Dedication of Life Soekarno: Abdikan Hidupmu untuk Negeri

Ilustrasi

Koran Sulindo – Wasiat Soekarno itu kini wajib dibacakan dalam kegiatan PDI Perjuangan yang bersifat resmi.

September 1966. Di Jakarta, mahasiswa, pemuda, pelajar makin sering turun ke jalan. Mereka menuntut Presiden Soekarno turun dari kekuasaan. Pertengahan bulan sebelumnya, di Bandung, gambar Soekarno disobek dalam sebuah aksi.

Di beberapa tempat gambar Soekarno diturunkan, termasuk di beberapa instansi pemerintahan. Terkesan terencana dan sistematis.

Pemicunya adalah pidato kenegaraan Soekarno pada 17 Agustus 1966 yang dianggap tetap tidak mau menyalahkan Partai Komunis Indonesia pada geger pembunuhan para jenderal  setahun sebelumnya. Pidato kenegaraan terakhir Bung  Karno itu, sesuai judulnya, Djas Merah (Djangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah), seperti kekesalan berlarut melihat anak-anak bangsa yang kemerdekaaanya dia proklamasikan itu seperti sedang kehilangan kewarasannya.

Abraham Lincoln, berkata ‘one cannot escape history, orang tak dapat meninggalkan sejarah’, tetapi saya tambah ‘Never leave history’. Inilah sejarah perjuangan, inilah sejarah historymu. Peganglah teguh sejarahmu itu, never leave your own history! Peganglah yang telah kita miliki sekarang, yang adalah akumulasi dari pada hasil semua perjuangan kita di masa lampau. Jikalau engkau meninggalkan sejarah, engkau akan berdiri diatas vacuum, engkau akan berdiri diatas kekosongan dan lantas engkau menjadi bingung, dan akan berupa amuk, amuk belaka. Amuk, seperti kera kejepit di dalam gelap.”

Bangsa yang seperti kera kejepit di dalam gelap. Nada pidato itu tahu: ia di pengujung kekuasaan.

Pada 10 September itu ia menuliskan semacam wasiat. “Saya adalah manusia biasa. Saya tidak sempurna. Sebagai manusia biasa saja tidak luput dari kekurangan dan kesalahan. Hanya kebahagiaanku ialah dalam mengabdi kepada Tuhan, kepada Tanah Air, kepada bangsa. Itulah dedication of life-ku. Jiwa pengabdian inilah yang mendjadi falsafah hidupku, dan menghikmati serta menjadi bekal-hidup dalam seluruh gerak hidupku. Tanpa jiwa pengabdian ini saya bukan apa-apa. Akan tetapi dengan jiwa pengabdian ini, saya merasakan hidupku bahagia, dan manfaat.”

Wasiat itu kelak dikenal dengan nama Dedication of Life. Bagi Soekarno, hidupnya adalah pengabdian.

Sebenarnya, sebelum-belumnya Bung Karno sudah sering mengatakan kalimat serupa. Misalnya dalam pidato di hadapan mahasiswa Universitas Gajah Mada di Siti Hinggil Kraton Yogyakarta pada 1961, atau saat melepas kontingen Indonesia yang akan berjuang di Asian Games IV Jakarta pada 1962.

Ia mengulang lagi pada pembukaan musyawarah nasional Sentral Organisasi Karyawan Sosialis Indonesia (SOKSI) pada 1965. “Saya pernah pidato terhadap olahragawan-olahragawan sebelum ada Asian Games, saya katakan: hai, engkau olahragawan-olahragawani, aku minta kepadamu agar kamu jangan ingat kepada diri sendiri saja, mencari medali untuk diri sendiri saja, tetapi carilah medali untuk bangsa Indonesia, untuk negara Indonesia. Saya minta kepadamu –kataku kepada olahragawan– agar supaya engkau mempunyai dedication of life– dedication itu artinya penyumbangan, pengabdian, life artinya hidup– hidupmu itu kau sumbangkan, kau abdikan.”

Sementara dalam pidato pada acara pemberian gelar doktor honoris causa dalam ilmu pengetahuan kemasyarakatan dari Universitas Indonesia pada 2 Februari 1963, Sukarno menyatakan, “Saya dedicate saya punya hidup, I dedicate my life to what? To my country. To what? To my idealism. To what? To God, Allah Subhanahu Wataala.”

