Koran Sulindo – Suasana Konferensi Partai Tarbiyah Indonesia (Perti) di pertengahan tahun 1963 itu segera panas. Sang ketua umum, K.H. Sirajuddin Abbas, mencecar PRRI dalam pidatonya. Menurutnya, PRRI telah mengikuti jalan yang salah. “….(PRRI telah) durhaka kepada Kepala Negara yang telah ditetapkan ulama-ulama Islam, diantaranya ulama-ulama Perti bahwa beliau (Presiden Soekarno) adalah waliyul amri bis syawkah dan ulim amri yang harus ditaati,” tegas Kiai Sirajuddin, putra Minangkabau, yang langsung disambut gemuruh hadirin.
Lima tahun sebelumnya, 16 Maret 1958, dalam “Rapat Panjtasila” di Bandung, Hajjah Rangkayo Rasuna Said—perempuan Minangkabau yang kerap dijuluki singa betina parlemen—juga melancarkan kritik senada terhadap PRRI. “Bukankah (PRRI) itu menikam dari belakang, chianat jang sebesar-besarnya? Chianat kepada tjita-tjita, chianat kepada negara, dan chianat kepaada diri sendiri? Lebih lagi chianat yang mereka lakukan djustru pada saat kita, seluruh bangsa Indonesia, bersatu tekad memperjuangkan masuknja kembali Irian Barat kedalam wilayah kita sendiri. Seakan-akan mereka satu saf, satu baris, dengan fihak Belanda…Sebab setiap sikap perdjoangan mereka bukan revolusioner seperti namanya, sebab dia menamakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia, tetapi menjadi reaksioner jadinya….”, kata Rasuna Said dalam pidatonya di depan massa di rapat yang juga dihadiri Presiden Soekarno itu.
Berbeda dari kebanyakan pemimpin asal Minangkabau, kedua tokoh ini—KH Sirajuddin Abbas dan Rasuna Said—memang dikenal sebagai pendukung setia Bung Karno. Rasuna Said, yang pernah mendekam di penjara pemerintah kolonial Hindia Belanda, telah berinteraksi dengan Bung Karno sejak zaman pergerakan kebangsaan.
Adapun KH Sirajuddin Abbas, bersama organisasi yang dipimpinnya: Perti, sejak awal kemerdekaan telah mendukung Presiden Soekarno. Bahkan, Perti dikena luas sebagai “benteng Islam” bagi Bung Karno.
Perti awalnya adalah organisasi tradisional Islam, Persatuan Tarbiyah Indonesia, yang berpusat di Bukittinggi, Sumatra Barat. Organisasi ini didirikan di sebuah pesantren terkenal di Candung, dekat Bukittinggi, pada 20 Mei 1930. Pendirinya adalah ulama-ulama terkemuka dari “kaum tua” seperti: Syaikh Abbas dari Padang Lawas, Bukittinggi; Syekh Sulaiman ar-Rasuli dari Candung; dan Syekh Muhammad Djamil Djaho dari Padang Japang, Payakumbuh.
Para pendiri Perti semuanya adalah ulama tradisional di Minangkabau yang mempunyai surau-surau besar. Karena itu, Perti dikenal sebagai salah satu benteng pertahanan utama golongan tradisional Islam terhadap penyebaran paham dan gerakan modern Islam di Minangkabau. Seperti dicatat Deliar Noer dalam kitab Partai Islam di Pentas Nasional: 1945-1965 (Grafiti Pers, 1987), organisasi yang berpegang teguh pada mazhab Syafii ini cukup berhasil mengembangkan sayapnya hingga ke pusat-pusat pendidikan tradisional di Jambi, Tapanuli, Bengkulu, Aceh, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Selatan.
Pada masa pendudukan Jepang, di tahun 1944, para pemimpin Perti bergabung ke Majelis Islam Tinggi (MIT), organisasi Islam untuk seluruh Sumatra yang berkedudukan di Bukittinggi. MIT inilah yang kemudian bertransformasi menjadi Majelis Sjuro Indonesia (Masjumi), partai politik Islam yang berpengaruh di masa-masa awal kemerdekaan Indonesia.
Alih-alih bergabung dengan Masjumi, para pemimpin Perti memutuskan menjadikan organisasi mereka sebagai partai politik sendiri. Keputusan itu diambil pada tanggal 22 November 1945, lalu dikukuhkan dalam Kongres Perti di Bukittinggi, 22-24 Desember 1945. Dalam kongres ini pula, KH Sirajuddin Abbas didapuk sebagai Ketua Umum Perti yang pertama. Usianya saat itu masih 40 tahun.Menegakkan Ahlussunnah wal Jamaah
KH Sirajuddin Abbas Al Minangkabawi lahir di Bengkawas, Bukit Tinggi, Sumatra Barat, pada 20 Mei 1905. Ia lahir di tengah keluarga para ulama. Ayahnya, Syech Abbas bin Abdi Wahab, merupakan seorang qadhi (hakim) yang juga seorang ulama terkemuka. Syech Abbas adalah salah seorang pendiri Perti, dan memiliki pesantren terkenal di Padanglawas, tak jauh dari Bukitinggi. Ia termasuk ulama yang pertama memasukkan cara-cara persekolahan modern di pesantrennya—sejak tahun 1918—sambil tetap berpegang teguh pada mazhab Syafii dan merujuk kitab-kitab mazhab lain.
