Ilustrasi: Beras Bulog/setkab.go.id

Koran Sulindo – Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan hingga akhir tahun ini Pemerintah takkan mengimpor beras karena stok di Badan Urusan Logistik (Bulog) masih mencukupi.

“Kita belum, tidak punya rencana sekarang, sama sekali, untuk mengimpor beras; karena tidak memenuhi syarat untuk itu. Stok Bulog sekitar 2,2 juta ton dan harga juga stabil,” kata Kalla, usai memimpin rapat terbatas tentang penyempurnaan metode penghitungan produksi beras di Kantor Wapres Jakarta, Senin (22/10/2018), seperti dikutip antaranews.com.

Kalla mengatakan syarat untuk mengimpor beras adalah jika stok beras di gudang Bulog hanya kurang dari 1 juta ton serta harga beras di pasaran meningkat 10 persen dari harga patokan.

“Sekarang, syarat itu tidak memenuhi. Stok 2,2 juta ton itu bagus, kemudian harga juga lebih stabil. Tidak akan impor. Bukan alasan untuk mengimpor,” katanya.

Wapres juga merevisi data Kementerian Pertanian yang mengatakan target produksi gabah kering giling (GKG) tahun 2018 mencapai 80 juta ton. Padahal menurut penghitungan Badan Pusat Statistik (BPS), dengan metode barunya, produksi GKG tahun 2018 hanya sebesar 56,54 juta ton.

“Hanya ini, jangan lupa ini masih surplus; cuma tidak 80 juta ton produksi gabah. 80 juta ton itu nanti orang ketawain kita, 80 juta ton kok impor beras, padahal tidak seperti itu,” kata Wapres.

Dalam rapat terbatas di Kantor Wapres, Menteri Pertanian Amran Sulaiman tidak hadir dan mewakilkan kepada Kepala Badan Ketahanan Pangan Agung Hendriardi. Hadir dalam rapat itu antara lain Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution, Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) Sofyan Djalil, dan Kepala Badan Pusat Statistik Suhariyanto.

Data Satelit
Dalam rapat itu diputuskan pemerintah akan menyempurnakan metode penghitungan produksi beras dengan menggunakan data pengawasan satelit untuk memperkirakan luas lahan sawah.

“Secara ilmiah kita memperbaiki itu; yang dipakai ini ada dua, satelit dan (data) lapangan. Setelah (menggunakan) satelit, kemudian dicek di lapangan,” katanya.

Dalam perbaikan penghitungan proyeksi produksi beras, Wapres tidak lagi melibatkan Kementerian Pertanian dalam hal menghitung luas lahan sawah. Penghitungan luas lahan kini dikerjalan oleh Kementerian ATR bersama dengan Badan Informasi Geospasial dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional.

Tahap pertama, penyempurnaan metode penghitungan produksi beras dilakukan secara komprehensif dengan melibatkan Kementerian ATR, Badan Informasi Geospasial (BIG), dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) untuk menghitung luas bahan baku sawah nasional.

Kedua, BPS dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) berperan melakukan penghitungan luas panen. Ketiga, BPS kemudian melakukan penghitungan prediksi produksi gabah kering per hektar. Terakhir, dilakukan penghitungan konversi gabah kering menjadi beras oleh BPS.

Menurut Kalla, terjadi kekeliruan penghitungan data proyeksi produksi beras nasional selama ini terjadi sejak 20 tahun terakhir.

“Selama ini, sejak tahun 1997, terjadi suatu angka yang sesuai dengan lapangan. Angka produksi beras sejak 1997 sampai dengan sekarang itu terjadi produksi yang bertambah terus, padahal di lain pihak sawah berkurang 1,5 persen per tahun, dan penduduk bertambah,” katanya.

Selama tiga tahun terakhir, sejak 2015, BPS tidak mengeluarkan rilis proyeksi produksi beras nasional karena perbedaan penghitungan luas lahan dengan Kementerian Pertanian.