Beberapa pidato Sukarno yang menyinggung dedication of life mempunyai substansi sama: mengajak rakyat melakukan pengabdian kepada bangsa, kepada negara.

Sehari setelah ia menuliskan wasiat yang disusunnya sebagai surat kepada kawan itu, pada 11 September 1966, Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia dari Bandung dan Jakarta, mengajukan tuntutan agar Bung Karno diadili di depan Mahkamah Militer Luar Biasa. Kelak sejarah mencatat organisasi ini, seperti juga Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia, didukung daya dan upaya angkatan darat.

Bung Karno menjawab dengan sedih pada 13 September, ketika berpidato di hadapan kaum Angkatan 1945 di Istana Merdeka. Mereka yang hadir antara lain Sukarni, Bung Tomo, dan SK Trimurti. Selain menolak tekanan massa jalanan dan MPRS untuk membubarkan komunis, karena menurut Bung Karno isme tidak bisa dilarang, iajuga mengeluhkan tekanan imperialisme asing dan elemen kontra revolusi dalam negeri yang memfitnahnya tiap hari melalui media massa.

Saat itu hanya media di bawah tentara yang masih boleh terbit.

“Dikatakan aku tidak Pancasila, oleh karena Marxis. La illahaillah!” seru Bung Karno.

Pada Maret 1967, kekuasaan Presiden Soekarno benar-benar berakhir. Para pendukung Soekarno tiarap politik panjang setelah itu, namun pemitosan Soekarno tak pernah betul-betul berakhir. Tampilnya Megawati Soekarnoputeri sekitar seperempat abad setelah itu dengan PDI Perjuangan, mencuatkan kembali nama bapak bangsa itu.

September 2013. Para tokoh partai berlambang banteng bermoncong putih ini mengenakan jas merah, warna kebesaran partai itu. Di pintu masuk ruang Ecovention Ecopark Ancol Jakarta itu ribuan kader PDI Perjuangan antusias menyambut pemimpin partainya. Banyak yang mengepalkan tangan sambil berteriak “Merdeka…merdeka”.

Teriakan seketika berubah melihat Joko Widodo ada di belakang Megawati. “Jokowi capres, Jokowi capres.” Sejumlah kader berteriak bersahut-sahutan.

Jokowi didaulat membacakan Dedication of Life Soekarno di acara itu..

Tepuk tangan sontak membahana di dalam ruang Rakernas berlangsung.

Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati mengungkapkan alasannya memilih Jokowi sebagai pembaca “Dedication of Life” Soekarno. “Kenapa Pak Jokowi yang membaca? Karena, ya itu sebuah makna bahwa regenerasi itu berjalan dan pasti berlanjut,” katanya. Menurut Megawati, Jokowi memiliki “getaran” Soekarno.

Khalayak segera memahami  itu adalah sinyal pencalonan Jokowi sebagai calon presiden pada pemilihan umum 2014.

Belakangan diketahui ada keterlibatan Prananda Prabowo di balik momen yang menjadi headline hampir di semua media nasional itu. Anak kedua Megawati itu adalah Kepala Ruang Pengendali dan Analisis Informasi (Situation Room) PDI Perjuangan.

Dedication Of Life’ bukanlah suatu hal yang baru di PDI Perjuangan. Kali pertama disampaikan pada 23 Februari 2012, saat ia berpidato membuka Pendidikan Kader Pendidik PDI Perjuangan di Yogyakarta.

Megawati ingin memberikan motivasi kepada seluruh kader partai agar berjuang mewujudkan politik sebagai pengabdian. Politik yang berpihak kepada rakyat kecil dan politik sebagai perjuangan mewujudkan cita-cita bersama. Untuk itulah ia menyitir kalimat Bung Karno yang berkaitan dengan daya juang dan semangat pengabdian terhadap Tuhan, kepada Tanah Air dan kepada Bangsa.

Sejak itu ‘Dedication of Life’wajib dibacakan dalam kegiatan partai yang sifatnya resmi. Biasanya Pancasila dan ‘Dedication of Life’ dibacakan oleh struktur partai atau kader partai yang dinilai berprestasi.

