ESDM: Soal Freeport, 3 Poin Ini Tidak Bisa Dinegosiasikan

Ilustrasi: Freeport/Wikimedia.org

Koran Sulindo – Staf Khusus bidang Komunikasi Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Hadi M. Djuraid membantah pemerintah melunak dalam persoalan dengan PT Freeport Indonesia (FI).

Menurut Hadi, sikap Kementerian ESDM adalah menggunakan perundingan untuk memastikan Freeport Indonesia mengubah Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Operasi Produksi, membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter), dan divestasi saham hingga 51%.

“Tiga poin tersebut tidak bisa ditawar dan dinegosiasi. Yang bisa dirundingkan adalah bagaimana implementasinya,” kata Hadi, melalui rilis pers, Kamis (6/4).

Kemen ESDM dan Freeport Indonesia) sepakat membagi perundingan dalam 2 tahap, yaitu perundingan jangka pendek dan jangka panjang. Jangka waktu perundingan 6 bulan, terhitung sejak Februari 2017.

Fokus perundingan jangka pendek adalah perubahan dari KK menjadi IUPK.

“Perubahan KK menjadi IUPK menjadi prioritas karena akan menjadi dasar bagi perundingan tahap berikutnya. Di samping itu, IUPK memungkinkan operasi Freeport Indonesia di Timika, Papua, kembali normal sehingga tidak timbul ekses ekonomi dan sosial berkepanjangan bagi masyarakat Timika khususnya dan Papua umumnya,” katanya.

Setelah 4 pekan berunding, PT FI sepakat menerima IUPK. Meski demikian FI meminta perpanjangan waktu perundingan dari 6 bulan menjadi 8 bulan.

“Kementerian ESDM menyepakati permintaan tersebut, sehingga waktu tersisa terhitung sejak April ini adalah 6 bulan,” katanya.

Dalam waktu 6 bulan itu pokok bahasan stabilitas investasi yang dituntut FI sebagai syarat menerima IUPK, kelangsungan operasi FI, dan divestasi saham 51% bisa disepakati.

Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor  1 Tahun 2017, pemegang IUPK bisa  mengajukan rekomendasi ekspor konsentrat untuk 6 bulan, dengan syarat menyampaikan komitmen pembangunan smelter dalam 5 tahun, membayar bea keluar yang ditetapkan Menteri Keuangan, dan divestasi saham hingga 51%.

“Ketentuan tersebut berlaku untuk semua pemegang IUPK, tanpa kecuali. Prosedur ini telah ditempuh pemegang KK lainnya yang telah beralih ke IUPK, yaitu PT Amman Mineral Nusa Tenggara (d/h Newmont),” kata Hadi.

Menurut Hadi, landasan operasi Freeport 6 bulan ke depan adalah IUPK.

Perundingan tahap kedua akan dimulai pekan kedua April. Dengan status IUPK, maka perundingan melibatkan Kemenkeu, BKPM, Kemendagri, Pemrov Papua -termasuk di dalamnya Pemerintah Kabupaten Timika dan wakil masyarakat adat di Timika.

Jika perundingan jangka panjang tersebut gagal, Freeport bisa kembali ke KK dengan konsekwensi tidak bisa melakukan ekspor konsentrat.

Latar Belakang

Dalam aturan baru pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara (minerba), pemegang KK diperbolehkan ekspor konsentrat bila mengganti statusnya menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK). Lalu 2 syarat lagi yang harus dipenuhi, yakni membangun smelter dalam waktu 5 tahun dan bersedia divestasi 51 persen sahamnya.

Tiga poin yang tidak bisa dinegoisasikan di atas berdasar Peraturan Pemerintah (PP) No 1 Tahun 2017 serta dua aturan turunannya berupa Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Meski begitu, diakui Kementerian ESDM, ada faktor lain yang membuat Freeport bersedia menyanggupi syarat-syarat yang diberikan pemerintah.

Kemen ESDM juga menggunakan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba, sebagai payung hukum. Kemen ESDM menyebutkan Freeport sudah menyampaikan komitmen tertulisnya menyetujui berbagai syarat yang diberikan pemerintah. [DAS]