Sejak awal abad 17, Banten sudah termasyhur di manca-negara. Dibawah pemerintahan Sultan Ageng (berkuasa 1651-1683), Kesultanan Banten mencapai masa keemasannya. Pelabuhannya menjadi pusat perdagangan internasional yang penting di Nusantara.

Sebaliknya, kapal-kapal Kesultanan Banten berlayar ke berbagai penjuru Nusantara dan dunia sebagai kekuatan dagang. Satu-satunya musuh utama Kesultanan Banten di masa itu adalah Belanda (VOC). Kedua kekuatan ini berperang pada 1619 dan 1633-1639.

Selain itu, Sultan Ageng juga mengukuhkan Banten sebagai salah satu pusat Islam di Nusantara. Penasehat utama Sultan Banten dalam urusan keislaman adalah Syekh Muhammad Yusuf al-Maqassari (1627-1699), salah seorang ulama terkemuka di masa itu.

Keberadaan al-Maqassari—sebagai ulama yang memiliki jaringan ulama internasional— segera menjadi penting. Hanya dalam waktu singkat al-Maqassari telah masuk dalam jajaran elit Kesultanan Banten. Ia menduduki salah satu jabatan tertinggi di kalangan elite istana, dan menjadi anggota Dewan Penasehat Sultan yang paling berpengaruh. Al-Maqassari memainkan peranan penting bukan hanya dalam masalah-masalah keagamaan, tapi juga dalam masalah-masalah politik.

Tapi, menyusul kekalahan Sultan Ageng Tirtayasa dalam perang  melawan anaknya sendiri, Sultan  Haji, yang dibantu VOC, kejayaan Banten meredup. Setelah era Syaikh Yusuf al Maqasari, Banten cukup lama tidak melahirkan lagi ulama-ulama yang termashyur di pentas dunia.

Barulah di awal abad 19, tampil ulama-ulama yang namanya mendunia. Yang pantas disebut antara lain, dua ulama yang berasal dari Desa Tanara, Banten: Syaikh Nawawi al Bantani dan Syaikh Abdul Karim al Bantani.

Menurut Kiai Haji Ma’ruf Amin, kedua ulama besar itu masih terkait hubungan kerabat. Kiai Ma’ruf sendiri – yang  kini menjadi calon wakil presiden RI yang berpasangan dengan Presiden Joko Widodo—adalah cicit dari Syaikh Nawawi al Bantani.

Di paruh kedua abad 19, salah satu tokoh yang berperan penting dalam perkembangan komunitas Jawi di Mekah itu adalah Syaikh Nawawi al-Bantani(1813-1897). Syaikh Nawawi al-Bantani lahir di Tanara, sebuah desa di Banten, tahun 1813. Ia diasuh kedua orangtuanya dalam pendidkan Islam yang taat.

Terutama dari ayahnya, Umar bin Arabi –seorang penghulu yang masih keturunan Sultan Maulana Hassanuddin, yang termasyhur di abad 17- Nawawi memperoleh dasar-dasar ilmu keislaman yang mumpuni.

Sebagaimana tradisi santri, Nawawi muda juga belajar berkeliling kepada ulama-ulama terkemuka setempat. Sejak muda, ia memang haus akan ilmu keislaman. Untuk memenuhi dahaga akan ilmu itu, di usia 15 tahun, Nawai melakukan ibadah haji dan menuntut ilmu ke Hijaz.

Di sana ia berguru pada ulama-ulama besar di Makkah dan Madinah.

Tiga tahun kemudian, ia pulang kampung ke halamannya. Dan berbekal ilmu keislaman yang diperoleh di Hijaz, Syaikh Nawawi mengabdikan diri mengajar para santri di tanah kelahirannya.

Syaikh Nawawi al-Bantani kembali menetap di Mekah pada tahun 1855, hingga akhir hayatnya (di tahun 1897). Ia menjadi salah seorang ulama Jawi yang paling terkenal di Haramain. Kali ini, ia belajar kepada sejumlah ulama terkenal di Haramain dan Mesir. Diantaranya: Syekh Ahmad Nahrawi, Syaikh Sayyid Ahmad Al-Dimyati, Syaikh Sayyid Ahmad Dahlan, Syekh Abdul Hamid al-Digitstani. Sehingga pemikirannya juga banyak dipengaruhi ulama-ulama Mesir. Di Madinah ia belajar kepada Syaikh Muhammad Khatib Al-Hambali, ia juga belajar kepada sejumlah ulama Syiria.