September 2016. Peristiwa 30 September 1965 penanda penting meredupnya kekuasaan Presiden Soekarno. Tragedi kemanusian yang disebut genosida oleh Tribunal 1965 di pengadilan Den Haag Belanda itu juga dimanfaatkan untuk menggerus kekuasaan Soekarno, yang dipandang sudah tidak mampu lagi memimpin Indonesia.

Demonstrasi mahasiswa besar-besaran yang terjadi pada 11 Maret 1966  di depan Istana Negara, lihat tanggalnya, jelas dibuat oleh angkatan darat, atau paling tidak mendapat dukungan tentara. Mahasiswa mengepung Istana Kepresidenan dan menuntut Tritura yang salah satunya meminta pembubaran PKI.

Tidak hanya mahasiswa yang mengepung Istana, sejumlah tentara tidak dikenal juga disebut mengelilingi Istana Kepresidenan. Ada sinyalimen dukungan tersebut diberikan dalam rangka perebutan kekuasaan. PKI dibubarkan pun bukan karena ideologinya, melainkan karena PKI merupakan sebuah partai besar dengan jutaan anggota yang mendukung Soekarno.

Pengepungan Istana oleh tentara tidak dikenal itu menakutkan bagi Soekarno. Dia memutuskan pergi ke Istana Bogor bersama Soebandrio dan Chaerul Saleh dengan menggunakan helikopter ke Bogor.

Dalam buku Asvi Warman Adam (Bung Karno Dibunuh Tiga Kali? Tragedi Bapak Bangsa Tragedi Indonesia; 2010), tergambar sengitnya pergulatan dalam masa peralihan kekuasaan yang disebutnya kudeta merangkak itu. Buku itu juga menggambarkan kegetiran Bung Karno karena ucapannya tidak didengar lagi oleh para jenderal yang dulu sangat patuh kepadanya.

“Komando dan perintahnya tidak dimuat oleh surat kabar, ucapannya dipelintir. Bahkan dia pernah menerima pamflet yang menuduhnya sebagai dalang utama G30S. Soekarno marah dan sangat geram. Ia memaki dalam bahasa Belanda, bahasa yang dikuasainya sampai kosakata caci makinya,” tulis Asvi.

Perlawanan dari kelompok  pendukung Soekarno bukannya tidak ada. Sebanyak 92 menteri menyatakan kesetiaannya pada 20 Januari 1966. Pada 27 Februari 1966 diadakan juga Rapat Raksasa Kesetiaan kepada Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno di Bandung.

Dalam versi pemerintah Soeharto, masa ini dilukiskan sebagai era konsolidasi pendukung Orde Baru; tentara, mahasiswa dan rakyat, untuk membasmi PKI serta membersihkan orang-orang pendukung Soekarno. Setelah mendapatkan Supersemar, Soeharto langsung membubarkan PKI dan menangkap 15 menteri pendukung Soekarno, atas tuduhan terlibat G30S.

Setelah itu pelan dan pasti Soeharto merangkak ke atas. Atas nama surat itu Soeharto membubarkan PKI. Pada 23 Februari 1967, MPRS menyelenggarakan sidang istimewa untuk mengukuhkan pengunduran diri Presiden Soekarno dan mengangkat Soeharto sebagai pejabat Presiden RI. Dengan Tap MPRS No. XXXIII/1967 MPRS mencabut kekuasaan pemerintahan negara dan menarik kembali mandat MPRS dari Presiden Sukarno.

Pada 12 Maret 1967 Jendral Soeharto dilantik sebagai Pejabat Presiden Republik Indonesia.

Soeharto memulai Orde Baru dalam dunia politik Indonesia dan secara dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang ditempuh Soekarno pada akhir masa jabatannya. Investor asing dibukakan pintu seluas-luasnya untuk menanamkan modal di Indonesia. Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan menempuh kebijakannya melalui struktur administratif yang didominasi militer namun dengan nasehat dari ahli ekonomi didikan Barat. DPR dan MPR tidak berfungsi secara efektif. Anggotanya bahkan seringkali dipilih dari kalangan militer, khususnya mereka yang dekat Soeharto.

Indonesia tidak sama lagi dengan masa-masa ketika Soekarno  mengabdikan diri dan seluruh hidupnya. [Didit Sidarta]