Percakapan dengan ELIZA. (Wikipedia)

Kini kita hidup di tengah derasnya arus digitalisasi, dimana teknologi tak lagi hadir sebagai alat yang dingin dan mekanis. Ia tumbuh menjadi teman baru yang diam-diam menyusup dalam keseharian kita seperti menjawab pertanyaan, membantu menyusun jadwal, bahkan menjadi teman diskusi saat kita buntu ide. Inilah era di mana asisten virtual, yang dulunya hanya khayalan fiksi ilmiah, kini menjadi nyata dan dekat, nyaris tak terpisahkan dari kehidupan modern. Melalui artikel ini, kita akan menelusuri sejarah asisten virtual dari masa ke masa yang telah dirangkum dari berbagai sumber.

Awal Mula Asisten Virtual

Sebelum kehadiran asisten virtual modern seperti Siri, Google Assistant, Alexa, dan ChatGPT, dunia lebih dulu menyaksikan langkah kecil dari ELIZA sebuah chatbot yang dirancang pada 1960-an oleh Joseph Weizenbaum. ELIZA meniru percakapan seorang terapis dan meskipun sangat terbatas, kehadirannya menandai dimulainya eksplorasi manusia terhadap mesin yang bisa “berinteraksi”.

Seiring waktu, teknologi pemrosesan bahasa alami (NLP) dan kecerdasan buatan berkembang pesat. Inovasi-inovasi ini menjadi fondasi bagi munculnya asisten virtual yang mampu memahami dan merespons perintah manusia dalam bentuk percakapan yang semakin alami.

Siri

Siri bukanlah buah ciptaan Apple dari awal. Siri Inc., startup yang mengembangkan teknologi ini, adalah hasil spin-off dari proyek riset kecerdasan buatan CALO (Cognitive Assistant that Learns and Organizes), yang didanai oleh DARPA, lembaga riset milik Departemen Pertahanan Amerika Serikat sejak tahun 2003. Tujuan proyek ini adalah menciptakan sistem cerdas yang dapat memahami, belajar, dan membantu manusia dalam tugas sehari-hari.

Pada Februari 2010, Siri Inc. meluncurkan aplikasi Siri untuk iPhone. Aplikasi ini memungkinkan pengguna menggunakan perintah suara alami untuk menjalankan berbagai tugas, mulai dari memesan taksi hingga mencari informasi di internet. Inovasi ini menjadi sorotan karena kemampuannya memberikan pengalaman berinteraksi yang lebih intuitif dibandingkan dengan teknologi sebelumnya.

Melihat potensi besar dari Siri, Apple mengakuisisi Siri Inc. pada 28 April 2010. Aplikasi Siri kemudian ditarik dari App Store untuk diintegrasikan secara mendalam ke dalam ekosistem iOS. Pada 4 Oktober 2011, Siri diperkenalkan secara resmi sebagai fitur utama pada iPhone 4S. Peluncuran ini menandai tonggak sejarah penting dalam dunia teknologi karena Siri menjadi asisten virtual pertama yang memungkinkan interaksi percakapan alami langsung dari sebuah perangkat mobile.

Sejak saat itu, Siri terus dikembangkan, dilengkapi dengan fitur baru, bahasa tambahan, dan integrasi lebih luas di berbagai perangkat Apple seperti iPad, Mac, Apple Watch, dan HomePod.

Google Assistant

Di saat Siri mendapat perhatian luas dari pengguna iPhone, Google tidak tinggal diam. Pada 18 Mei 2016, dalam ajang Google I/O, Google memperkenalkan Google Assistant sebagai bagian dari evolusi Google Now. Tidak seperti pendahulunya yang hanya memberikan informasi satu arah, Google Assistant dirancang untuk dapat melakukan percakapan dua arah dan memberikan pengalaman interaktif yang lebih alami.

Google Assistant pertama kali hadir di aplikasi pesan Google Allo dan perangkat speaker pintar Google Home (sekarang dikenal sebagai Google Nest). Awalnya, layanan ini hanya tersedia secara eksklusif pada ponsel Google Pixel dan Pixel XL, tetapi pada Februari 2017 Google mulai memperluas jangkauan asisten ini ke hampir semua perangkat Android versi Marshmallow ke atas, dan kemudian hadir juga sebagai aplikasi mandiri di iOS pada Mei 2017.

Yang membedakan Google Assistant adalah kemampuannya dalam menyinkronkan informasi lintas aplikasi dan perangkat. Google memanfaatkan data pengguna (dengan izin) untuk memberikan jawaban yang kontekstual dan personal. Selain itu, Google Assistant juga mendukung banyak bahasa termasuk bahasa Indonesia dan telah diintegrasikan ke berbagai perangkat pintar: dari smartphone, jam tangan pintar, speaker pintar, layar pintar, hingga sistem infotainment otomotif.

Alexa

Amazon, yang lebih dikenal sebagai raksasa e-commerce, membuat langkah besar di dunia asisten virtual melalui Alexa. Pada akhir 2014, Amazon memperkenalkan Alexa bersama dengan peluncuran perangkat Amazon Echo. Namun, ide di balik Alexa sudah tumbuh sejak tahun 2011, ketika Jeff Bezos menginginkan perangkat rumah pintar yang sepenuhnya dikendalikan melalui suara.

Untuk mendukung ambisinya, Amazon mengakuisisi Ivona, sebuah perusahaan teknologi suara asal Polandia, pada tahun 2013. Teknologi pengenalan suara dan sintesis suara dari Ivona menjadi pondasi utama pengembangan Alexa.

