Koran Sulindo – Puluhan buruh yang tergabung dalam Aliansi Buruh Yogyakarta (ABY) melakukan upacara tumpengan di depan Pagelaran Keraton Yogyakarta. Tumpengan ini mengakhiri aksi mereka yang diawali jalan kaki dari Tugu menuju Alun-alun Utara yang jaraknya sekitar 2,5 km dalam rangka memperingati Hari Buruh yang jatuh pada Senin, 1 Mei 2017.
Sembari duduk bersila para buruh ini memohon kepada Allah agar membuka hati Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan Hamengku Buwono X agar mau menaikkan upah buruh.
“Kami menggelar aksi budaya tumpengan ini untuk memohon pada Tuhan agar membuka hati Gubernur DIY yang juga Raja Kraton Yogyakarta untuk melihat kondisi buruh yang menderita,” kata Kirnadi, Sekjen ABY.
Menurut Kirnadi, saat ini upah yang diterima para buruh di DIY terlalu rendah, sehingga tak mencukupi kebutuhan sehari-hari. Akibat politik upah murah yang menjadi pilihan, lanjut Kirnadi, DIY sudah dihadapkan pada kondisi nyata yaitu ketidakmampuan untuk mempunyai rumah sendiri atau tunawisma. Diungkapkan, Gubernur DIY menetapkan UMK 2017 sebesar Rp 1.572.200 untuk Kota Yogya, untuk Sleman Rp 1.448.385, Bantul Rp 1.404.760, Kulon Progo Rp 1.373.600, dan Gunung Kidul Rp 1.337.650.
“Dengan upah yang semurah ini, kami para buruh untuk memiliki rumah ibarat mimpi di siang bolong,” tuturnya.
Rendahnya upah buruh ini, kata Kirnadi, menjadi penyebab tingginya angka kemiskinan di DIY. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Yogyakarta garis kemiskinan bulan Maret 2015 hingga Maret 2016 mengalami kenaikan sekitar 5,42 persen. Jumlah penduduk miskin di DIY pada Maret 2016 sebanyak 49.940 atau naik 9.380 dibanding September 2015 sebanyak 45.560 orang. Kondisi kemiskinan ini semakin diperparah dengan ketimpangan ekonomi. BPS melansir DIY sebagai provinsi yang memiliki ketimpangan tertinggi di Indonesia. Data BPS, per September 2016, juga melansir indeks rasio gini Yogyakarta yang mencerminkan ketimpangan pengeluaran masyarakat mencapai 0,425.
Tumpengan ini, menurut Kirnadi, diharapkan bisa menggugah Gubernur DIY tergerak dan bisa memberikan kesejahteraan bagi para buruh di DIY. “Gubernur-gubernur lain saja bisa mengusahakan kesejahteraan buruh, dan kami yakin sebenarnya DIY juga bisa,” tegas Kirnadi.
Sementara itu di titik nol kilometer Yogya, puluhan buruh informal perempuan DIY yang terdiri dari Pekerja Rumah Tangga (PRT), pembuat kerajinan hingga buruh gendong, juga melakukan aksi May Day.
Dengan mengenakan pakaian adat Jawa, para buruh yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Pekerja Yogyakarta berharap dana keistimewaan (danais) yang diperoleh dari pemerintah pusat bisa digunakan untuk menyejahterakan masyarakat kelas bawah.
“Kami serukan pada Gubernur DIY untuk mengalokasikan danais bagi kesejahteraan masyarakat kecil, karena dana itu tujuannya untuk menyejahterakan rakyat,” teriak Hikmadinia Koordinator Umum Aliansi Rakyat Pekerja Yogyakarta ini.
Saat ini tidak ada kebijakan yang memihak buruh informal di DIY, membuat posisi buruh berada dalam keadaan timpang dan selalu kalah dengan pihak yang mempekerjakan. Contohnya saja PRT yang masih terus mengalami kekerasan dan eksploitasi sekali lagi tanpa jaminan sosial apapun.
“Padahal saat ini karena sempitnya lapangan pekerjaan, mau tidak mau kami harus menjadi pekerja informal,” kata Hikmadini. [YUK]