atau Sania juga diproduksi grup usaha yang sama. Akan sulit di nalar jika mereka mengekspor CPO untuk di beli kembali dengan harga pasar internasional.

Selain itu harga penjualan CPO domestik semestinya lebih rendah dari harga pasar dunia, karena tidak terkena pungutan ekspor sawit pemerintah. Jika produsen CPO Indonesia menjual kebutuhan domestik dengan harga pasar internasional tentunya akan menjadi skandal besar yang mengorbankan rakyat demi keuntungan berlipat.

Agar tidak terjadi gejolak berkepanjangan, pengendalian harga minyak goreng untuk pemenuhan kebutuhan rakyat harus menjadi prioritas pemerintah. Rantai pasok industri minyak goreng pun perlu diatur secara lebih ketat agar tidak merugikan masyarakat. [PTM]