Beliau juga belajar kepada ulama Nusantara yang mukim di Mekah, antara lain: Syaikh Ahmad Khatib Sambas dan Syaikh Abdul Ghani Bima. Kemudian antara tahun 1860-1870, Syekh Nawawi mengajar di Masjidil Haram, sambal dalam waktu senggang menulis buku-buku. Baru, setelah tahun 1870 ia memusatkan aktifitasnya untuk menulis kitab-kitab berbagai ilmu keislaman.

Kemasyhuran Syaikh Nawawi al-Bantani meluas di seluruh dunia Arab. Karya-karyanya banyak beredar tertutama di negara-negara yang menganut paham syafi’iyyah. Kitab tafsirnya Marah al-Labid yang terbit di Kairo sangat terkenal dan diakui ketinggian mutunya karena memuat persoalan-persoalan penting hasil diskusi perdebatannya dengan ulama-ulama Al- Azhar. Pada kitab tafsir cetakan Kairo itu dipajang julukan namanya” Sayyid Ulama Hijaz”.

Ketika kitab tafsir ini dicetak pada tahun 1887, tafsir ini masih diajarkannya lansung kepada murid-muridnya, yang kelak menjadi ulama-ulama terkemuka di Nusantara, seperti: KH Hasyim Asy’ari (pendiri NU), KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) KH. Khalil Bangkalan (Madura), KH Mahfud Tremes, Syaikh Sulaiman ar Rasuli (pendiri Pertimbangan), dan KH Asnawi dari Caringin.

Dalam pengantarnya Nawawi mengatakan bahwa ia butuh waktu lama membangun keberanian untuk menulis tafsir ini sekalipun dorongan yang bertubi-tubi datang dari berbagai pihak. Ia khawatir terjerumus pada ancaman Nabi yang mengatakan: “barang siapa berbicara tentang Al-Qur’an dengan ra’yunya, maka silahkan mengambil tempat di neraka”. Setelah berhasil membangun keberanian, Syaikh Nawawi akhirnya memutuskan untuk menulis tafsir ini. Ia menyebutnya sebagai upaya meneladani para ulama’ salaf yang senantiasa  menulis dan membukukan pemikiran-pemikirannya.

Menurut Johns, Syekh Nawawi menggunakan metode tafsir tradisional yang banyak memakai hubungan (munasabat) ayat dengan ayat atau surat dengan surat yang terdapat dalam Alqur’an. Marah Labid diakui memberikan kontribusi kepada kekayaan intelektual di dunia Islam.

Berkaitan dengan tradisi pesantren di Nusantara, Nawawi memilki kedudukan istimewa dalam kaitan perkembangan intelektual dan produksi ulama. Kitab-kitabnya sangat terkenal dan menjadi sumber bagi pembentukan diskursus Islam berbasis pesantren. Beberapa diantaranya masih menjadi bahan penting bagi pengajaran di pesantren.

Banyak kitab yang telah ditulis oleh Syeikh Nawawi al-Bantani. Sebagian kitab tersebut berisi pembahasan lepas yakni tidak terkait dengan kitab-kitab lain, namun sebagian lainnya adalah kitab sebagai syarah dari kitab-kitab yang telah ada sebelumnya. Kitab-kitab hasil karangan Syeikh Nawawi al-Bantani jangkauan pembahasannya meliputi ilmu tauhid, fikih, tasawuf, hadits, nahwu, sharaf, fadhailul a’mal dan sebagainya.

Terdapat perbedaan pendapat dari para peneliti tentang jumlah kitab yang telah ditulis oleh Syeikh Nawawi. Di antaranya adalah pendapat J.A Sarkis, sarjana orientalis Belanda, yang mengatakan bahwa Syaikh Nawawi telah menulis kitab sebanyak 39 kitab. Sedangkan pendapat Prof. KH. Saifuddin Zuhri dan KH Abdurrahman Wahid mengatakan bahwa Syaikh Nawawi telah menulis lebih dari 100 buah kitab besar maupun kecil. Beliau merupakan salah satu ulama besar Nusantara yang kitabnya telah menjadi rujukan bagi instansi-instansi ternama dunia, seperti Universitas al-Azhar dan beberapa pesantren di Nusantara.

