Sulindomedia – Bung Karno duduk dengan tenang, kaki kirinya diletakkan di atas kaki kanannya. Pandangannya lurus ke depan. Tenang, namun terasa ada yang menggelegak di dalam dada dan kepala Bung Karno.
Begitulah Hanafi membuat patung Bapak Bangsa yang memiliki multitalenta dan pemikiran-pemikiran yang cemerlang tersebut. Patung itu diletakkan di bekas tempat pembuangan Soekarno di Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur, yang diresmikan sebagai situs bersejarah pada 1 Juni 2013 lampau.
Bung Karno dibuang ke Ende mulai tahun 1934 sampai 1938. Usianya ketika itu masih 30-an tahun. Namun, pada priode inilah, Putra sang Fajar banyak melakukan perenungan-perenungan.
Sungguhpun begitu, sebagai orang pergerakan politik yang meyakini aksi massa sebagai suatu keniscayaan untuk menciptakan revolusi, dalam hal ini untuk mencapai kemerdekaan bangsa Indonesia, Bung Karno tidak terus-menerus asyik-masyuk dengan dirinya sendiri. Apalagi, seperi diungkapkan Bung Hatta, Soekarno yang datang ke Ende adalah Soekarno yang “secara politik mati”.
Memang, sebelum dibuang ke Ende, Bung Karno dua kali dipenjara pemerintah kolonial Belanda. Pada 29 Desember 1929 malam, setelah berpidato di sebuah rapat akbar di Yogyakarta, beliau dan kawan-kawannya ditangkap dan kemudian dijebloskan ke penjara Banceuy, Bandung, mulai 30 Desember 1929.
Pemilik nama kecil Kusno itu dimasukkan ke sel isolasi berukuran 1,5 meter x 2,5 meter. Tak boleh ada yang membesuk, kecuali sang istri, Inggit Garnasih. Juga tak boleh membaca apa pun.
Namun, Inggit Garnasih berhasil menyelundupkan berbagai bacaan ke sel suaminya. Juga ada Sariko, sipir penjara yang bersimpati kepada Bung Karno. Dari Sariko-lah Bung Karno mendapatkan koran dan lewat Sariko—juga Inggit—Bung Karno menyelundupkan informasi.
Dalam persidangan, pada 1 Desember 1930, Bung Karno membacakan pleidoinya yang terkenal itu, “Indonesia Menggugat”. Selain berisi protes keras atas ketidakadilan dan kebusukan penjajah Belanda, pleidoi itu juga memperlihatkan bacaannya yang luas. Ada kurang lebih 60 tokoh yang ucapan dan pemikirannya dikutip pria yang lahir 6 Juni 1901 itu dalam pembelaannya, antara lain Karl Marx, Karl Kautsky, Henriette Roland Holsts, Jean Jaures, Troelstra, Sneevliet, Sun Yat Sen, Mazzini, Sarojini Naidu, Mustafa Kamal, August de Wit, Snouck Hurgronje, dan Prof J Pieter Veth.
Juga ada data mengenai jumlah luas tanah yang dikuasai perkebunan kolonial Belanda. Data tentang keuntungan yang dibawa pergi oleh perusahaan-perusahaan Belanda dan kapitalis asing lainnya dari tanah Hindia-Belanda juga ia paparkan dalam “Indonesia Menggugat”.
Toh, pengadilan kolonial tak peduli soal itu. Hakim pun memutuskan vonis empat tahun penjara untuk Bung Karno karena dianggap terbukti mengancam keamanan lewat aktivitasnya di Partai Nasional Indonesia. Dari Banceuy, ia lalu dipindahkan ke penjara Sukamiskin, juga di Bandung, penjara yang ia sendiri ikut merancang semasa baru lulus dari Technische Hoogeschool te Bandoeng (sekarang Instiut Teknologi Bandung). Beliau dimasukkan ke dalam sel TA 01 di lantai 2.
Walau divonis empat tahun, Bung Karno menjalani kurungan hanya setahun. “Murid” dari Haji Omar Said Tjokroaminoto ini dibebaskan 31 Desember 1931.
