Koran Sulindo – Di tengah pandemi COVID-19, Didi Kempot, penyanyi campursari asal Surakarta menorehkan prestasi.
Dalam acara Konser Amal Dari Rumah yang ditayangkan Kompas TV, minggu lalu, Didi berhasil mengumpulkan dana lebih dari Rp 5 miliar dengan bernyanyi selama tiga jam. Angka ini pun terus bertambah.
Kesuksesan konser musisi senior yang memiliki nama asli Dionisius Prasetyo merupakan bagian dari bentuk solidaritas para seniman dalam masa pandemi ini. Beberapa musikus baik di dalam maupun luar negeri mengadakan konser virtual menggalang dana untuk penanganan COVID-19.
Sejauh ini, konser virtual Didi adalah yang paling sukses di Indonesia. Dalam dua jam saja, Didi bisa mengumpulkan uang hingga Rp 4 miliar.
Aksi amal berbasis budaya ini berhasil karena kuatnya dukungan para penggemar. Setidaknya itu yang terjadi pada Didi. Didi yang sempat tenar pada awal 2000-an dengan lagu hits Stasiun Balapan dan Sewu Kutho kembali naik daun. Penggemar musiknya tidak hanya orang tua tapi juga generasi milenial. Setelah klip konsernya viral di media sosial, basis penggemar Didi semakin berkembang.
Jika penggemar grup musik asal Korea Selatan BTS menyebut diri mereka Army, maka penggemar Didi dari lintas generasi menyatakan dengan bangga mereka adalah bagian dari Sobat Ambyar, Sadbois/Sadgerls, atau Kempoters.
Sebagai pengajar kajian media dan pengamat budaya populer, saya melihat keberhasilan Didi dalam menyihir kembali publik Indonesia di era sekarang menjadi faktor utama yang mendorong kesuksesan konser amal virtualnya.
Ada empat alasan mengapa musik Didi kembali digandrungi banyak orang:
Usung Tema Populer tentang Cinta dan Patah Hati
Jatuh cinta dan nelangsa adalah kisah abadi manusia yang tidak pernah lekang tergerus zaman dan Didi selalu mengeksploitasi tema itu dalam lagu-lagunya.
Pada era saat ini, lagu-lagu Didi kembali menemukan pasarnya karena sangat dekat dengan realitas percintaan yang dihadapi anak-anak muda. Fenomena “ambyar” (perasaan membuncah atau hancur berkeping-keping) seperti galau, cinta bertepuk sebelah tangan, diselingkuhi pasangan, teringat mantan, ketidakpastian menjalani hubungan, rindu tak berkesudahan menjadi tema yang sukses mengaduk-aduk perasaan penggemarnya. Tak heran banyak penggemarnya saat ini menyematkan julukan the Godfather of Brokenheart pada Didi.
Kesuksesan Didi karena dirinya berhasil mengomodifikasi tema patah hati menjadi produk budaya populer.
Komodifikasi adalah transformasi barang, jasa, gagasan, termasuk karya seni menjadi komoditas. Antropolog India-Amerika Arjun Appadurai dan profesor sosiologi dari Queen’s University, Canada Vincent Mosco menjelaskan proses komodifikasi berlangsung ketika sebuah objek ditukar kegunaannya sehingga memiliki nilai ekonomi.
Untuk musik Didi, komodifikasi yang terjadi tidak hanya untuk meraih laba tapi juga melestarikan budaya. Hampir seluruh lagu Didi berbahasa Jawa dan musiknya bisa menjadi alat untuk melestarikan bahasa daerah yang mulai luntur di kalangan generasi muda.
Teknologi juga punya peran dalam proses komodifikasi musik Didi. Jika dahulu lagu-lagu Didi hanya dijajakan melalui kaset dan CD, konser-konser, lalu di radio-radio dan televisi lokal, sekarang lagu-lagunya bisa didengar di Spotify, iTunes/Apple Music, dan YouTube.
Kedekatan Geografis dan Psikologis
Kedekatan dengan penggemarnya baik yang bersifat lokasi maupun emosional juga menjadi daya tarik bagi karya-karya Didi.
Keterampilannya mengolah tengaran (landmark) sebagai latar kisah melankolis melahirkan lagu seperti Stasiun Balapan, Parangtritis, Pantai Klayar, atau Tanjung Mas.
