Bung Karno: Fajar yang Luka

Bung Karno selalu dekat dengan rakyat kecil.

Suluh Indonesia – Dari rahim seorang ibu yang bernama Ida Rahayu dan berayahkan Sosro Soekemi yang seorang guru lahirlah seorang anak manusia yang diberi nama Soekarno.

Ibunya menamakan dia Putera Fajar dan meramalkan akan mencapai kemuliaan setingi-tingginya. Ramalan itu ternyata benar. Tuhan telah menaruh mahkota kemuliaan yang sebesar-besarnya di atas kepalanya; Bapak Kemerdekaan, Pembina Bangsa, Pendiri Republik Indonesia, Pejuang Anti-imperialisme yang terbesar di Asia Tenggara, pemikir politik terbesar di abad ke-20, manusia yang terkuat di Asia Tenggara. Itulah sebagian dari sebutan yang diberikan orang dari dalam dan luar negeri setelah badannya terbaring tiada bernyawa lagi.

Barangkali ada orang yang berpendapat, sebutan itu agak berlebihan. Atau, dari penghormatan dan kehormatan itu tidak bisa dimonopoli oleh dirinya, melainkan harus dibagi dengan beberapa tokoh yang lain.

Misalnya penghormatan dan kehormatan “Pembina Bangsa”. Mereka yang hidup sezaman dengan dia dari zaman yang berombak berpendar dengan pro dan kontra, dengan cinta dan benci, nyatanya masih dekat dengan dia.

Cinta pada umumnya membuat semua menjadi indah dan benci pada umumnya membuat semua menjadi buruk dalam pandangan.

Kalau kita mencintai seseorang, seribu alasan dapat kita majukan untuk memuji dirnya. Namun, kalau kita benci, seribu alasan pula dapat kita datangkan untuk mencerca dirinya.

Di masa datang, penulis sejarah dua generasi lagi akan hidup di dalam zaman yang lebih tenang dan mereka akan sanggup memberikan penilaian yang lebih tepat atas diri Bung Karno.

Tetapi, ada dua kehormatan yang tak bisa disangkal oleh siapa pun, baik sekarang maupun nanti. Juga tidak bisa disangkal oleh musuhnya sekalipun yang paling membenci dirinya dan mendendam jika sekiranya ada musuhnya yang demikian.

Dua kehormatan yang tak akan lekang oleh panas dan tak akan lapuk kena hujan, tetap akan bercahaya sepanjang masa, dialah Presiden Pertama Republik Indonesia, yang dua puluh tahun lamanya berkuasa mengemudikan bahtera negara menempuh samudra yang mengamuk gila oleh badai topan, dan dialah Proklamator terkemuka di dalam barisan para proklamator. Dan perjuangannya sebelum dan sesudah mendapat kedua kehormatan/martabat itu, akan berbicara dengan lantangnya di dalam sejarah nasional dan dunia, apakah akan bersorak gembira menyala-nyala atau meratap sedih sehancurnya, di dalam prosa dan puisi, di dalam musik dan lukisan para senman piawai.

Sebagai apa yang dikatakan oleh BM Diah di dalam tulisannya yang padat oleh fakta dan indah dalam irama, manusia sejenis dia itu lahir ke dunia ini sekali dalam waktu seabad atau dua abad.

Dia seorang zeni, betapa pun besarnya, adalah anak zamannya, bakat keaslian memang harus dibawa dari kandungan ibunda, tetapi sebagaimana benih bernas hanya tumbuh oleh pengaruh tanah, air, dan cahaya matahari. Demikianlah bakat zeni itu tumbuh oleh pengaruh lingkungan rumah tangga dan keluarga, lingkungan sekolah dan pendidikan, di lingkungan masyarakat yang lebih luas. Orang hanya akan memahami watak dan ide-ide Bung Karno kalau mengetahui nilai budaya apa yang disampaikan orang tuanya dan keluarganya yang akrab, sewaktu dia berusia 8 sampai 16 tahun, bagaimana keadaan masyarakat dan semangat zaman serta peristiwa apa yang dialaminya dengan sadar saat jiwanya sedang mencari keyakinan hidup, dan pandangan dunia saat badannya menginjak usia dari 16 sampai dengan 24 tahun (tahapan pembagian usia ini berdasarkan teori Windu dari Ki Hajar Dewantoro).