Ibunda Sirajuddin, Ramalat binti Jai Bengkawas, pun seorang muslimah luar biasa yang juga keturunan ulama terkemuka. Tak heran jika sejak kecil, kedua orang tuanya telah membentuk Sirajuddin sebagai ulama. Dari sang ibu, Sirajuddin mempelajari Alquran, baik membaca maupun menulis. Dari sang ayah, ia belajar kitab-kitab agama berbahasa Arab.
Menginjak remaja, barulah Sirajuddin belajar di majelis para ulama Bukittinggi. Ia juga menjadi santri di berbagai pondok pesantren, antara lain di pesantren yang diasuh Syeikh Haji Husein Pakan Senayan, dan Tuanku Imran Limbukan Payakumbuh. Ia juga mendalami ilmu agama di pesantren Syeikh Haji Abdul Malik, di Gobah Padanglawas.
Di tahun 1927, Sirajuddin bertolak ke Arab Saudi untuk memperdalam ilmu syara’. Di tanah suci, ia menimba ilmu dari banyak ulama dan bersahabat dengan para imam. Guru-gurunya di Makkah, antara lan: Syeikh Sa’id Yamani (mufti Mazhab Syafi’i); Syeikh Husein al Hanafi (mufti Mazhab Hanafi); Syeikh Ali al Maliki dan Syeikh Umar Hamdan (keduanya ulama mazhab Maliki)..
Sirajuddin juga belajar Bahasa Inggris dari guru asal Tapanuli bernama Ali Basya. Menariknya selama di Mekkah, ia tak hanya menimba ilmu, tapi juga mencari kesibukan lain. Misalnya, ia bekerja sebagai staf sekretariat pada konsulat Belanda di Arab Saudi.
Sepulang dari Makkah pada tahun 1933, Sirajuddin Abbas menimba pelbagai ilmu kepada Guru Besar Maulana Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli, Candung, Bukittinggi. Kemudian beliau pulang ke kampung halamannya di Minangkabau untuk meneruskan perjuangan ayahnya, mengajar di pesantren-pesantren yang ada di Minangkabau. Sirajuddin Abbas kemudian dikenal sebagai muballigh muda yang potensial.
Selain ulama pendakwah, Sirajuddin juga aktif menulis kitab, terutama di bidang fikih mazhab Syafi’i. Karyanya itu ditulis dalam dalam bahasa Arab, dan sebagian dalam bahasa Indonesia, antara lain: Sirajul Munir, (Fiqih 2 jilid), Bidayatul Balaghah, (Bayan), Khulasah Tarikh Islami, (Sejarah Islam), I’tiqad Ahlussunnah Wal Jama’ah, dan Sejarah dan Keagungan Madzhab Syafi’i.
Pikiran-pikiran keagamaan Sirajuddin Abbas banyak diikuti orang, baik yang menyangkut segi-segi akidah maupun syariah. Kitab-kitab karya ulama ini bukan saja dibaca oleh kelompok kecil di kalangan masyarakat Minangkabau di mana ia dilahirkan, bukan pula hanya oleh warga Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) yang pernah dipimpinnya, tetapi juga tersebar luas di kalangan umat Islam. Bisa dikatakan, orang Islam Indonesia, khususnya kelompok tradisional, menyatakan Kiai Sirajuddin sebagai pembela mazhab Syafi’i di Indonesia yang argumentatif dan menguasai bidangnya lewat kitab-kitab yang disusunnya. Kalangan tradisional di Indonesia, termasuk kalangan Nahdlatul Ulama, mengakui kealiman ulama ini. Ini terbukti dari banyaknya warga NU yang membaca karya-karya K. Sirojuddin Abbas, terutama warga NU dari kalangan pelajar dan mahasiswa.
Kelebihan lain Sirajuddin Abbas, selain seorang ulama muallif, ia juga sangat gigih mempertahankan mazhab Ahlussunnah wal Jamaah, khususnya mazhab Syafi’i dalam bidang ilmu fikih. Pembelaan ini relevan sekali dengan kondisi Indonesia dan Asia Tenggara yang mayoritas penganut mazhab Syafi’i dalam ibadahnya. Karena pembelaannya yang gigih dan argumentatif, banyak kalangan modernis yang menyebutnya terlalu kaku dan apriori terhadap paham lain, khususnya paham-paham baru.