Semuanya merepresentasikan tempat-tempat dan fasilitas umum yang sering ditemui dalam keseharian masyarakat Indonesia, terutama di Jawa, dengan bumbu tidak jauh seputar kegalauan dan kenangan indah bersama orang yang dikasihi.
Didi pun menyadari kuatnya kedekatan sebagai strategi untuk menjaga ingatan sekaligus ikatan dengan penggemarnya di luar Indonesia. Lihatlah bagaimana ia menciptakan lagu Kangen Nickerie yang menceritakan suatu distrik di Suriname atau Joget Sikep, lagu tentang syahdunya menari berangkul-rangkulan sebagaimana terinspirasi dari budaya Suriname dan Belanda.
Kembalinya Selera Masyarakat
Dalam bukunya, jurnalis musik dari Inggris, Simon Reynolds, mengatakan bahwa pada dasarnya budaya populer (termasuk musik dan film) senantiasa mendaur ulang masa lalu dan membawanya kembali ke masa depan dalam kemasan baru karena masyarakat mudah bosan dan selalu ingin bernostalgia.
Di blantika musik Indonesia, populernya kembali suatu jenis musik bukanlah fenomena baru. Lagu gambus dan sholawat yang dulu identik dengan emak-emak qasidahan (sebutlah era Nasida Ria atau El Hawa tahun 1980-an) tiba-tiba digemari banyak remaja muslim setelah grup musik Sabyan Gambus naik daun. Setelahnya muncul group musik religi dari Jakarta, EsBeYe dan Not Tujuh. Bahkan pemusik baru Ibnu the Jenggot berhasil memasukkan genre rap ke dalam musik religi.
Hal yang sama juga terjadi dengan lagu-lagu dari Indonesia Timur yang dipopulerkan kembali oleh pemusik asal Flores, Nusa Tenggara Timur, Near dan juga musik gamelan yang didaur ulang oleh musisi asal Lamongan, Jawa Timur, Gamelawan.
Didi pun melakukan pola yang sama dengan musik campursarinya. Tak sedikit yang mencibir campursari sebagai genre musik campur aduk pada awalnya. Campursari diciptakan pada akhir dekade 1980-an dengan memasukan suara keyboard dan gitar elektrik ke dalam musik gamelan Jawa tradisional. Dengan musiknya, Didi berhasil lebih jauh lagi mengembangkan lagu yang berorientasi anak muda.
Internet dan Viralitasnya
Kontribusi para influencer di media sosial juga turut berperan dalam mengangkat kembali popularitas Didi. Netizen milenial yang sebelumnya tidak kenal Didi menjadi penasaran dan tertarik.
Setelah meledak di media sosial, stasiun-stasiun televisi kembali menghadirkan Didi. Selanjutnya, potongan video siaran televisi pun akan kembali ditayangkan di saluran Youtube atau Facebook. Tidak hanya itu. Potongan video klip musik Didi juga banyak berseliweran di WhatsApp, Twitter, Instagram, dan Facebook.
Internet berperan dalam model baru perputaran informasi yang mendongkrak kembali popularitas Didi.
Dengan gaya dan format komunikasi yang sedemikian cair di kalangan penggemarnya, tak heran jika nama Didi kembali masuk ke dunia percakapan anak muda hingga menjadi viral.
Dari Patah Hati menjadi Modal Sosial
Melalui musiknya, Didi bisa mempersatukan penggemarnya melalui pengalaman patah hati masing-masing individu yang terjajah oleh kenangan di masa lalu.
Pengalaman tersebut bisa menjadi modal sosial untuk menyatukan para penggemarnya bangkit dan bersatu dari keterpurukan karena adanya teman senasib dan sepenanggungan.
Dan Didi berhasil mengeksploitasi modal sosial tersebut dalam konser amal virtualnya.
Dalam konteks pandemi COVID-19 saat ini, Didi memadukan modal sosial dari para penggemarnya dengan kepedulian untuk menolong orang yang kurang mampu dalam mengatasi masa pandemi ini.
Jika potensi semacam ini diolah dan direkayasa dengan baik, tidak mustahil jika patah hati berubah menjadi optimisme dan solidaritas nasional karena semuanya peduli dan saling menguatkan. [Iwan Awaluddin Yusuf, Lecturer in Department of Communications Universitas Islam Indonesia, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta]. Tulisan ini disalin dari theconversation.com.
Ilustrasi: Didi Kempot/shutterstock.com