Namun, Bung Karno kemudian ditangkap lagi. Pada 23 Desember 1933 keluar surat keputusan dari pemerintah kolonial Belanda, yang menyatakan Soekarno harus diasingkan ke Kota Ende sebagai tahanan politik.
Terkait penangkapan itu, dalam kolomnya di Kompas pada 15 September 1980, wartawan senior Rosihan Anwar mengatakan, “Hatta bersikap teguh, konsisten dan konsekuen. Sebaliknya Sukarno, ahli pidato yang bergembar-gembor, lekas bertekuk lutut jika menghadapi keadaan yang sulit dan tidak menyenangkan bagi dirinya pribadi.”
Rosihan mengatakan itu dengan mengutip buku Road to Exile: The Indonesian Nationalist Movement 1927-1933 karya John Ingleson (diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh penerbit LP3ES dengan judul Jalan ke Pengasingan: Pergerakan Nasionalis Indonesia tahun 1927-1934, terbit tahun 1980). Dalam buku itu disebutkan, adanya empat surat yang ditulis Bung Karno dalam penjara Sukamiskin, tanggal 30 Agustus serta 7, 21, dan 28 September 1933, yang ditujukan kepada Prokol Jenderal Hindia Belanda. Dalam surat-surat itu, Bung Karno memohon dibebaskan dari tahanan penjara dan berjanji tidak lagi akan ambil bagian dalam soal-soal politik untuk masa hidup selanjutnya.
Sejumlah pihak meragukan keaslian surat-surat itu, termasuk mantan Menteri Luar Negeri Mohammad Roem dan wartawan senior Mahbub Djunaidi. Karena, menurut Roem, ada sejumlah kejanggalan dalam surat-surat itu. Apalagi, surat yang empat pucuk itu ternyata hanya salinan, yang diketik oleh pejabat yang berwewenang dan tidak ditandatangani Soekarno sendiri, melainkan hanya ditulis “w.g. Soekarno” (ditandatangani Soekarno).
Namun, entah kenapa, soal ini kemudian disinggung lagi oleh pengamat politik Daniel Dhakinae. Dalam kolomnya di Kompas edisi 31 Mei 2013, Daniel menulis, “Soekarno dengan gagah perkasa menjalani hukuman penjara pertama, 1930, tetapi mengalami kehancuran mental, ketidakpastian sosial, dan disorientasi politik pada pemenjaraan kedua, 1933, sampai-sampai meminta belas kasihan pemerintah kolonial.”
Terasa janggal bila Bung Karno meminta pengampunan, apalagi lewat surat. Karena, surat-surat itu bisa dijadikan bukti otentik bagi pemerintah kolonial Belanda untuk menjatuhkan sang Singa Podium di mata bangsanya, setidaknya di mata para pejuang kemerdekaan. Apalagi, kenyataannya, setelah dari Ende, ia juga kemudian diasingkan ke Bengkulu, Sumatera, dari tahun 1938 sampai 1942. Kalau memang benar-benar ada surat-surat itu, mengapa pemerintahan kolonial begitu takut kepada Bung Karno?
Kembali ke Ende. Meski telah dipenjara di Bandung dan kemudian dibuang ke Ende, elan vital atau daya hidup Bung Karno sebagai pribadi dan pejuang pergerakan kemerdekaan tidak surut. Hari-harinya di Ende diisi dengan bertani, merenung membaca, menulis, dan berdiskusi, selain lebih khusyuk beribadah.
Bahkan, di Ende, putra dari pasangan Raden Sukemi Sosro Dihardjo dan Ida Njoman Rai ini mendirikan kelompok tonil yang diberi nama Kelimoetoe Toneel Club, dengan dukungan tukang jahit, sopir, dan nelayan. Yang memberi nama perkumpulan ini adalah Inggit Garnasih, diambil dari nama danau tiga warna yang ada di Flores.