Sebagai ulama yang termasuk “Kaum Tua” atau tradisional/adat di Minangkabau, meski tidak terlalu menonjol karena usianya masih muda, Sirajuddin Abbas terlibat dalam kancah perdebatan dengan ulama modernis atau “Kaum Muda”.
Salah seorang dari “Kaum Tua” yang pertama kali terjun dalam kancah perdebatan itu adalah Datoek Soetan Maharadja, seorang pemuka adat dan pelopor jurnalistik di Minangkabau. Pada tahun 1892, Soetan Maharadja yang semula bekerja sebagai jaksa memutuskan berhenti dari pekerjaan, dan bekerja penuh waktu sebagai jurnalis. Ia lantas menjadi editor di sebuah koran terbitan Padang, Palita Ketjil yang beberapa tahun kemudian berganti nama menjadi Warta Berita.
Sepanjang 1901-1904, ia bekerja sebagai koresponden Bintang Hindia—suratkabar berbahasa Melayu yang terbit di Belanda—dan Insulinde. Pada tahun 1904-1910, Soetan Maharadja tercatat sebagai editor Tjahaja Sumatra, koran milik orang Eropa. Meski dituduh sebagai “kaki tangan gubernemen”, ia juga terkenal dan dihargai sebagai “seorang dengan integritas tinggi dan berkaliber di dunia jurnalisme Melayu”.
Di tahun-tahun inilah masa puncak kejayaan Datuk Soetan Maharadja. Tulisan-tulisanya di Tjahaja Sumatra tidak hanya mencerminkan hasratnya agar orang Sumatra mengejar kemajuan, tetapi ketetapan hatinya untuk meyakinkan penduduk Minangkabau akan gagasannya mengenai model modernisasi yang harus mereka pilih. Seraya menganjurkan pendidikan Barat untuk penduduk pribumi, ia menolak penyerapan total budaya dan tata krama Barat (Adam 2003, hal. 227).
Tak puas bekerja di suratkabar milik orang Belanda, di tahun 1911 Datuk Soetan Maharadja memutuskan menerbitkan korannya sendiri: Oetoesan Melajoe. Dalam surat kabar tersebut tertera : “Achbar ini ditjitak pada pertjitakan orang Minangkabau.” Melalui kalimat ini, ia ingin menunjukkan kemampuan kaum Minangkabau dalam menguasai usaha surat kabar dan percetakan, yang ketika itu banyak dijalankan oleh orang-orang Belanda.
Tak lama setelah terbit, Oetoesan Melajoe segera terlibat polemik dengan Al Moenir, koran yang diterbitkan kaum ulama pembaharu. Oetoesan Melajoe menjadi corong kaum adat Minangkabau. Sebagai “penghulu” kaum adat—yang ayahnya menjadi korban kaum Paderi– Datuk Soetan Maharadja menyerang para pengasuh Al Moenir dengan sengit. Ia, misalnya, menyebut kaum ulama tersebut sebagai pengikut Wahabi atau Paderi.
Sebaliknya, Al Moenir menyebut kaum fanatikus adat—seperti Datuk Soetan Maharadja—sebagai musuh Islam yang harus dilawan. Garis redaksional Al Moenir, yang dipimpin Abdullah Ahmad dan Abdul Karim Amrullah (ayahanda Hamka)– adalah religius radikal. Koran ini memuat tulisan tentang berbagai topik yang sampai saat itu dianggap tabu oleh kaum adat dan kaum tua ulama.
Demikian kerasnya perdebatan antara Datuk Soetan Maharadja dengan Al Moenir, suratkabar lain di Padang menyebutkan bahwa debat tak berkesudahan seperti itu malah akan berakibat buruk bagi masyarakat. Tapi, Datuk Soetan Maharadja tak mengindahkan peringatan itu. Bahkan, ia kemudian menerbitkan lagi Soeloeh Melajoe dan dwimingguan Soeara Melajoe untuk memperkuat barisan melawan Al Moenir. Melalui kedua koran ini, terutama Soeara Melajoe, ulama “Kaum Tua”—yang dipimpin Syech Chatib Ali, yang sempat dicap murtad oleh para ulama reformis– menyangkal pendapat para pengasuh Al Moenir.Politisi Tangguh
Seperti disebutkan diatas, Sirajuddin Abbas terpilih sebagai Ketua Umum Perti, sebagai partai politik, dalam kongres di bulan Desember 1945. Sejak itu, ia menjadi figur sentral di Perti. Sirajuddin juga merupakan wakil Perti satu-satunya di parlemen hingga tahun 1955.
