Go Tik Swan atau Panembahan Hardjonagoro

Suluh Indonesia – Go Tik Swan adalah salah seorang legenda dalam kebudayaan Jawa, terutama untuk seni membatik. Dialah orang pertama dari etnis Tionghoa yang memperoleh anugerah derajat tertinggi keraton, karena dedikasi dan kontribusinya yang luar biasa terhadap kebudayaan Jawa.

”Ia bukan orang Tionghoa pertama yang diangkat sebagai abdi dalem karaton, tetapi dialah orang Tionghoa pertama yang memperoleh anugerah derajat tertinggi karaton, yaitu sebagai Panembahan Hardjonagoro,” ungkap Prof. Dr. Rustopo, S.Kar., M.S., dalam buku Jawa Sejati: Otobiografi Go Tik Swan Hardjonagoro (2008).

Sepanjang hidupnya, lanjut Rustopo, pada hakikatnya dilakoni Go Tik Swan atau Panembahan Hardjonagoro untuk pencarian dan pemantapan jatidirinya sebagai Jawa, yang ditakdirkan melekat sejak dilahirkan oleh ibunya. Kendati demikian, namanya bisa dikatakan baru mulai populer di kalangan publik yang lebih luas beberapa tahunmenjelang wafatnya, karena ia tak gemar publikasi. Ia dipanggil menghadap Ilahi pada 5 November 2008 lampau.

Namun, untuk kalangan tertentu, terutama para pemerhati kebudayaan Jawa atau pecinta seni batik, namanya sudah sangat dikenal sejak puluhan tahun lampau. Juga karya-karyanya dan aktivitasnya, meski barangkali belum pernah bertemu langsung dengan Go semasa hidupnya.

Bahkan, Presiden Soekarno sangat mengenal dirinya. Tak mengherankan jika Bung Karno memberi kepercayaan kepada Go Tik Swan untuk membuat Batik Indonesia. Go sendiri menerima kepercayaan yang amat besar dari Putra sang Fajar sebagai suatu penghargaan yang luar biasa sekaligus amanat yang harus dijalankan dengan penuh kesungguhan.

”Terus terang, saya sangat terkejut dengan permintaan itu. Saya tidak pernah membayangkan sebelumnya. Perasaan bingung dan bimbang pun menjadi satu. Namun, karena itu amanat, bagaimanapun dan apa pun yang akan terjadi, saya harus menjalankannya,” tutur Go dalam otobiografinya.

Untuk menunaikan “tugas” tersebut, Go mengaku harus menempuh perjuangan yang melelahkan fisik dan mental, termasuk melakukan ritual nglakoni seperti yang lazimnya dilakukan orang-orang Jawa. Hasilnya: Bung Karno merasa puas dengan karyanya.

Bahkan, Bung Karno juga melegitimasi serta memperkenalkan karya Go itu kepada publik sebagai Batik Indonesia. ”Pada dasarnya, Batik Indonesia yang saya buat adalah hasil perkawinan batik klasik karaton—terutama gaya batik Surakarta dan Yogyakarta—dengan batik gaya pesisir utara Jawa Tengah, terutama Pekalongan,” papar Go.

Lebih lanjut ia menjelaskan, gaya batik klasik keraton Surakarta dan Yogyakarta yang introver dikawinkan dengan gaya batik pesisir utara Jawa Tengah (Pekalongan, Juwana, Lasem) yang ekstrover. Bukan hanya dalam motif, tapi juga dalam teknik pewarnaan.

Warna sogan, yang diwarnai dengan soga, pada batik Surakarta dan Yogyakarta dipadukan dengan teknik pewarnaan multiwarna pada batik pesisir. Lalu, pola-pola perubahan bentuk pada batik Cirebon dan motif-motif tenun Bali kadang ia gunakan juga untuk menyemarakkan perpaduan kedua gaya batik itu.

Itulah Indonesia, menurut tafsir Go. Unsur-unsur yang berbeda dan beragam dapat menjadi indah bila benar-benar bersatu, tanpa harus kehilangan kekhasannya masing-masing.

”Kalau dulu dunia pembatikan Solo hanya kenal latar hitam, latar putih dengan sogan, dan pantai utara seperti Pekalongan hanya kenal kelengan berwarna, batas-batas itu dengan lahirnya Batik Indonesia menjadi terhapus. Namun, nilai-nilai falsafah dalam pola-pola batik masih yang lama,” tutur Go.