Foto: Janfry Sihombing

Sulindomedia –  Migrant Care, lembaga swadaya masyarakat yang mengurusi masalah buruh migran di Indonesia, menilai kebijakan migrasi tenaga kerja di Indonesia yang nir-hak asasi manusia (HAM) berdampak sistemis pada pelanggaran HAM bagi buruh migran Indonesia, terutama perempuan.

Diungkapkan Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah, dalam skema kebijakan migrasi yang anti terhadap HAM, buruh migran perempuan menjadi korban paling utama. Itulah yang mendasari peluncuran “Laporan Kajian Kebijakan Migrasi di Indonesia dari Perspektif HAM”. Selain itu, peluncuran laporan tersebut juga menjadi rangkaian peringatan Hari Perempuan Internasional.

Anis juga mengatakan, lembaganya dalam beberapa waktu lalu telah mengkaji puluhan kebijakan, yang di antaranya terdapat memorandum of understanding (MoU), undang-undang, peraturan presiden (perpres), instruksi presiden (inpres), peraturan menteri (permen), keputusan menteri (kepmen), peraturan daerah (perda), dan peraturan desa (perdes). “Dari seluruh hal yang dikaji hampir tidak ada satupun kebijakan yang berpedoman pada HAM,” kata Anis di Jakarta Pusat, Senin lalu (7/3/2016).

Ditambahkan Anis, peraturan-peraturan pemerintah yang belum berpedoman terhadap pemenuhan HAM itu memicu terjadinya kasus-kasus pelanggaran HAM buruh migran, khususnya perempuan, selama ini.

Sementara itu, analis Kebijakan Migrant Care Wahyu Susilo menjelaskan, pihaknya berdasarkan laporan tersebut tidak melihat adanya perubahan yang signifikan dari produk-produk kebijakan tentang tata kelola penempatan buruh migran Indonesia, baik sebelum maupun sesudah Ratifikasi Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Perlindungan Buruh Migran dan Keluarganya, yang sudah disahkan oleh DPR pada 12 April 2012 dan diundangkan dalam hukum nasional melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2012. “Sehingga, pertanyaan besarnya, apakah memang pada waktu itu ada kesungguhan yang kuat dari pemerintah Indonesia, ketika meratifikasi, benar-benar didedikasikan untuk kebutuhan buruh migran?” ujar Wahyu.

Ia menilai, sampai sekarang masih ada perbedaan cara pandang di antara kementerian dan lembaga pemerintah di Indonesia terkait penempatan buruh migran. “Kita lihat di beberapa forum internasional, saya lihat komitmen kuat di Kemlu pemerintahan Retno Marsudi, tentang penempatan buruh migran; tapi di sisi lain, Kemenaker merasa konvensi ini menjadi beban. Ini persoalan internal atau domestik yang harus diselesaikan,” kata Wahyu.

Wahyu juga mengatakan, masih ada konflik antara kementerian dan lembaga pemerintah mengenai penanganan buruh migran, yang notabene berimplikasi kuat terhadap apa yang dialami para pekerja migran di luar negeri. “Di Kemenaker kontraproduktif dengan (kebijakan penanganan buruh migran) ini, misalnya kepmen tentang pembiayaan keberangkatan ke Hong Kong dan Taiwan, pelayanan kesehatan, dan lain-lain,” ujar Wahyu lagi.

Dari seluruh kepmen tentang penanganan buruh migran, lanjutnya, hanya kepmen tentang tata cara pemulangan TKI secara mandiri yang dinilai cukup baik. “Itu pun memang desakan masyarakat sipil dan itu dianggap perubahan Kemenaker yang pada saat itu dipimpin Muhaimin Iskandar,” tuturnnya..

Ia memberi contoh salah satu MoU yang harus dikaji ulang oleh pemerintah, yakni Mou antara pemerintah Indonesia dan Jepang yang hanya merupakan turunan dari perjanjian ekonomi dan perdagangan kedua negara dalam skema Indonesia-Japan Economic Partnership (IJEPA). “Tentu saja MoU itu lebih banyak menggunakan prinsip-prinsip ekonomi dan abai prinsip-prinsip HAM. Jadi, domain perjanjian seharusnya ada perlindungan buruh migran, tidak bisa hanya jadi turunan perjanjian ekonomi,” ungkapnya.

Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri Lalu Muhammad Iqbal memuji laporan Migrant Care tersebut, Iqbal mengatakan, laporan tersebut merupakan fondasi yang bagus karena memuatgap analysis. Kalau gap analysis itu nantinya bisa dilengkapi dan diselesaikan, itu akan memudahkan pemerintah untuk menyelesaikan masalah-masalah di lapangan. “Pemerintah belum sampai situ,” kata Iqbal.

Menurut dia, dengan gap analysis itu, pihaknya menjadi tahu tempat yang harus “diisi”. “Kami dukung dan siap bekerjasama,” katanya.

Gap analysis itu, tambahnya, bisa menjadi langkah awal untuk mengembangkan analisa hukum dan sistem di lapangan. “Pemerintahan kita ini proses pembenahan hukum waktunya sangat panjang dan sulit, sementara di lapangan beberapa sistem sudah kita ubah,” ujar Iqbal. [JAN/PUR]