Di bawah kepemimpinaan Sirajuddin, Perti berkembang cukup pesat. Untuk keperluan kaderisasi maupun untuk menghimpun pengikut sebanyak-banyaknya, Perti menggalang pemuda dalam Persatuan Pemuda Islam Indonesia (PPII), Persatuan Murid-Murid Tarbiyah Islamiyah, dan kepanduan Al-Anshaar.
Meski mengusung bendera sebagai partai Islam, garis politik Perti selalu mendukung Presiden Soekarno. Dibanding kalangan modernis Islam dan tradisional Islam di Jawa– terutama di masa Demokrasi Terpimpin– garis politik Perti bergerak ke kiri. Dalam banyak kegiatan Perti bekerjasama dengan kalangan nasionalis-radikal. Karena kedekatannya dengan tokoh-tokoh politik nasionalis-radikal atau sosialis-kiri, Perti sempat dicap sebagai bagian dari kelompok kiri.
Meski masuk kategori partai kecil, tapi dibawah kepemimpinan Kiai Sirajuddin Abbas, partai ini tetap eksis dan diperhitungkan oleh kelompok Islam lainnya. Bahkan bersama NU dan PSII, di tahun 1952, Perti berhasil mendirikan Liga Muslim dengan tokoh-tokohnya Kiai Wahid Hasyim, Kiai Sirajuddin Abbas, dan Abi Kusno Cokrosuyoso. Sayang, Liga Muslim ini tidak dapat berjalan secara efektif dan akhirnya surut begitu saja.
Sebagai ulama dan politisi, KH Sirajuddin Abbas memiliki banyak pengalaman di bidang politik maupun keagamaan. Ia banyak berkunjung ke berbagai negara asing, baik melalui kunjungan resmi (kenegaraan) sebagai anggota lembaga legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat) maupun kunjungan kerja lain dalam missi keagamaan. Di antara negara yang pernah dikunjunginya antara lain Arab Saudi, Mesir, Yaman, Libanon, Syiria, Irak, Iran, Pakistan, Kazakstan, Turkistan, Turkmenia, Sin Kiang, Aljazair, dan Maroko.
Menariknya, Sirajuddin Abbas tak segan berseberangan pendapat dengan partai-partai Islam lainnya. Pada awal 1956, Sirajuddin dengan nada provokatif mempertanyakan mengapa Masjumi—partai Islam terbesar di masa itu—lebih suka bekerjasama dengan Parkindo dan Partai Katolik daripada dengan partai-partai Islam lainnya, seperti NU, PSII, dan Perti. Pernyataan itu terkait dengan Perundingan Jenewa yang berlarut-larut. Salah satu agenda penting Perundingan Jenewa itu adalah mengenai upaya pembebasan Irian Barat.
Presiden Soekarno dan partai-partai yang mendukungnya, menilai kabinet yang dipimpin Burhanudin Harahap (Masjumi) menilai Perundingan Jenewa terlalu berlama-lama. Perundingan Jenewa itu memang ditunda karena tidak berhasil menemukan kesepakatan dengan pihak Belanda.
Dua partai Islam, NU dan PSII, kemudian mengirimkan nota kepada pemerintah agar menarik delegasi Indonesia di Perundingan Jenewa. Suhu politik pun memanas. Selanjutnya NU dan PSII menarik menteri-menterinya dari kabinet. NU juga menyarankan agar pemerintah “demi keutuhan bersama… menyerahkan mandat kembali kepada Presiden”.
Perti juga menuntut hal yang sama. Dan Sirajuddin Abbas mengeluarkan komentar yang menyerang Masjumi. Pernyataan itu segera mendapat sambutan Mohammad Natsir, salah seorang pemimpin utama Masjumi, yang mengatakan bahwa masalahnya tidak sesederhana itu. Masalahnya, kata Natsir, bukan sekedar memilih kawan untuk bekerjasama, tapi pengakhiran perundingan Jenewa itu perlu dilakukan dengan prosedur biasa dan tertib, dan pada waktu yang menguntungkan Indonesia.
Karir politik Sirajuddin Abbas terbilang bagus. Sejak proklamasi kemerdekaan hingga pertengahan 1950-an, ia duduk sebagai anggota parlemen mewakili Perti. Puncak karir politiknya saat ia diserahi amanah sebagai Menteri Kesejahteraan Umum dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo I, menggantikan Sudibjo yang mengundurkan diri.
Dan sepanjang masa pengabdian politiknya, Sirajuddin Abbas tidak pernah putus mendukung garis politik Bung Karno. Hampir dalam setiap ceramahnya dan pidatonya ia selalu membela dan menunjukkan kekagumannya kepada sosok dan pemikiran Bung Karno. Tak syak lagi, ia merupakan loyalis tulen Bung Karno, hingga akhirnya hayatnya. KH Sirajuddin Abbas wafat 5 Agustus 1980, di usia 75 tahun. [Satyadarma Hs.]