Dari Lion Air hingga Ethiopia Airlines dan Kekacauan Produksi 737-8-MAX

Boeing tipe 737-MAX-800 [Foto: Istimewa]

Koran Sulindo – Keputusan pemerintah Indonesia melarang terbang sementara pesawat jenis Boeing 737-8-MAX selepas jatuhnya pesawat Ethiopian Airlines ET-302 tampaknya membenarkan ada yang salah dengan tipe pesawat tersebut. Kecelakaan fatal tersebut terjadi pada Minggu (10/3) setelah 5 menit lepas landas di Addis Ababa, Ethiopia.

Ini merupakan kecelakaan kedua dengan tipe pesawat yang serupa. Dunia pun terkejut, tentu saja. Seluruh penumpang pesawat yang berjumlah 157 orang dinyatakan tewas dalam kejadian itu. Padahal Ethiopia Airlines baru menerima pengiriman tipe 737-8-MAX dari Boeing pada 15 November 2018.

Kecelakaan tersebut menyedot perhatian dunia. Apalagi kecelakaan ini mengingatkan masyarakat internasional tentang jatuhnya pesawat Lion Air JT-610 yang menewaskan 189 orang pada 29 Oktober tahun lalu. Kejadian ini dinilai tidak normal karena jenis pesawatnya sama dan merupakan produk termutakhir dari Boeing.

Oleh karena itu, pengamat penerbangan John Cox seperti dilaporkan The Seattle Times mengatakan, pihak-pihak yang berkepentingan perlu mencari tahu apakah kecelakaan yang menimpa Ethiopia Airlines dan Lion Air saling terkait atau tidak. Kondisi demikian saat ini sangat mendesak, kata Cox.

Kementerian Perhubungan menetapkan bahwa pesawat jenis Boeing 737-8-MAX dilarang terbang untuk sementara. Itu semua untuk memastikan bahwa pesawat yang beroperasi di Indonesia dalam kondisi laik terbang. Catatan Kementerian Perhubungan maskapai yang memiliki jenis Boeing 737 Max-8 adalah Garuda Indonesia sebanyak 1 unit, dan Lion Air sebanyak 10 unit.

Langkah pemerintah Indonesia juga diikuti pemerintah Tiongkok. Sementara ini CAAC, lembaga otoritas penerbangan negara tersebut melarang terbang sementara jenis 737-8-MAX. Boeing telah mengirimkan sekitar 96 unit dengan tipe pesawat tersebut.

Kendati belum ada keputusan resmi mengenai penyebab jatuhnya Ethiopia Airlines, kita bisa mengingatkan masyarakat tentang analisis penyebab jatuhnya Lion Air JT-610. Hasil temuan Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) menyatakan pesawat tersebut mengalami kerusakan airspeed indicator. Kondisi tersebut terjadi pada 3 penerbangan sebelum pesawat Lion akhirnya jatuh.

Analisis Gates
Sebelum kesimpulan KNKT keluar, analisis Dominic Gates, wartawan senior The Seattle Times, misalnya, menyebutkan, pesawat mengalami masalah teknis dengan kecepatan yang tidak terkendali dan hanya mampu mencapai ketinggian maksimum 5.375 kaki. Karena masalah ini, pilot lalu meminta untuk kembali ke pangkalan atau landasan bandara.

Mengutip data yang ditunjukkan Flightradar24, Gates menuliskan, sebelum kecelakaan itu terjadi, ketika penerbangan baru 2 menit, terjadi penurunan ketinggian secara cepat. Kecepatan penurunan pesawat sama sekali tidak terkendali. Pilot tampaknya berupaya menstabilkan ketinggian penerbangan selama 10 menit terakhir.

Dalam 20 detik terakhir atau mungkin lebih, kecepatan pesawat menukik ke bawah meningkat tajam. Dan setelah itu pesawat jatuh tak terkendali dan menghantam air laut dengan kedalaman sekitar 100 meter. Pesawat hanya 12 menit mengudara sejak lepas landas dari Bandara Soekarno-Hatta dan jatuh di Perairan Karawang, Jawa Barat yang berjarak sekitar 39 mil dari bandara.

Di samping masalah teknis ini, Gates juga menuliskan tentang 737-8-MAX yang bermasalah sejak dalam proses produksi. Pasalnya berdasarkan seorang sumber disebutkan pabrik Boeing di Renton, Washington terjadi kekacauan karena keterlambatan produksi. Untuk mengatasi ini, Boeing lantas mendatangkan sekitar 600 pekerja dari Puget Sound.

Namun, menurut sumber Gates, para pekerja ini tidak berpengalaman untuk merakit jenis 737 sehingga tetap saja produksinya bermasalah. Ketika pengiriman awal untuk jenis MAX itu pada September 2018, Boeing benar-benar memastikan produksinya itu aman untuk digunakan. Pengiriman pesawat itu tidak akan mengalami kendala apapun dan sesuai dengan pesanan tanpa cacat sama sekali.

Kenyataannya, ketika Lion Air menggunakannya dan baru berumur 2 bulan, pesawat jenis MAX itu mengalami kecelakaan dan menewaskan sekitar 189 penumpangnya. Itu sebabnya, penyelidikan terhadap kecelakaan ini harus menyeluruh, kata Gates.

Di samping masalah teknis yang disebutkan telah terjadi ketika pesawat ini membawa penumpang dari Denpasar – Jakarta, penyelidik juga perlu mempelajari secara teperinci bagaimana pesawat ini dibuat terutama karena adanya kekacauan produksi terhadap 737-800-MAX di Renton selama musim panas tahun lalu. [KRG]