Memang benar, bukan saja dia adalah Putera Fajar karena lahir pada waktu fajar tanggal 6 Juni 1901 melainkan juga karena dia tiba di bumi ini pada waktu era baru, yakni fajar kemerdekaan bangsa-bangsa yang ditindas.

Masa abad ke-19 meluncur turun dengan cepat dan kapitalisme di seluruh dunia memasuki tahapan baru, yakni tahap imperialisme modern di Indonesia pun imperialisme modern datang menggantikan mperialisme kolot pada tahun 1870, dengan segala akibat dan manifestasinya; kekayaan kemewahan, keangkuhan pada bangsa kulit putih dan kemiskinan, kemelaratan, dan perbudakan pada rakyat Indonesia.

Di Jawa Timur, dengan pelabuhan Surabaya sebagai jantungnya segala kegiatan, terjadi penumpukan kekayaan di suatu pihak dan pemeralatan di lain pihak berjalan dengna sangat pesat dan memedihkan.

Keluarga Sosro Soekemi, ayahanda Bung Karno, mendapat juga bagian dari kemiskinan itu. Tapi, tidaklah segelap seperti yang dilukiskan didalam buku Cindy Adam. Keluarga itu tidak termasuk dalam golongan yang berada, apalagi kaya, memang mereka termasuk dalam “golongan orang kecil”.

Tubuh Bung Karno yang tegap dan vitalitasnya yang melebihi orang lain dapat dijadikan satu bukti bahwa dia di masa pertumbahannya cukup memperoleh makanan yang diperlukan.

Tetapi, imperialisme bukan saja memperbudak dan memperalat rakyat yang ditindasnya, melainkan juga lambat laun menimbulkan keinginan baru, pikiran baru, yaitu keinginan dan usaha kemerdekaan.

Kita lihat beberapa negara lain, seperti Mesir, India, dan Tiongkok, mendahului Indonesia dalam hal ini.

Pada tahun 1908, Budi Utomo didirikan, kemudian pada tahun 1911 menyusul Nationale Indische Party, satu organisasi politik yang pertama berdasarkan nasionalisme dan bertujuan “lepas dari belenggu Belanda”, yang artinya Indonesia Merdeka. Namun, saying, partai itu tidak lama usianya. Para pemimpin utamanya, seperti Douwes Dekker (Setia Budhi), Tjipto Mangunkusumo, Ki Hadjar Dewantoro, dijatuhi hukuman pembuangan. Tapi, benih nasionalisme yang telah mereka sebarkan jatuh di tanah yang subur.

Pada tahun 1912 berdirilah Syarekat Dagang Islam, yang kemudian berubah watak menjadi partai politik dan berganti nama menjadi Partai Sarekat Islam.

Kemudian pada tahun 1917 pecah revolusi sosialis di Rusia. Peristiwa ini menjadikan lebih memperbesar keinginan bangsa-bangsa yang dijajah untuk merdeka.

Cita-cita sosialisme bertemu dengan cita-cita keadilan sosial yang diajarkan Islam dengan semangat gotong royong yang berakar pada masyarakat desa kita.

Di dalam Patai Sarekat Islam hidup dan dijiwai tiga aliran; Islam, nasionalisme, dan sosialisme, yang bercampur kemudian berpisah.

Sewaktu menjadi pelajar HBS di Surabaya dan tinggal seatap dan selantai dengan Haji Oemar Said Tjokroaminoto, pemimpin utama dari partai tersebut, Bung Karno dalam usia naik menuju Windu ketiga menghirup sintesa dari ketiga aliran itu dan berkenalan pula dengan tokoh-tokohnya.

