Kudeta Militer 17 Oktober 1952

Peristiwa 17 Oktober 1952 berakar dari pertentangan sipil-militer pascakemerdekaan. Pada masa Kabinet Wilopo, pemimpin TNI berniat mereorganisasi dan merasionalisasi militer untuk menanggalkan mentalitas tentara gerilya menjadi tentara profesional. Proses ini akan diikuti pemberhentian hampir 40% personel TNI sebagai konsekuensi dari pemangkasan anggaran.

Para pemimpin militer, seperti KSAD Kolonel AH Nasution dan Kepala Staf Angkatan Perang Kolonel TB Simatupang, mengusulkan untuk mendatangkan Misi Militer Belanda (MMB) yang ditugaskan membantu dalam segi teknis—bukan doktrin—untuk menyediakan kader bagi lembaga-lembaga pendidikan militer. Hanya saja, ide ini ditentang keras golongan lain di dalam Angkatan Darat. Kolonel Bambang Supeno melaporkan ketidaksukaannya terhadap rencana itu kepada Presiden Soekarno secara langsung tanpa mengindahkan alur komando.

Sejak pukul 04.00 WIB, militer mengamankan tempat-tempat strategis: kantor RRI, gedung DPRS-MPRS, dan stasiun-stasiun kereta api. Pukul 08.00 WIB, kerumuman massa menjalar. Mereka diangkut dari pabrik-pabrik di luar kota, sisanya dari Jakarta yang dikoordinasi jagoan-jagoan Betawi. Tentara mengorganisasi demonstrasi itu dengan dukungan tank dan artileri, bergerak ke istana presiden, menuntut pembubaran parlemen.

Soekarno mencoba menengahi, bahkan cenderung tak setuju dengan usulan Nasution-Simatupang. Musyawarah ketiganya, yang juga dihadiri Menteri Pertahanan Hamengkubuwono IX, tak berjalan mulus. “Pembicaraan itu meningkat panas dan hampir berkembang menjadi adu teriak antara Sukarno dan Simatupang,” tulis John D. Legge dalam buku Sukarno: Sebuah Biografi Politik.

Nasution kemudian memecat Bambang Supeno. Parlemen mengecam tindakan tersebut dan mengeluarkan mosi untuk menghentikan MMB, karena dianggap pro-Barat dan menyudutkan golongan personel eks- Pembela Tanah Air, seperti Bambang Supeno.

Mosi dari Manai Sophiaan yang disetujui parlemen memaksa militer untuk menurut. Namun, pihak Angkatan Darat menganggap itu sebagai usaha ikut campur kalangan sipil dalam urusan militer.

Tak lama kemudian, militer melancarkan operasi penangkapan terhadap enam anggota parlemen. Manai Sophiaan nyaris diculik di kediamannya, sementara sekelompok perwira loyalis Soekarno di Jawa Timur berhasil kabur karena tim penyergap pimpinan Mayor Kemal Idris salah menggrebek rumah.

Dini hari, 17 Oktober 1952, para panglima berkumpul di kantor Staf Umum Angkatan Darat. Mereka saling melempar ide gerakan dengan kepala panas, sampai disela oleh Simatupang. “Setop. Ini sudah berbau kup. Kritik oke, tetapi jangan kup,” demikian dikatakan Simatupang, sebagaimana dikutip dari biografi A.E. Kawilarang, Untuk Sang Merah Putih, yang ditulis Ramadhan K.H.

Jakarta pun dipenuhi suara-suara protes. Kepala Intel Biro Informasi Perang Zulkifli Lubis sebelumnya sudah menghubungi ajudan Soekarno tentang pengerahan massa tersebut. Bahkan, Kolonel Moestopo yang mengorganisasi demonstrasi itu sudah diminta membatalkan niatnya. Namun, demonstrasi tetap terjadi. Puncaknya: moncong meriam diarahkan ke istana atas arahan Kemal Idris.

Sementara itu, di dalam istana, Soekarno dan para panglima yang dipimpin Nasution berunding. Nasution menuntut parlemen dibubarkan. Soekarno menolak dengan marah. “Mataku terbakar karena marah. Engkau benar dalam tuntutanmu, akan tetapi salah di dalam caranya. Sukarno tidak akan sekali-kali menyerah karena paksaan. Tidak kepada seluruh tentara Belanda dan tidak kepada satu batalyon Tentara Nasional Indonesia!” kata Bung Karno, sebagaimana tertera dalam otobiografinya, Penyambung Lidah Rakyat, sebagaimana diceritakan kepada Cindy Adams.

Bung Karno lalu keluar dan menenangkan massa. Setelah menasihati mereka akan pentingnya parlemen sebagai sarana demokrasi, layaknya seorang ayah kepada anaknya, tensi massa mulai menurun. Massa malah menerikkan yel-yel “Hidup Bung Karno!” dan kemudian bubar teratur.

Nasution menamakan gerakan itu sebagai “separo kudeta”. Dan, gerakan  itu gagal total. Tak lama kemudian, Nasution dicopot sebagai KSAD, digantikan Bambang Sugeng, kawan dekat Bambang Supeno. Namun, Soekarno kelak mengangkat kembali Nasution dengan alasan “menjaga persatuan.”