Ulama asal Tanara lain yang juga termashyur adalah Syaikh Abdul Karim al Bantani (lahir di Tanara, tahun 1830). Sejak muda tokoh ini bermukim di Mekah, dan belajar kepada Syaikh Ahmad Khatib Sambas– mursyid Tarekat Naqsyabandiyah Qadiriyah di Mekah, yang memiliki pengikut dari segala penjuru dunia.

Karena ketekunan dan kecerdasannya, Abdul Karim kemudian menjadi murid kesayangan Syaikh Ahmad Khatib Sambas. Setelah tuntas belajar, Abdul Karim diberi tugas oleh sang guru menjadi khalifah tarekat di Singapura. Beberapa tahun kemudian, 1872, ia pulang ke Tanara.

Di tanah kelahirannya itu, Syaikh Abdul Karim lantas mendirikan pesantren. Dalam waktu singkat, ia berhasil menarik banyak santri dan pengikut. Tak hanya kalangan rakyat biasa, para pamong praja– termasuk Bupati Serang– menjadi pendukungnya.

Di kalangan rakyat Banten masa itu ia digelari Kiai Agung, karena kedalaman ilmu serta kharismanya. Ceramah-ceramahnya selalu dihadiri ribuan orang. Selain menarik, ceramahnya juga berhasil membangkitkan kehidupan Islam di tanah Banten.

Bersamaan dengan itu, sudah berkembang ketidakpuasan di kalangan rakyat terhadap pemerintah kolonial Hindia-Belanda. Para ulama Banten secara bertahap menggalakkan semangat rakyat untuk melawan pemerintah kolonial. Tapi, Syaikh Abdul Karim sendiri menilai belum tiba saatnya rakyat Banten melakukan perlawanan, karena mereka belum sepenuhnya siap.

Ditengah situasi itu, di tahun 1876, ia mendapat panggilan dari gurunya agar segera ke Mekah. Sang guru, Syaikh Ahmad Khatib Sambas sedang sakit keras. Memang tak lama Abdul Karim tiba di Mekah, sang guru wafat. Atas restu sang guru, ia diangkat menggantikan posisi gurunya itu sebagai Imam Tarekat Naqsyabandiyah Qadiriyah.

Snouck Hurgronje yang pernah beberapa kali menghadiri pengajian Syaikh Abdul Karim di Mekah, sekitar tahun 1884-1885, mengisahkan: “Setiap malam ratusan orang yang mencari pahala berduyun-duyun datang ke kediamannya, untuk belajar zikir, untuk mencium tangannya. Ada pula yang menanyakan berapa lama lagi pemerintahan kafir masih akan berkuasa di Hindia Belanda? Kapan saatnya tiba untuk melawan pemerintah kafir itu….”

Jawaban Syaikh Abdul Karim selalu mengisyaratkan bahwa belum tiba saatnya untuk melancarkan perang Sabil. Begitupun, dua belas tahun setelah keberangkatannya, 1888, pecah perlawanan massif yang kemudian dikenal sebagai “Pemberontakan Petani Banten”. Perlawanan itu digerakkan para ulama radikal Banten. Diantara ulama tersebut adalah para murid Syaikh Abdul Karim, seperti: Kiai Asnawi, Kiai Tubagus Ismail, Haji Wasid, dan Haji Mardjuki.

Sejarawan Sartono Kartodirdjo, dalam bukunya yang terkenal “Pemberontakan Petani Banten 1888”, menilai gerakan kebangkitan kembali yang dipimpin Syekh Abdul Karim memang memperlihatkan sikap yang keras dalam soal-soal keagamaan. Tetapi ia bukanlah seorang revolusioner yang radikal.

“Prof Sartono menyebut gerakan ini dengan sebutan religious revival, tapi saya lebih cenderung menyebut dengan istilah Islam revival,” kata Kiai Ma’ruf Amin. [Imran Hasibuan]