Ibunya adalah kuturunan kasta Brahmana yang menyelenggarakan upacara kebaktian kepada sang Hyang Widi, Zat Tunggal Maha-pengatur Alam Semesta. Ayahnya adalah seorang Islam, ahli kebathinan Jawa, dan tokoh penggerakan teosofi.

Begitu pula dengan kerabat dekat ayahnya, yang umumnya juga ahli kebatinan.

Karena itu, semangat religi, semangat keagamaan dan kebatinan, Bung Karno sejak bayi dihirup bersama air susu ibunya.

Unsur utama dari mistik apa pun di dunia ini ialah keyakinan akan kesatuan kosmos, kesatuan alam semesta sebagai manifestasi dari Mahapenecipta. Perlu ditekankan di sini, katakebatinan atau mistik dipakai dalam arti yang sesungguhnya, yaitu daya upaya mendekatkan diri kepada Tuhan, bukan daam arti perdukunan atau klenik, yang mendiskreditkan mistik atau kebatinan yang sesungguhnya.

Bung Karno nanti juga akan mengenal apa itu sufi, aliran mistik Islam, yang antara lain mempelajari buku karangan Haji Agus Salim dan Inayat Khan.

Bung Karno sejak kecil sampai akhir hidupnya tetap menyukai cerita wayang. Bagi dia, permainan wayang bukanlah sekadar hiburan, melainkan mengandung ajaran moral.

Lakon atau cerita wayang di Indonesia (Jawa) adalah saduran dari kisah Ramayana dan Mahabarata. Kedua epos ini, lepas dari isi historisnya, bukanlah cerita biasa. Di negeri asalnya, India, kedua buku tersebut digolongkan dalam kitab keagamaan.

Keduanya menggemakan ajaran: senantiasa bersikap satria, berani, jujur, menerima nasib apa pun juga bentuknya, dengan perasaan seimbang. Kalau tegak dan jaya tidak takabur; kalau buruk dan malang tidak putus asa, tidak meratapi atau menyesali nasib, hanya semata-mata melakukan dharma (yaitu kebenaran, kewajiban, dan hak) tanpa mengharapkan untung dan tanpa khawatir rugi bagi diri sendiri.

Memerangi adharma (lawan dari kebenaran, kezaliman, yang batil), tetap dalam perjuangan itu, selalu sadar akan kesatuan alam semesta. Sebab, semua pembeladharma dan pembela adharma adalah alat; dan di dalam tangan Tuhanlah yang menuntaskan lakon yang bernama sejarah manusia dan dunia.

Antusiasme antara bangsa yanag menjajah dengan bangsa yang dijajah didengarnya dengan telinganya sendiri.

Bangsa yang menjajah, mereka yang berkuasa, kaya, mewah, angkuh; sedangkan bangsa yang dijajah adalah bangsa Indonesia, yang dikuasai, diperintah, miskin, melarat, bersemangat budak, rakyat takut kepada tuan-tuan bangsa asing itu.

Bung Karno tahu bagaimana rasanya miskin di waktu kecil dan di waktu muda. Sebagai seorang pelajar di HBS, ada beberapa kali sinyo-sinyo Belanda menghina dirinya. Tapi, karena sudah ditakdirkan bakal jadi seorang pemimpin, dia tidak punya rasa rendah hati, bebas dari rasa takut dan pengecut.

Tinju dari sinyo-sinyo itu dia balas langsung, suatu manifestasi dari keinginannya membalas hinaan atas bangsanya.

Hatinya yang muda tentu bertanya, apa sebab adanya perbedaan-perbedaan itu, apa sebabnya ada golongan yang kaya dan golongan yang miskin, dan kalau perbedaan itu dapat dihapuskan bagaimana caranya dan mana jalannya.

Jawaban atas pertannyaan itu ia peroleh dari pergaulan dengan tokoh-tokoh pergerakan dan dari buku-buku yang dibaca pada waktu dia menjadi pelajar HBS di Surabaya. Waktu dia menjadi studen di sekolah teknik di Bandung, dalam pergaulan dan lektur itu hanya menambah dan menyuburkan yang telah tumbuh di Surabaya.

