Koran Sulindo –  Ada dua hal yang menyebabkan terorisme semakin berkembang. Pertama adanya pemikiran tentang teologi maut. Kedua, adanya kesenjangan sosial.

“Mereka berpikiran bahwa lebih baik mati karena untuk hidup tidak ada harapan akibat dari kondisi masyarakat yang tidak sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Ini disebut dengan pemikiran teologi maut. Selain itu kerapuhan yang dialami Indonesia saat ini, banyaknya kesenjangan sosial. Jika perekonomian Indonesia melemah akan memacu para kelompok terorisme untuk melawan pemerintahan,” kata Prof Dr Syafi’i Maarif saat dialog pencegahan paham radikal terorisme dan ISIS bersama Muhammadiyah Yogya dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), pekan lalu, di Yogya.

Sementara itu, Sekretaris PP Muhammadiyah Dr H. Abdul Mu’ti, Med, yang tampil pula sebagai pembicara, menyatakan kemunculan dan berkembangnya kelompok terorisme akibat dari pemahaman agama yang sempit serta berpikir bahwa agama pada posisi terancam. “Terdapat tiga aspek dari pemikir radikal. Pertama: kecenderungan pemahaman agama yang terbuka. Penafsiran agama yang hanya dari pemahaman sempit dari teks-teks agama. Kedua: adanya pengaruh lingkungan serta munculnya mimpi- mimpi untuk membersihkan kerusakan moral lingkungan dengan pemurnian akidah,” tuturnya.

Dalam kesempatan itu Buya Syafi;i mengingatkan, jaringan terorisme sekarang ini dalam memasukkan paham radikalismenya tertuju kepada anak-anak muda. Menurut Buya, itu cukup beralasan mengingat anak muda mudah dicuci otaknya. Kondisi inilah yang menurut Buya  memberikan kemudahan kelompok terorisme untuk meregenerasi kelompoknya. “Namun kemudahan itu sebenarnya tidak terlepas dari pemahaman agama generasi muda yang minim,” ungkap Buya.

Ditambahkan Mayjen TNI Abdul Rahman Kadir selaku Deputi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), para terorisme dalam melakukan aksi-aksinya juga memanfaatkan dunia maya. Abdul Rahman menyatakan, para teroris ini sangat pandai memanfaatkan dunia maya untuk mendapatkan anggota. “Isi website diselingi tulisan-tulisan yang mengacu pada konten-konten radikal. Apalagi, saat ini, masyarakat yang ingin tahu tentang agama lebih memilih untuk mencari via internet tanpa konfirmasi ulang kepada ulama maupun ustaz. Kondisi inilah yang digunakan kaum radikal guna merekrut anggota,” tutur Mayjen Abdul Rahman.

Menurut dia, dinamika terorisme di Indonesia selalu mengalami perubahan pola yang dinamis, baik dalam modus, pola propaganda, rekruitmen, maupun jaringannya. Hal yang paling berbahaya adalah paham dan ideologinya, yang mampu mengubah pandangan dan pola pikir masyarakat. “Dan itu dilakukan melalui sosial media internet,” katanya.

Mengingat aksi terorisme telah menjadi sebuah fenomena global yang termasuk ke dalam kategori kejahatan luar biasa atau extraordinary crime, dan tidak dibenarkan ajaran Islam, Muhammadiyah menolak tegas aksi-aksi terorisme. Untuk menanggulangi tersebarnya paham radikalisme oleh kelompok teroris, kata Mu’ti, 1.000 warga Muhammadiyah dari berbagai latar belakang—baik tokoh agama, akademisi, pemuda, pelajar, guru, maupun latar belakang lainnya—diharapkan menjadi kekuatan dan modal besar untuk melawan aksi terorisme dan sekaligus membendung paham yang dapat menjerumukan masyarakat pada aksi kekerasan dan terror. Untuk itulah Muhammadiyah menggandeng BNPT untuk bersama-sama mencegah aksi terorisme dan melindungi generasi muda sebagai generasi emas bangsa.

Selain itu, dalam acara dialog bersama ini juga diadakan “Deklarasi Damai dan Penandatanganan KomitmenBersama Pencegahan Paham Radikal Terorisme dan ISIS bersama Muhammadiyah di DIY” oleh Deputi BNPT, Perwakilan Gubernur DIY, Kapolda DIY, Danrem 072 Pamungkas. [YUK]