Ilustrasi/robsholtmuseum.nl

Koran Sulindo – Hampir semua orang, bapak-bapak, remaja, atau kanak-kanak, mengenakan baju berwarna putih itu turun di Stasiun KRL Gondangdia, Menteng. Tujuan mereka satu arah: Monumen Nasional. Mereka datang memenuhi panggilan shalat Jumat berjamaah pada tengah hari 2 Desember 2016 itu. Tapi tak ada angkutan kota yang yang bisa mengantarkan ke Monas. Seluruh ruas jalan penuh manusia berjalan ke arah sama. Bahkan berjalan kaki melawan arah saja sulit karena penuhnya manusia.

Aksi turun ke jalan dengan jumlah massa ribuan seperti itu terakhir terjadi hampir sekitar 20 tahun lalu, ketika mahasiswa dan rakyat berpadu berjuang menumbangkan kekuasaan Soeharto. Kini orang-orang sipil yang diperkirakan berjumlah antara 200 ribu hingga 300 ribu itu menginginkan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) yang dianggap menistakan agama mereka dibui.

Sebulan sebelumnya, pada 4 November, dengan jumlah massa yang jauh lebih kecil aksi serupa juga berlangsung. Isunya sama, selain diikuti pendukung utama Front Pembela Islam, terlihat 2 orang Wakil Ketua DPR ikut naik di dalam mobil komando yang membawa para pimpinan demonstrasi itu. Pucuk pimpinan DPR itu ikut berorasi, seolah menyatakan proses perwakilan rakyat di gedung Senayan sana tak bekerja.

Orang akan dengan gampang mengatakan aksi massa dengan jumlah banyak seperti itu sebagai mulai lahirnya gerakan populisme di Indonesia, seiring dengan merebaknya populisme di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan negara-negara Eropa kini.

Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusai (Lakpesdam) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Rumadi Ahmad, misalnya, mengatakan NU dicibir karena tidak mau turut dalam gelombang populisme itu, karena secara resmi menyatakan tidak mau turut serta dalam unjuk rasa 4 November (411) dan 2 Desember (212) tadi.

Akibatnya, kiai-kiai sepuh NU seperti Mustofa Bisri (Gus Mus), KH Maimoen Zubair (Mbah Moen), bahkan Ketua Umum KH Said Aqil Siroj difitnah dan dicaci.

“Dalam konteks global, saat ini populisme menjadi idola baru. Orang-orang yang mempunyai pandangan yang dulu kita cemooh, misalnya rasial, intoleran, tidak suka dengan orang Muslim, sekarang berkuasa di sejumlah negara,” kata Rumadi.

Tokoh-tokoh politik yang rasis dan intoleran mendapatkan tempat utama di media massa.

“Permasalahannya apakah gerakan mereka bisa diimajinasikan sebagai umat Islam ? Atau hanya gerakan untuk memenjarakan Ahok dan menjatuhkan Jokowi?,” kata Vedi R Hadiz, dalam diskusi buku barunya, “Islamic Populism in Indonesia and the Middle East” di Jakarta, akhir Januari lalu.

Vedi tak menutup mata peserta aksi “Bela Islam” itu lintas kelas, mulai dari orang kaya hingga miskin, namun tak ada lembaga atau organisasi keislaman yang mampu dan diakui memayungi gerakan tersebut. Aksi itu seperti gerakan lepas kontrol tanpa kepemimpinan.

Di kalangan akademisi dan media, populisme memang konsep yang lentur. Kadang diidentikkan dengan aspirasi kanan, di waktu lain bisa diidentikkan dengan kaum kiri. Apalagi gelombang pasang populisme yang kini melanda dunia global tidak hanya terwakili dari terpilihnya Donald Trump di AS, atau keluarnya Inggris dari Uni Eropa karena sentimen anti Islam yang kuat. Sebelumnya wacana populisme ini didahului munculnya tokoh-tokoh kiri seperti Hugo Chavez di Venezuela dan Eva Morales di Bolivia.