Koran Sulindo – Gelombang tinggi yang di Laut Selatan Jawa diperkirakan bakal makin berkurang menyusul menurunnya kecepatan angin di wilayah itu.
Informasi prakiraan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika menyebut gelombang tinggi yang dalam beberapa hari terakhir mencapai 6-7 meter berangsur turun di ketinggian 5 meter.
Sampai semingg ke depan diperkirakan ketinggian gelombang di Laut Selatan akan berkisar antara 2,5-5 meter.
Namun, dengan puncak musim kemarau yang diperkirakan terjadi Juli-Agustus dan kecepatan angin yang berubah setiap hari gelombang besar kemungkinan masih tetap terjadi. Kondisi yang terbilang normal untuk musim kemarau.
Seperti diketahui dalam seminggu terakhir gelombang tinggi menghantam pantai Selatan Jawa dengan ketiangan rata-rata mencapai 5- 7 meter.
Gelombang tinggi itu dipicu meningkatnya kecepatan angin di Laut Selatan Jawa yang disebabkan menguatnya angin dari benua Australia yang melewati pulau Jawa karena perbedaan tekanan udara belahan bumi utara dan selatan.
Di Pantai Rancabuaya, Garut, gelombang tinggi bahkan sempat mencapai wilayah pemukiman warga dan merusak beberapa fasilitas pariwisata seperti saung dan rumah makan.
Tak hanya merugikan sektor pariwisata, gelombang tinggi juga membuat jerih nelayan melaut hingga mereka kehilangan mata pencarian. Beberapa kelompok nelayan bahkan mengaku sudah dua minggu terakhir tidak melaut.
Selain tak sebanding dengan risiko, nekat melaut dalam gelombang tinggi pendapatan nelayan tak bisa menutup biaya operasional. Ikan layur yang menjadi hasil tangkapan mereka berkurang jika cuaca buruk.
Dalam keadaan normal tangkapan yang mencapai 50-70 kilogram per hari menyusut hanya menjadi 5 kg saja. Itu membuat nelayan harus nombok.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, beberapa nelayan terpaksa untuk sementara alih profesi. Beberapa di antaranya dengan menjadi kuli bangunan.
Sama dengan di Jawa Barat, di Yogyakarta kerugian yang ditimbulkan akibat gelombang tinggi jumlahnya mencapai miliaran rupiah.
Hasil observasi lapangan Fakultas Geografi, Universitas Gajah Mada menyebut dampak gelombang tinggi itu tersejadi di sejumlah pantai di Kulonprogo, Bantul, dan Gunungkidul.
Kerusakan parah terjadi di empat pantai Gunungkidul yakni Pantai Somandeng, Pantai Ngandong, Pantai Drini, dan Pantai Sepanjang. Sedikitnya 24 gazebo rusak atau hilang dihantam gelombang. Selain itu lima kapal dan sedikitnya 20 jaring set juga dilaporkan hilang.
Tak hanya merusak fasilitas umum, gelombang tinggi juga merusak vegetasi di sekitar garis pantai seperti yang terjadi di Pantai Goa Cemara, Pantai Baru dan Pantai Trisik.Tingkat kerusakan setiap pantai itu berbeda-beda sesuai sesuai tipe pesisirnya.
Pantai-pantai yang langsung menghadap laut, berpasir dan landai mengalami dampak lebih besar dibanding pantai bertebing, berteluk atau pantai yang memiliki laguna. Sementara pantai dengan tanaman mangrove justru berhasil meredam empasan gelombang.
Dengan karaketristik pantai yang langsung menghadap ke laut, Aris menyebutkan pantai-pantai di Yogyakarta akan selalu berpotensi menerima gelombang tinggi. Bahkan pada 2017 lalu gelombang tinggi sudah menerjang kawasan pesisir selatan Yogyakarta.
Di Cilacap, gelombang tinggi menyebabkan sejumlah titik tanggul penahan gelombang rusak dan berada dalam kondisi kritis. Air laut bahkan sempat melimpas ke permukiman.
Kondisi lebih parah terjadi di pantai-pantai di wilayah Cilacap timur yang menyebabkan daerah wisata di Pantai Cemara Sewu dan Pantai Sidayu dan Binangun rusak.
Di tempat ini air laut bahkan melimpas ke kolam renang dan merusak struktur bangunan. Sebuah kapal tuna bermuatan juga tenggelam dan terbalik akibat hantaman gelombang tinggi. [TGU]