Perkumpulan sandiwara ini tampaknya bukan sekadar untuk mengisi waktu luang, tapi lebih menjadi bagian dari strategi Bung Karno untuk mengorganisasi massa dan membuka kesadaran bagi masyarakat sekitar. Kelimoetoe Toneel Club bukan sekadar nama, tapi merupakan organisasi yang memiliki anggaran dasar—yang mungkin pertama kali dilakukan oleh kelompok sandiwara amatir.
Pada masa itu, pertunjukan teater memang sedang marak di beberapa kota besar di Hindia Belanda. Pada tahun 1925, misalnya, berdiri perkumpulan sandiwara Miss Riboet Orion di Batavia. Setahun kemudian, pada 21 Juni 1926, berdiri perkumpulan sandiwara Dardanella di Sidoarjo, Jawa Timur. Keduanya adalah kelompok sandiwara profesional, artinya berorientasi mencari keuntungan dan para pemain serta seluruh krunya mendapat bayaran. Kedua kelompok sandiwara ini juga sudah mulai menggunakan naskah atau skrip untuk pertunjukan mereka—yang menjadi salah satu ciri teater modern.
Sebelum itu, di Surabaya telah ada juga Komedie Stamboel (demikian memang namanya), yang berdiri tahun 1891. Kelompok ini didanai oleh kongsi orang Cina, yang kadang disebut “Tangul Angin clique” dan awalnya berfungsi seperti klub sosial untuk para pendananya (Matthew Isaac Cohen, 2006).
Diperkirakan, julukan “stamboel” berasal dari Istanbul, Turki. Memang, pada awal berdirinya, cerita-cerita dari Timur Tengah seperti “Seribu Satu Malam” menjadi lakon andalan mereka. Menurut Cohen, hampir 90% persen dari cerita yang dipentaskan pada 10 bulan pertama mereka merupakan adaptasi dramatis dari kisah “Seribu Satu Malam” versi terjemahan Eropa. Suasana dan perabotannya—pencahayaan, akting emosional, panggung bergordin, orkestra musik pengiring, pembagian pentas menjadi adegan dan babak, kostum, make-up, plot—mirip dengan dramaturgi dan teknologi teater Eropa akhir abad ke-19.
Pada masa itu juga terkenal pertunjukan teater Parsi atau wayang Parsi, yang berasal dari Bombay, India, dan banyak mengelilingi Indonesia sejak 1883 (atau bahkan lebih awal). Lalu, di Sumatera Barat juga marak pertunjukan teater. Di Padang, menurut Dede Pramayoza (2013), pada awal abad ke-20 sudah ada “gedung komidi”. “Di gedung itu, beberapa rombongan stambul yang ternama pada zamannya pernah mengadakan pementasan, antara lain Indra Bangsawan, Sri Dermawan, The Indra Tjahaja Ratoe Company, Komidi Kasim, Komidi Permata Stamboel, Sri Sumatra, dan beberapa lainnya,” tulis Pramayoza.
Di kalangan indo Belanda juga berdiri kelompok sandiwara. Ini terbukti dengan adanya lakon berjudul Lelakon Raden Beij Soerio Retno yang ditulis F. Wiggers pada tahun 1901, dengan bahasa Melayu Tinggi. Demikian juga di kalangan Cina peranakan. Salah seorang penulis Cina peranakan yang terkemuka pada masa itu adalah Kwee Tek Hoay, yang antara lain menulis lakon “Allah yang Palsoe” pada tahun 1919, “Korbannya Kong Ek” pada tahun 1926, dan “Boenga Roos dari Tjikembang” pada tahun 1927.
Pada tahun 1926, anak seorang bankir berdarah Minang, Sumatera Barat, Roestam Effendi, juga menulis lakon “Bebasari”. Kritikus sastra Boen S Oemarjati (1976) memandang lakon “Bebasari” sebagai awal perkembangan drama Indonesia. Boen S Oemarjati memandang hal tersebut dari perspektif sastra drama, bukan dari perspektif teater atau seni pertunjukan.
Karena dianggap berisi hasutan untuk melawan pemerintah kolonial Belanda, lakon “Bebasari” yang akan dipentaskan siswa MULO Padang dilarang. Begitu pula ketika para pelajar sekolah kedokteran Jawa (Stovia) di Batavia ingin mementaskan lakon tersebut.
