Demokrasi Dibajak
Di Indonesia sebelum aksi 414 dan 212 itu neoliberalisme yang masuk membonceng arus globalisasi membawa gelombang demokratisasi. Namun bangsa ini nampaknya tak siap dengan basis kolektif atau ideologi bersama.
“Nilai konsensus dihabisi, demokrasi tak berbasis permusyawaratan,” kata Yudi Latif, dalam acara memperingati 43 tahun Peristiwa 15 Januari 1974 (Malari) di Balai Kartini, Jakarta, pertengahan Januari.
Indonesia disebutnya mengalami kemunduran cara berfikir luar biasa didalam situasi seperti sekarang ini. Yang berkuasa adalah mereka yang menggerakkan modal untuk membanjiri politik dengan kepentingan. “Makanya Indonesia cepat sekali mengalami kesenjangan sosial yang sangat hebat karena tidak punya kekuatan ideologi sebagai counter dan tidak punya pengetahuan kekuatan pikiran untuk merancang strategi counter hegemoni terhadap ini semua,” kata Yudi.
Peringatan tersebut juga menggelar Seminar Kebangsaan bertajuk “Menyikapi Perubahan, Kebangkitan Populisme”
Hariman Siregar, pelaku sejarah kasus Malari, dalam acara itu mengatakan aktivitas itu bukan sekadar berkumpul dalam rangka nostalgia saja tetapi juga mengingatkan kembali cita-cita reformasi 1998 yang belum tercapai. “Di politik kita buka demokrasi, di ekonomi kita buka pasar bebas, sosial kita bicara civil society, di hukum kita bicara kepastian hukum. Kalau kita bicara 4 hal ini sangat jauh dari cita-cita awal,” kata Hariman.
Bahkan belakangan semacam ada sinyal mulai kaburnya kepercayaan rakyat terhadap rezim; masyarakat berpikir tidak rasional dan mulai mengesampingkan demokrasi. Ada gejala penolakan terhadap pemimpin yang tak dikehendaki, padahal figur tersebut sudah terpilih. Khawatirnya, hal serupa bisa berlangsung dalam demokrasi Indonesia kedepan. “Kami sejak awal merasa Demokrasi telah dibajak oleh para elite sehingga menimbulkan gerakan anti establishment,” kata Hariman.
Menurut Human Right Watch, memasuki tahun kedua pemerintahannya, Presiden Joko Widodo memang gagal mengatasi gangguan di republik Indonesia, mulai dari serangan terhadap kebebasan beragama, diskriminasi gender, dan hak-hak minoritas. Dalam World Report 2017 yang dirilis awal tahun ini, HRW menilai komitmen Jokowi sebagai pembela HAM dipertanyakan, karena setahun sebelumnya sudah gagal mengubah retorikanya menjadi inisiatif kebijakan.
Dalam bagian Indonesia pada laporan setebal 687 halaman itu, disebutkan meski pemerintahan Jokowi menyatakan inisiatifnya untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, namun “tak ada tindakan resmi lebih lanjut dari pemerintah, dan pelanggaran HAM terus terjadi,” kata Deputy Direktur HRW Asia, Phelim Kine.