Mendagri Tjahjo Kumolo, Menpan-RB Syafruddin, dan Kepala BKN Bima Haria Wibisana setelah penandatanganan surat keputusan bersama pemberhentian PNS yang tersangkut hukum.

Koran Sulindo – Ternyata, dari 2.357 aparatur sipil negara (ASN) atau pegawai negeri sipil (PNS) yang telah divonis bersalah dalam perkara korupsi baru 891 orang yang diberhentikan secara tidak hormat. Demikian diungkapkan Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah di Jakarta, Ahad (27/1).

“KPK menerima informasi dari BKN [Badan Kepegawaian Negara] tentang masih lambatnya proses pemberhentian PNS yang telah terbukti korupsi. Penyebabnya mulai dari keengganan, keraguan, hingga penyebab lain para PPK [Pejabat Pembina Kepegawaian],” kata Febri, seperti dikutip dari Antara.

Seharusnya, pemberhentian 2.357 PNS itu ditargetkan selesai pada akhir Desember 2018. “KPK sangat menyayangkan rendahnya komitmen PPK, baik di pusat maupun di daerah untuk mematuhi perundang-undangan yang berlaku tersebut,” ujar Febri lagi.

Untuk memastikan ketidakpatuhan atau apa yang menjadi hambatan dalam pemberhentian itu, lanjutnya, KPK pun terus berkoordinasi. Apalagi, pada 13 September 2018 lalu, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara pan Reformasi Birokrasi, dan Kepala BKN telah membuat kesepakatan bersama mengenai pemberhentian PNS bermasalah hukum.

Pada instansi pusat, dari 98 PNS yang divonis bersalah karena korupsi baru 49 orang yang diberhentikan. Beberapa kementerian tercatat belum memberhentikan sejumlah PNS yang melakukan korupsi adalah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat sebanyak 9 orang; Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi sebanyak 9 orang; Kementerian Kelauatan dan Perikanan sebanyak 3 orang; Kementerian Pertahanan sebanyak 3 orang, dan; Kementerian Pertanian sebanyak 3 orang.

“Kementerian yang terbanyak memberhentikan PNS terbukti korupsi adalah Kementerian Perhubungan sebanyak 17 orang dan Kementerian Agama sebanyak 7 orang,” tutur Febri.

Yang juga menjadi penyebab terhambatnya pemberhentian itu adalah surat dari Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Korpri Nasional, yang meminta menunda pemberhentian para PNS tersebut. LKBH Korpri melakukan pengujian materi Pasal 87 ayat (2) dan ayat (4) huruf b dan d Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara ke Mahkamah Konstitusi (MK), sehingga meminta kementerian dan pemerintah daerah tidak melakukan pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) dan mengembalikan hak-hak lain yang melekat pada ASN seperti gaji, tunjangan, dan hak-hak lainnya pada kedudukan semula.

Judicial review yang diajukan ke MK semestinya tidak menjadi alasan untuk menunda aturan yang telah jelas tersebut,” kata Febri.

KPK pun mengimbau petinggi instansi serius menegakkan aturan pemberhentian tidak dengan hormat terhadap PNS yang korupsi itu. “Karena sikap kompromi terhadap pelaku korupsi, selain dapat mengikis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, juga berisiko menambah kerugian keuangan negara, karena penghasilan PNS tersebut masih harus dibayarkan negara,” ujarFebri.

Pada 13 September 2018 lalu memang Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo bersama Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN-RB) Syafruddin dan Kepala BKN Bima Haria Wibisana meneken surat keputusan bersama atau SKB terkait pemecatan 2.357 PNS yang berstatus koruptor. Secara umum, SKB tersebut mengatur pemberhentian tidak hormat para PNS yang terlibat korupsi.

“Pelaksanaan keputusan bersama ini diselesaikan paling lama bulan Desember 2018,” kata Tjahjo di Jakarta saat penandatanganan SKB itu.

Dalam kesempatan tersebut diungkapkan pula ada 2.357 PNS koruptor yang vonisnya telah berkekuatan hukum tetap tapi masih aktif dan menerima gaji.  Karena itu, pemerintah mencari cara agar para PNS itu bisa diberhentikan secepatnya.

Tjahjo juga menindaklanjuti pertemuan di KPK dengan menerbitkan Surat Edaran Nomor 180/6867/SJ tentang Pemecatan ASN, yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Surat edaran tersebut menggantikan surat edaran lama Kementerian Dalam Negeri Nomor 800/4329/SJ tanggal 29 Oktober 2012. Penerbitan surat edaran baru ini, ungkap Tjahjo, karena yang lama seolah membolehkan para PNS yang terlibat korupsi tetap menduduki jabatan struktural. [PUR]