Roestam Effendi dikenal sebagai orang pergerakan yang produktif menulis, terutama untuk soal-soal sosial-politik, baik dalam bahasa Melayu maupun bahasa Belanda. Selama 19 tahun (1928-1947), ia menetap di Belanda dan bergabung dengan Partai Komunis Belanda (Communistische Party Nederland, CPN) dan selama 14 tahun (1933-1946) merupakan satu-satunya orang Hindia Belanda yang pernah menjadi anggota Majelis Rendah (Tweede Kamer) mewakili partai tersebut.
Akan halnya Bung Karno di Ende menulis 12 naskah drama. Namun, sayangnya, 8 dari 12 naskah drama itu dinyatakan hilang, antara lain “Rendo”, “Joela Goebi”, “Koetkoetbi”, “Hantoe Goenoeng Boengkoek”, “Si Ketjil (Kleinduimpje)”, dan “Maha Iblis”. Yang berhasil diselamatkan adalah “Dokter Sjaitan”, “Aero Dijnamiet”, “Anak Haram Djadah”, dan “Rahasia Kelimpoetoe”.
Seperti telah disinggung di atas, Bung Karno membentuk kelompok tonil atau sandiwara kemungkinan untuk mengorganisasi massa. Karena, teater adalah kesenian kolektif, yang dikerjakan oleh lebih dari satu orang. Juga induk dari berbagai macam kesenian, karena di teater bukan hanya ada seni akting dan penyutradaraan, tapi juga bisa masuk seni suara dan seni rupa, termasuk juga seni sastra jika pertunjukan menggunakan teks atau naskah teater—dan rasanya elemen-elemen pertunjukan itu mustahil dilakukan seorang diri pada masa itu.
Apalagi, tidak seperti kerja kepenyairan atau penulisan, untuk membuat sebuah pertunjukan teater memang setidaknya dibutuhkan seorang pemain dan seorang sutradara sebagai wakil dari “penonton ahli”, bila bentuk pementasannya adalah pertunjukan monolog, yang hanya dimainkan oleh satu orang pemain. Tapi, kenyataannya, naskah-naskah teater yang ditulis Bung Karno memiliki tokoh lebih dari satu. Beliau juga mengunakan elemen artistik lain untuk pementasannya—antara lain mengajarkan sejumlah orang untuk menyanyikan lagu polifonik Io Vivat Nostrorum Sanitas (‘Sehatah Kawan-Kawan Kita:)
Jadi, masuk akal juga bila mengatakan Bung Karno menggunakan media teater untuk menjalankan aktivitas politiknya plus menularkan ide-ide perjuangannya.
Lihat saja lakon “Dokter Sjaitan” dan “Aero Dijnamiet”. Secara tematis, dua lakon ini sangat berbeda dengan kecenderungan yang ada dalam lakon-lakon sezamannya, katakanlah lakon-lakon karya Kwee Tek Hoay dan karya Roestam Effendi—apalagi dengan lakon-lakon yang dibawakan Miss Riboet Orion dan Dardanella, yang memang dibuat lebih untuk tujuan komersial dan membuat penonton terhibur.
Dalam dua lakon itu, Bung Karno berbicara mengenai perlunya kearifan manusia menyikapi kemajuan sains dan teknologi. Lakon “Dokter Sjaitan” mengangkat kisah Dokter MZK yang bereksperimen ingin menghidupkan mayat. Kisah dalam lakon ini mengingatkan pada novel Frankensteinkarya Mary Wollstonecraft Shelle (terbit pertama kali di London pada 1818) dan juga kisah rakyat Jerman yang kemudian ditulis ulang oleh sastrawan terkemuka Jerman, Johann Wolfgang von Goethe, Faust. Tak tertutup kemungkinan Bung Karno terpengaruh dua kisah itu ketika menulis “Dokter Sjaitan”.