“Bahwa ini pencatatan sejak 1997 yang lalu, saya termasuk salah juga sebagai Wapres yang lalu karena tidak segera mengevaluasi,” kata Kalla.

Data Beras Terbaru
Sementara itu Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan terdapat sejumlah data beras baru usai mengikuti rapat koordinasi tentang metode penghitungan produksi beras di kantor Wakil Presiden.

Ditemui di di Kemenko Perekonomian, Jakarta, Senin (22/10/2018), Darmin mengatakan luas panen padi pada tahun ini mencapai 10,9 juta hektare dari lahan baku sawah yang mencapai 7,1 juta hektare berdasarkan data yang disiapkan oleh BPS dan BPPT. Berdasarkan data tersebut, terdapat sekitar 54 persen lahan baku sawah yang mengalami panen hingga dua kali. Hasil perhitungan BPS menunjukkan bahwa total produksi beras mencapai 32,4 juta ton saat ini.

“Itu sudah dihitung mulai dari beras dipanen kemudian setelah dipanen jadi GKP (gabah kering panen), dari GKP ke GKG (gabah kering giling) susut dan hilangnya berapa sudah dihitung,” katanya.

Di sisi lain, konsumsi beras tahun ini totalnya 29,6 juta ton atau sekitar 2,4 juta ton sebulan, sehingga dengan produksi mencapai 32,4 juta ton masih terdapat kelebihan produksi 2,85 juta ton. Namun angka surplus produksi tersebut masih di bawah angka sebelumnya yang bisa mencapai kelebihan hingga 20 ton.

“Sehingga memang pasokan di pasar tersendat, itu sebabnya di awal tahun kami sudah mulai melihat bahwa stok di Bulog kok rendah sekali. Bahkan pada waktu Maret 2018 mengimpor itu, stok di Bulog 500 ribu ton, itu terlalu rendah,” kata Darmin.

BPS
Badan Pusat Statistik menggunakan metode kerangka sampel area (KSA) untuk melakukan penghitungan luas panen gabah kering giling (GKG) untuk kemudian dikonversi menjadi proyeksi produksi beras secara nasional.

“Kita menggunakan sebuah metode yang namanya kerangka sampel area yang merupakan inovasi yang dilakukan BPPT dan sudah mendapat penghargaan dari LIPI,” kata Kepala BPS, Suhariyanto, di Kantor Wapres Jakarta, Senin (22/10/2018).

Selama tiga tahun terakhir, BPS tidak merilis data proyeksi produksi beras karena data luas lahan dari Kementerian Pertanian dinilai tidak valid untuk menghitung luas panen gabah tersebut. Mulai hari ini BPS melakukan perbaikan metode penghitungan proyeksi produksi beras tersebut bekerja sama dengan Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR), Badan Informasi Geospasial (BIG), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan).

Pembaruan informasi luas lahan bahan baku sawah pada 2018 mencapai 7,1 juta hektar. Angka tersebut mengalami penurunan sekitar 635 ribu hektar.

“Ini akan menjadi dasar penghitungan untuk mengestimasi angka produksi, dan saya simpulkan dengan luas bahan baku sawah 7,1 juta hektar dan menggunakan metode KSA, maka luas panen padi pada 2018 diperkirakan 10,9 juta hektar,” katanya.

Dari hasil luas panen tersebut, produksi padi dalam bentuk GKG diperkirakan sebanyak 56,54 juta ton atau setara dengan 32,42 juta ton beras. Sementara angka konsumsi beras rata-rata per provinsi di 2017 sebesar 117,58 Kg per kapita per tahun atau setara dengan total konsumsi 29,50 juta ton secara nasional.

“Jadi produksi dikurangi konsumsi berarti masih ada surplus 2,85 juta ton. Surplus ini tersebar di 14,1 juta rumah tangga produsen. Sekitar 47 persennya ada stok di penggilingan, ada stok di pedagang dan sebagainya,” kata Kepala BPS. [DAS]