Nunggak Semi

Cara pandang yang seperti itulah yang kemudian dikatakan Go sebagai filosofi nunggak semi. Istilah itu diambil dari kata tunggak yang berarti ’tonggak’ atau ’tunggul kayu’ dan semi yang berarti ’tumbuh’, ’bersemi’, ’bertunas’. Tonggak diumpamakan sebagai kebudayaan (Jawa) tradisional dan semi merupakan lambang pertumbuhan atau perkembangan kebudayaan tradisional.

Jadi, nunggak semi merupakan suatu konsep pengembangan kebudayaan yang menekankan pentingnya menjaga pengembangan suatu kebudayaan agar tidak menghasilkan pertumbuhan secara liar. Pengembangan itu harus bertumpu pada pokok atau tonggak kebudayaan yang lama (tradisional atau klasik).

”Saya tidak menyatakan bahwa batik kita harus tetap seperti yang kuno. Saya tidak antiperubahan dan kemajuan. Saya hanya mengajak untuk mencari keseimbangan; suatu titik temu yang harmonis dalam proporsi seni dan tekniknya. Ini tidak bisa lain dari suatu karya yang nunggak semi. Mengenal yang lama untuk mencipta yang baru, tidak hanya tekniknya atau lahiriahnya, tetapi sampai ke penghayatannya. Ini tidak bisa dilakukan tanpa menciptakan lingkungan hidup berkebudayaan,” kata Go Tik Swan pada tahun 1984 lampau dalam sebuah kesempatan.

Pada karya-karya batik yang diciptakan Go Tik Swan, pola-pola yang rumit, kecil, dan halus dipertegas, diperkuat, atau kalau perlu agak dirombak, tanpa meninggalkan tunggak-nya. Dan, dari karya-karya batiknya bisa dirasakan cintanya yang menggelora kepada batik, yang bukan merupakan cinta yang membekukan dan kemudian menjadikan batik sekadar warisan kebudayaan lama, yang harus dielus-elus sebelum akhirnya tenggelam diterkam gelombang zaman.

Go Tik Swan mengungkapkan cintanya kepada batik sebagai “cinta yang membebaskan”, yang membuat batik mampu beradaptasi dalam arus deras perubahan zaman tanpa kehilangan kesejatiannya sebagai warisan budaya masa silam, dengan nilai-nilai penting di dalamnya. Inilah yang membuat Go Tik Swan layak diberi gelar Empu Batik.

Di tangannya, batik menjadi semacam hasil dialog yang panjang antara masa silam yang rumit sekaligus elegan dan masa depan yang dipenuhi harapan sekaligus kecemasan. Cermati saja motif batik sawunggaling, rengga puspita, radite puspita, pisan bali, kembang bangah, parang bima kurda, kukila peksa wani, atau kuntul nglayang yang Go ciptakan.

Oleh sebagian pengamat batik, motif sawunggaling—yang menggambarkan pertarungan sepasang ayam jantan—dinilai  sebagai adikarya (masterpiece) Go Tik Swan. Sampai-sampai ada anggapan, seseorang belumlah disebut kolektor batik kalau belum memiliki batik bermotif sawunggaling.

Memang, batik-batik karya Go sampai kini masih menjadi batik kelas premium. Tak banyak orang yang bisa memilikinya, apalagi setelah sang Empu tiada.

Lahir di Desa Kratonan, Serengan, Surakarta-Jawa Tengah pada 11 Mei 1931, Go Tik Swan adalah anak sulung dari empat bersaudara, dari pasangan Go Dhiam Ik dan Tjan Ging Nio. Ayahnya seorang pengusaha di berbagai bidang, termasuk dalam bisnis batik. Ibunya adalah putri dari pasangan Tuan dan Nyonya Tjan Khay Sing, pemilik perusahaan batik yang cukup besar di Kota Solo, yang pusat pembatikannya berada di Kestalan, Limunan, dan di Jalan Kratonan 101.

“Jumlah orang yang bekerja di perusahaan batik mereka tidak kurang dari 1.000 orang,” kata Go Tik Swan dalam buku otobiografinya.

Leluhurnya sebenarnya tak seluruhnya berasal dari daratan Tiongkok, tapi ada juga yang lebih kental darah Jawanya. Mungkin karena itulah, seperti diungkapkan Rustopo, Go Tik Swan sudah menjadi Jawa sejak kecil, karena senantiasa berdialog dengan dan melebur ke dalam nilai, simbol, dan idiom-idiom Jawa.

“Saya tumbuh sebagai anak desa, bergaul dengan ratusan tukang batik yang berasal dari desa,” kata Go, sebagaimana tertera dalam daftar riwayat hidup yang kini dipajang di Dalem Hardjonegaran. Padahal, Go termasuk anak orang kaya dan orang tuanya memiliki relasi dengan banyak pejabat pada masanya.

Dalem Hardjonegaran adalah tempat awal Go merancang dan membuat Batik Indonesia, yang mulai diproduksi tahun 1960. Rumah berarsitektur art deco yang berada di laha seluas 2.030 meter per segi ini terletak di Jalan Yos Sudarso 176, Solo. Rumah utama dari Dalem Hardjonegaran merupakan hasil rancangan Bung Karno!

Di Dalem Hardjonegaran ada juga ruang gamelan, Pendapa Pugeran, bangsal pameran, los pembatikan, kandang derkuku, perpustakaan, hingga besalen tempat membuat keris.