Lakon ini terdiri dari lima babak, dengan empat pemain utama plus beberapa pemain ekstra—Lambert Giebels (1999) mengatakan ada enam babak. Tokoh Dokter MZK memiliki adik, yang dokter juga, namanya Dokter Hayati. Suami Dokter Hayati, yang merupakan adik ipar dari Dokter MZK, juga dokter. Namanya Dokter Amir.
Dari penciptaan tokoh-tokoh itu saja bisa dilihat apa yang ingin dibicarakan Bung Karno lewat lakon tersebut. Sang Penyambung Lidah Rakyat tampaknya ingin menciptakan suatu contoh keluarga ideal bagi bangsanya, yang mementingkan pendidikan bagi anak-anaknya. Ini juga bisa dilihat di lakon “Aero Dijnamiet”, “Anak Haram Djadah”, dan “Rahasia Kelimoetoe”.
Kendati demikian, lewat tokoh Ayah dan Ibu dalam lakon “Dokter Sjaitan” dan juga lewat beberapa tokoh di tiga lakon yang lain, Bung Karno juga mengingatkan agar generasi muda lebih arif dan mau mendalami juga aspek-aspek keilahian. “Nah! Itu! Yang mana Ayah katakan bahwa Dr. MZK keterlaluan. Apabila benar-benar Dr. MZK coba menghidupkan manusia yang sudah mati, maka pekerjaan yang demikian ini adalah satu-satunya pekerjaan yang aneh dan disekutui [an sich!] Tuhan Yang Maha Bijaksana. Dan pula dia melanggar Hukum dan Hal Allah SWT. Atas teguran ayah yang tak dihiraukannya. Bagaimanakah pandanganmu, Dokter Amir?” demikian antara lain cakapan tokoh Ayah dalam lakon “Dokter Sjaitan”.
Memang, seperti juga diungkapkan Daniel Dhakidae dalam kolomnya di Kompas itu, Bung Karno di Ende benar-benar menjadi muslim yang taat—solat sehari lima waktu dan setiap Jumat ke masjid dan “menjadikan dirinya seorang ahli Islam”. “Di Ende, Soekarno banyak menulis dan melihat Islam dari dalam,” tulis Daniel.
Struktur dramatik lakon “Dokter Sjaitan” juga berbeda dengan struktur dramatik lakon-lakon sezamannya, yang cenderung mengikuti struktur plot Aristoteles, yakni ada bagian awal; bagian tengah, yang akan berakhir dengan klimaks, dan; bagian akhir, yang berupa penyelesaian masalah.
“Dokter Sjaitan” langsung dimulai dari bagian tengah. Dalam cakapan awal lakon ini, Bung Karno sudah menyemai benih konflik—dalam bentuk lakon, unsur konflik memang merupakan salah satu unsur utama. Bahasanya pun lugas, tidak seperti lakon-lakon sezamannya yang cenderung “berbunga-bunga”. Berikut cakapan awal atau cakapan pembuka lakon itu.
“Ayah: Dokter Amir! Engkau adalah seorang Dokter yang sederajat dengan Dr. MZK. Tetapi jika ditinjau pada sudut berkeinginan, maka Dr. MZK jauh berbeda keinginan, dengan keinginan engkau Dr. Amir. Dr. MZK sudah keterlaluan. Yang mana dia sudah bayangkan pada Ayah bahwa sewaktu-waktu akan dihidupkannya pula seorang manusia yang telah mati. Apakah benar begitu, Amir?”
Padahal, seperti telah disinggung di atas, Dokter MZK adalah anak tokoh Ayah. Sementara itu, Dokter Amir adalah menantu dari tokoh Ayah.
Menjelang akhir cerita, Dokter MZK memang akhirnya menginsyafi perbuatannya, terutama setelah “makhluk” ciptaannya, Robor namanya, membuat kerusakan. Tapi, kisah tak berhenti di sana. Robor yang sebelumnya telah ditembak mati ternyata hilang dari “kubur”-nya.
Akhiran yang terbuka (open ending) semacam ini juga tak lazim pada cara penulisan lakon zaman itu, bahkan dalam penulisan prosa—Armijn Pane menggunakan open endingdalam novel Belenggu, yang pertama kali diterbitkan tahun 1940 dan dinilai sebagai novel pembaru Indonesia, salah satunya, ya, karena menggunakan open ending.
