Sebagaimana diketahui, konstelasi politik global ketika itu sedang diwarnai dengan pertentangan dua kubu besar dunia: sosialisme/komunisme berhadapan dengan kapitalisme. Kubu sosialisme/komunisme berada di bawah pengaruh Uni Soviet, juga Republik Rakyat Tiongkok. Kubu ini didukung negara-negara yang mayoritas baru membebaskan diri dari cengkeraman kolonialisme dan mengambil posisi politik untuk menentang segala wujud penjajahan. Sementara itu, kubu kapitalisme berada di bawah komando Amerika Serikat dengan negara sekutunya, seperti Inggris, Prancis, dan Jepang.

Kedua blok tersebut berebut pengaruh, juga saling membendung. Kala itu, pemerintah Amerika Serikat menerapkan politik containment atau pembendungan pengaruh komunisme. Misalnya,  Amerika Serikat menyokong Korea Selatan untuk membendung komunisme yang menguasai Korea Utara yang didukung Tiongkok dan Uni Soviet. Dukungan serupa juga dilakukan pemerintah Amerika Serikat terhadap Vietnam Selatan, untuk membendung pengaruh kaum komunis yang berkuasa di Vietnam Utara.

Politik campur tangan itu mengakibatkan pecahnya perang saudara di Korea dan Vietnam. Dalam Perang Vietnam, pasukan Amerika Serikat mengakami kekalahan telak, sehingga harus angkat kaki dari negeri Vietnam.

Konstelasi Perang Dingin memang sangat terasa waktu itu. Berbagai isu bisa dijadikan bahan pemanas. Di Indonesia, isu pemanas yang memancing sikap kedua kubu itu adalah masalah Irian Barat. Uni Soviet bahkan langsung memberikan bantuan peralatan militer kepada Indonesia untuk kampanye pembebasan Irian Barat, yang masih dikuasai Belanda.

Amerika Serikat tidak memberikan sikap yang jelas atas isu tersebut. Malah, di masa pemerintahan Eisenhower, Amerika Serikat jelas-jelas memihak Belanda. Baru belakangan, di masa Presiden John . Kennedy, Amerika Serikat menekan Belanda untuk berunding dengan Indonesia.

Memang hubungan pribadi Bung Karno dengan John Kennedy cukup baik di masa itu. Berkat persahabatan keduanya, Indonesia bisa memperoleh pesawat angkut C-130 Hercules. Kennedy juga memberikan helikopter kepresidenan untuk Soekarno.

Namun setelah Kennedy wafat karena ditembak, hubungan Indonesia dan Amerika Serikat semakin menjauh. Amerika Serikat terlalu congkak untuk menganggap Indonesia sebagai mitra sejajar.

Pakta negara-negara berkembang yang digalang Bung Karno dan sejumlah pemimpin negara Asia-Afrika justru semakin mendekat kepada negara-negara Blok Timur. Itu bukan karena sikap politik Bung Karno yang prokomunis, tapi lebih karena kesamaan sifat revolusioner dan anti-imperialisme.

Maka, ketika Indonesia menyelenggarakan Games of the New Emerging Forces (Ganefo), pekan olahraga negara-negara dunia ketiga, di Jakarta tahun 1964, negara-negara sekutu Amerika Serikat—seperti Israel, Taiwan, dan Malaysia—tidak diundang.

Di dalam negeri, untuk mewujudkan pembangunan yang adil bagi rakyat Indonesia, Bung Karno menetapkan kemandirian ekonomi sebagai tulang punggung utama. Bung Karno mengurangi ketergantungan modal pembangunan dari utang dan investasi asing. Upaya tersebut dimanifestasikan dengan langkah-langkah kongkret, seperti nasionalisasi terhadap perusahaan-perusahaan asing serta pembangunan sejumlah industri strategis.

Doktrin “Revolusi Belum Selesai” menjadi upaya mewujudkan sosialisme ala Bung Karno, termasuk kedekatan beliau dengan kekuatan nasionalis dan sosialis-kiri, membuat negara Barat seperti Amerika Serikat dan Inggris menjadi gerah. Hubungan luar negeri antara Indonesia dan Amerika Serikat pun semakin memburuk seiring dengan politik provokasi yang dilakukan Amerika Sertikat terhadap Indonesia. Provokasi tersebut misalnya dengan isu negara Malaya yang merestui penggabungan Kalimantan Utara. Selain itu kasus pemberontakan PRRI/Permesta yang didanai intelijen Amerika Serikat membuat Bung Karno benar-benar marah.

Sejak saat itu, hubungan Indonesia dengan Amerika Serikat di era Bung Karno tidak pernah benar-benar membaik. Hingga kemudian kejatuhan Soekarno setelah Peristiwa Gerakan 30 September 1965 mengubah segala peruntungan Amerika Serikat di Indonesia. Ketika peralihan ke pemerintahan Orde Baru yang dipimpin Jenderal Soeharto, praktis Amerika Serikat kembali memiliki kekuatan untuk mendominasi Indonesia melalui skema utang dan investasi. Rakyat mungkin mengingat bagaimana sehari setelah Soeharto dilantik, Freeport langsung mendapatkan hadiah berupa kontrak karya jangka panjang untuk gunung emas di Papua.