Pemburu Patung Purbakala

Semasa hidupnya, Go menjadi salah seorang anggota Dewan Empu Institut Seni Indonesia, Solo. Ia dikenal juga sebagai kolektor benda-benda cagar budaya—yang telah ia wasiatkan untuk diserahkan kepada negara setelah dirinya wafat.

Benda-benda cagar budaya, yang kebanyakan berupa patung, dicari dan dikumpulkan sendiri oleh Go. Ia mencarinya sampai ke pelosok-pelosok desa terpencil.

Kalau mendapat informasi ada patung atau batu purbakala yang bernilai sejarah di suatu kampung, Go selalu cepat datang ke kampung itu. Padahal, patung atau batu purbakala itu ada yang di tengah sawah, di antara pepohonan bambu, di tengah parit, di bawah jembatan sebagai penyangga, dan ada pula yang dijadikan tumpuan untuk buang hajat.

Menurut Rustopo, kegemaran Go berburu benda purbakala itu muncul sejak ia menemani K.G.P.H. Hadiwijaya (putra Paku Buwana X) mengelola Museum Radyapustaka, pertengahan tahun 1950-an. Ia sangat prihatin melihat potongan-potongan batu patung purbakala yang berserakan di mana-mana seolah benda tak berharga. Ia pun kemudian melakukan perburuan patung dan benda purbakala.

Biasanya, Go dalam perburuannya ditemani sahabatnya, Diarto. Pada masa itu, kegemaran Go tersebut dianggap aneh, tak lazim. Bahkan, ibu Go sendiri menganggap anaknya itu tak waras gara-gara senang mengumpulkan patung dan batu purbakala.

Toh, Go tak menghentikan aktivitasnya. Ia sangat yakin benda-benda tersebut suatu saat akan berharga. Apalagi, Go kemudian juga berhasil merekonstruksi patahan-patahan patung sehingga menghasilkan patung yang tampak relatif utuh. Ada patung Syiwa, Nandi, Kuwera, Durga, Wishnu, Buddha, Bima, Makara, Dwarapala, Brahma, Agastya, Ganesa, dan lain-lain.

Semua patungnya memang memiliki nilai sejarah, selain tampak estetis. Patung Bima, misalnya, adalah patung yang dibuat sekitar abad ke-14 dan asalnya dari Candi Sukuh, Karanganyar, Jawa Tengah.

Go Tik Swan menemukan patung itu dalam kondisinya yang memprihatinkan, tergeletak di tanah dan terbagi menjadi tiga potongan. Padahal, pada zaman Mangkunegara IV, patung Bima itu dibawa ke Solo atas perintah seorang pangeran. Lalu, pada zaman Mangkunegara VII, patung itu menjadi penghias Taman Balekambang milik Istana Mangkunegaran.

Go lalu meminta izin Mangkunegara VIII untuk membawa potongan-potongan patung Bima tersebut. Ia merekonstruksinya sehingga mirip dengan bentuk awalnya.

Tak seperti kolektor benda purbakala lain, Go Tik Swan tak pernah mau menjual koleksinya itu, walaupun dengan harga tinggi. Go memang hanya ingin menyelamatkan benda-benda bersejarah tersebut. Itu sebabnya juga akhirnya semua koleksi patung dan benda purbakalanya kemudian diwasiatkan untuk diserahkan ke negara untuk masyarakat.

Dalam lampiran surat wasiatnya disebutkan daftar 44 patung yang ditemukan dan ia rawat. Acara serah-terima wasiat dilaksanakan pada 11 Agustus 1985 di Dalem Hardjonagaran.

Go juga pernah menjadi Ketua Presidium Yayasan Radyapustaka, yang mengelola Museum Radyapustaka di Solo. Atas jasa-jasanya terhadap kebudayaan Indonesia, khususnya Jawa, pemerintah Republik Indonesia pada tahun 2001 menganugerahkan Tanda Kehormatan Satyalencana Kebudayaan kepada Go Tik Swan atau Panembahan Hardjonagoro. Ia juga mendapat Bintang Srikabadya dari Keraton Surakarta.

Di Karaton Kasunanan Surakartan, Go termasuk pendiri Art Gallery Karaton Surakarta (Museum Karaton) pada tahun 1963. Ia memang abdi dalem di sana.