Bung Karno belajar dari tiap orang dan dari tiap buku. Dari tokoh-tokoh itu ada tiga orang paling menentukan di dalam pembentukan tujuan hidup Bung Karno, yaitu Haji Oemar Said Tjokroaminoto yang memberikan kepadanya api Islam dan menambahkan kepercayaan akan diri sendiri, pada tenaga dan kesanggupan sendiri; Dokter Cipto Mangunkusumo, yang menjalankan api nasionalisme dan memberi teladan untuk berkorban dengan rela; kemudian G Hartogh, gurunya sewaktu di HBS yang mengantarkan dia ke dunia sosialisme modern.

Jadi, masa pembentukan watak dan tujuan hidup telah ditempa sebelum usia 24 tahun.

Bung Karno dari ibu-bapaknya, dari para keluarganya yang akrab di dalam lingkungan rumah tangganya, menerima semangat religi, semangat kebatinan, rasa kesatuan dengan alam, cinta kasih kepada semua makhluk, terutama kepada yang menderita, aspirasi untuk menjadi satria yang membela keadilan. Aspirasi ini kemudian diperkuat oleh HOS Tjokroaminoto dan Dokter Cipto Mangunkusumo.

Bung Karno melihat dan mengalami masyarakat yang penuh pertentangan antara yang menjajah dan yang dijajah.

Melihat dan mendengar semangat zaman di dalam keyakinan para manusia dan di dalam organisasi-organisasi yang mewujudkan dirinya dengan tiga aspek. tiga wajah, trimurti : nasionalisme, Islam, dan sosialisme.

Semua itu merupakan akar bagi keyakinan hidupnya, keyakinan politiknya, keyakinan sosialnya, yang dimanifestasikan dengan suara dan tulisan, dengan cita-cita dan perbuatan. Bung Karno tahu, sumber penindasan dan kemelaratan umat manusia disebabkan tingkah laku kapitalisme dan imperialisme karena merekalah yang menikmati semua privilese atau hak istimewa. Karena itulah pandangan politiknya dapat dirumuskan dengan kalimat “dengan semangat dan jiwa persatuan, kita harus merobohkan hak istimewa untuk membangun kesatuan/kesamaan hak di Indonesia dan dunia”.

Bung Karno berusaha memanifestasikan rasa kesatuan itu, terutama sekali yang menjadi motor penggeraknya di segala aktivitas di lapangan politik nasional dan internasional. Rasa kesatuan dan kesamaan hak hanya bisa dibangun bila masyarakatnya di susun di atas dasar sosialisme Indonesia atau sosialisme Pancasila, yang akan membawa keadilan dan kemakmuran bagi setiap individu.

Sebagai warga dunia, Bung Karno pun menganjurkan supaya dunia ini ditumbuhi dengan rasa kesamaan dan kesatuan, yang merupakan puncak cita-citanya. Maka, diorganisasilah persatuan negara-negara yang anti-imperialisme, supaya bersatu dan bekerja sama untuk menumbun lautan imperialisme. Sebagai orang yang bangga menjadi bangsa dan punya negara Indonesia, Bung Karno menginginkan Indonesialah pelopor dan penganjur dalam perjuangan itu.

Masih terdengar di telinga kita, suaranya yang bergemuruh menderu menyusuri panggung dan lembah di pegunungan Himalaya sampai ke puncak Pegunungan Alpen, bersama deburan gelombang ombak di setiap lautan.

Diselenggarakannya Konferensi Asia-Afrika yang pertama di Bandung, kemudian Gerakan Non-Blok, dihimpunnya negara-negara NEFO, diadakannya GANEFO, disusul dengan diselenggarakannya Konferensi Internasional Anti-Pangkalan Militer Asing (KIAPMA).

Kalau saja Konferensi Asia Afrika yang kedua itu terjadi di Aljazair pada tahun 1965, lonceng  kematian imperialisme akan berbunyi.