Open ending tak akan membuat penonton “nyaman”. Bung Karno seakan memberi “pekerjaan rumah” bagi penonton pertunjukannya untuk mencari jawab sendiri di manakah keberadaan Robor; apakah dia hidup kembali atau ada yang mencuri. Pria yang kelak menjadi Proklamator Kemerdekaan Indonesia ini sepertinya ingin penonton pertunjukannya menjadi penonton aktif, bukan sekadar penonton pasif.
Dengan demikian, Bung Karno bsa dikatakan tidak ingin penonton pementasan teaternya mendapatkan katarsis atau “pencucian jiwa” lewat keterlibatan emosionalnya dengan tokoh-tokoh di atas panggung. Jadinya, teater Bung Karno memang bukan semacam teater dramatik yang berlandaskan teori Aristoteles, tapi lebih lebih dekat ke konsep teater epik Bertolt Brecht dari Jerman, yang bertujuan membuat penonton sadar tentang kondisi kehidupan yang ada di sekelilingnya. Brecht memang sangat dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran Karl Marx, yang juga dipelajari secara mendalam oleh Bung Karno. Untuk menjawab adakah itu sekadar paralelisme ide atau memang beliau dipengaruhi Brecht memang perlu dilakukan studi lanjutan.
Namun, yang pasti, ketika menulis lakon itu, kalau dilihat dari apa yang telah diuraikan di atas, visi Bung Karno ketika menulis lakon-lakonnya adalah visi seorang sutradara, yang ingin membuat sebuah pertunjukan, bukan “sekadar” sebagai penulis naskah atau menulis naskah drama terutama hanya untuk dibaca (closet drama), bukan dipentaskan. Meski tidak persis sama, pola itu juga bisa dilihat pada lakon “Aero Dijnamiet”, “Anak Haram Djadah”, dan “Rahasia Kelimoetoe”.
Di keempat lakon itu juga ada adegan-adegan aksi berupa perkelahian secara fisik—dalam “Dokter Sjaitan” berupa adegan Dokter MZK menghalangi Robor yang ingin menabrak sekelilingnya. Penciptaan adegan-adegan perkelahian ini tentu saja akan menjadi daya tarik tersendiri bagi suatu pertunjukan, apalagi kalau perkelahian itu digarap secara atraktif.
Yang juga menarik, dalam “Aero Dijnamiet”, Bung Karno “memunculkan kembali” tokoh Dokter Amir. Dalam lakon ini, Dokter Amir melakukan transplantasi jantung dari tokoh Hartawan ke tokoh Insinyur Schakerilbahar. Dan, sekali lagi, lakon ini dibuat pada pertengahan dekade 1930-an!
Ketika dibuang ke Bengkulu oleh pemerintah kolonial Belanda, Bung Karno juga membentuk kelompok teater, yang diberi nama Monte Carlo. Di Bengkulu, beliau hanya menulis satu naskah, “Rainbow (Poetri Kentjana Boelan)”.
Dengan meninjau empat lakon karyanya itu tidak berlebihan kiranya bila Bung Karno dimasukkan sebagai pembaru penulisan naskah teater modern di Indonesia. Setidaknya, namanya perlu dimasukkan ke dalam catatan sejarah teater modern di Indonesia.
Yang juga perlu dicatat, meski dalam keempat lakon itu gagasan-gagasan tentang nasionalisme tidak begitu kentara terbaca, beliau jelas sekali ingin menyampaikan pesan betapa pentingnya pendidikan, betapa pentingnya melawan kebodohan, agar bangsa ini menjadi bangsa yang maju.”Indonesia tidak akan dapat maju tanpa mempergunakan ilmu pengetahuan,” demikian kata Bung Karno puluhan tahun kemudian, tahun 1962, ketika menerima gelar doktor honoris causa dari almamaternya, Institut Teknologi Bandung. [Purwadi Sadim, Redaktur Pelaksana Suluh Indonesia]