Sebelum peluncuran resmi, Amazon melakukan pengumpulan data besar-besaran untuk melatih Alexa agar mampu memahami dan menanggapi berbagai jenis perintah suara secara alami. Alexa sendiri terinspirasi dari sistem komputer berbicara di serial fiksi ilmiah Star Trek, dan ambisinya adalah menciptakan pengalaman pengguna yang benar-benar futuristik.

Setelah peluncurannya, Alexa dengan cepat menjadi populer, terutama karena Amazon terus mengembangkan “skills” atau kemampuan tambahan yang memungkinkan Alexa melakukan berbagai tugas, dari memesan makanan hingga mengontrol lampu rumah. Alexa juga terintegrasi ke dalam ekosistem perangkat rumah pintar, menjadikannya salah satu asisten virtual paling berpengaruh saat ini.

Menariknya, popularitas Alexa bahkan memengaruhi tren penamaan bayi di Amerika Serikat, di mana terjadi penurunan tajam penggunaan nama “Alexa” sejak asisten ini diperkenalkan.

ChatGPT

Berbeda dari tiga nama sebelumnya, ChatGPT tidak lahir dari pengembangan perangkat, tetapi dari riset mendalam dalam bidang model bahasa. ChatGPT dikembangkan oleh OpenAI, sebuah perusahaan riset AI yang berbasis di San Francisco dan didirikan pada Desember 2015 oleh tokoh-tokoh seperti Sam Altman, Elon Musk, Greg Brockman, dan Ilya Sutskever.

Dengan misi menjadikan kecerdasan buatan aman dan bermanfaat bagi seluruh umat manusia, OpenAI memulai proyek GPT (Generative Pre-trained Transformer):

GPT-1 (2018) hadir dengan 117 juta parameter, menjadi batu loncatan pertama.

GPT-2 (2019) memperbesar skala dan kapabilitas, namun sempat ditahan perilisannya karena kekhawatiran penyalahgunaan.

GPT-3 (2020) menjadi lompatan besar dengan 175 miliar parameter, memungkinkan AI menghasilkan teks yang hampir tak terbedakan dari tulisan manusia.

GPT-4 (2023) membawa peningkatan signifikan dalam akurasi, efisiensi, dan kemampuan multimodal memahami teks, gambar, bahkan suara.

GPT-5 (2025) semakin menyempurnakan kemampuan ChatGPT sebagai asisten virtual adaptif yang dapat memahami konteks percakapan dengan lebih dalam dan personal.

ChatGPT resmi diluncurkan pada 30 November 2022, menggunakan GPT-3.5, dan segera menjadi fenomena global. Dalam waktu satu bulan, ChatGPT mencapai lebih dari 100 juta pengguna, menjadikannya aplikasi konsumen dengan pertumbuhan tercepat dalam sejarah.

Kemampuannya luar biasa seperti menulis cerita, skrip konten, membantu pemrograman, menerjemahkan, menjelaskan konsep rumit, menjadi teman diskusi, hingga menciptakan gambar ilustrasi berdasarkan deskripsi pengguna. ChatGPT juga telah diintegrasikan ke dalam produk Microsoft 365 seperti Word, Excel, Outlook, serta mesin pencari Bing, menjadikannya mitra digital di berbagai lini kehidupan mulai dari pendidikan, bisnis, hingga layanan pelanggan.

Lebih dari Sekadar Alat Bantu

Hari ini, asisten virtual bukan lagi sebatas pelengkap aplikasi atau gimmick teknologi. Mereka hadir di dunia kerja, pendidikan, hingga kesehatan mental. Di ruang kerja, AI digunakan untuk menyusun jadwal, menganalisis data, dan membuat laporan. Di ruang kelas, siswa menggunakan asisten untuk memahami pelajaran dan belajar mandiri. Di ranah psikologi, chatbot empatik menjadi teman bicara bagi mereka yang kesepian atau terisolasi.

Penulis, jurnalis, pengembang konten, bahkan pekerja kreatif kini mulai merangkul teknologi ini sebagai bagian dari alur kerja mereka. Peran asisten virtual telah bergeser dari alat bantu menjadi kolaborator digital.

Kemanusiaan Tetap Jadi Inti

Meski kecerdasan buatan terlihat canggih, ia bukan makhluk mandiri. Di balik sistem algoritma dan antarmuka canggih, terdapat kerja keras manusia, peneliti, insinyur, ahli bahasa, dan penulis yang membangun model, melatih data, dan merancang pengalaman pengguna.

Kecanggihan teknologi ini adalah pantulan dari kemanusiaan itu sendiri. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk tetap menggunakan asisten virtual secara etis, bijaksana, dan bertanggung jawab. Ketergantungan berlebihan justru dapat mengikis empati, kreativitas, dan kemampuan berpikir kritis.

Masa depan asisten virtual tampak menjanjikan, mereka akan semakin personal, intuitif, dan proaktif. Namun pertanyaan besarnya tetap relevan. Sejauh mana kita akan membiarkan teknologi mengarahkan hidup kita? Apakah kita akan tetap menjadi tuan, atau berubah menjadi pengikut?

Asisten Virtual bukan sekadar kemajuan teknologi, melainkan ajakan untuk berefleksi. Bahwa di tengah laju inovasi yang luar biasa, peran manusia tetaplah yang utama. Teknologi bisa membantu, bahkan mungkin menyentuh perasaan. Tapi ia tetaplah cermin dan kendali atas arah hidup kita, tetap berada di tangan kita sendiri. Meskipun begitu, sebagai manusia yang mengendalikan, sebaiknya teknologi seperti AI digunakan secara bijaksana, bukan untuk dipakai hal negatif tapi untuk hal positif. [UN]