Dengan segala macam cara dan usaha kaum imperialisme berusaha menghentikan gerak langkah perjuangan Bung Karno dan mereka tahu hanya ada satu cara untuk menghentikannya, Bung Karno harus disingkirkan dari arena politik. Dan ini pun terjadi.

Pada tanggal 20 September 1965, menjelang dini hari, berembus angin baru arah ke kanan melanda lambungnya perjuangan. Sejenak kita tertegun dan bertanya, apakah yang telah terjadi di negeri ini, negeri yang dulu dirimbuni pejuang dari gunung, desa dan kota, kini menjadi lengang, yang terdengar hanya gesek dedaunan pohon kayu, negeri yang dulu gemuruh dengan derapnya perjuangan kini menjadi sepi, yang terdengar hanya desah napas ketakutan, semua pengikut dan pendukung Bung Karno diburu dan terus diburu? Memang, telah hadir pengkhianatan di fajar yang luka, yang membawa kejatuhan Bung Karno sebagai Presiden Republik Indonesia dan Pemimpin NEFO. Sejak itulah jalannya revolusi kita berubah arah.

Apakah ini ada hubungannya dengan ditugaskannya Marshal Green sebagai Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, yang juga seorang agen senior CIA, yang punya reputasi di Iran dan Korea Seatan? Hanya sejarahlah nanti yang akan membuka.

Lima puluh tahun lamanya sejak tindakan yang pertama sebagai anggota Tri Koro Darmo, sampai jiwanya meninggalkan badan pada usia 69 tahun, dalam keadaan sakit fisik dan derita batin di Wisma Yaso, sebagai tahanan pemerintah Republik Indomesia.

Sungguh sangat ironis. Dulu di masa penjajahan dalam perjuangannya untuk merebut kemerdekaan, dia tidak mati dalam penjara atau dalam pengasinga. Tapi, dia mati dalam penjara bangsanya sendiri yang dia merdekakan dan dia bela dengan segala pengorbanan.

Walaupun bagaimana, dialah sebagai arsitek utama pendiri republic ini. Bersedih hati dan berkabung atas kematian orang yang kita cintai adalah sangat wajar, sangat insani, begitupun Nabi Muhammad masih menangisi orang-orang yang beliau cintai, meski beliau tahu betul “hidup yang akan datang itu adalah lebih baik daripada yang sekarang”.

Hanya manusia yang berjantung dan berhati batu tidak akan mersakan duka bila ditinggalkan orang-orang dekat dan akrab. Karena itu, sangatlah dapat dipahami bahwa para keluarga, para pecinta, dan para pengikut Bung Karno sampai kini masih berdukacita dan berkabung, mersa kehilangan yang meninggalkan kekosongan yang sangat besar di dalam hati. Namun, rasa berdukacita dan berkabung terus-menerus adalah tidak wajar, suatu sentimentalita yang steril, yang mandul, yang mengakibatkan kita tidak akan sanggup melahirkan tenaga-tenaga yang positif.

Ada cara untuk menunjukkan cinta sejati kepada Bung Karno, yaitu dengan mengembangkan dan melanjutkan cita-citanya, menyempurnakan dan mengisi tanah air dan bangsa dengan sekuat tenaga kita berjuang untuk mencapai kepada dunia baru yang bebas dari segala penindasan atau yang selalu dikatakannya “Dunia baru yang bebas dari exploitation de nation per nation dan exploitation de l’homme par l’homme.

Memang, Bung Karno adalah putra Indonesia yang besar, tapi sejarah bangsa kita dan sejarah dunia tidak akan berhenti dengan wafatnya.

Sejarah itu akan berjalan terus, mengalir menderu laksana sungai yang besar berlari menuju samudra yang tiada berdasar dan tiada berpantai.

Biasanya, orang yang hanya pandai mengeluh dan mengaduh hanya pandai menitikkan air mata, hanya pandai meratap  ‘Oh, Bung Karno, aku cinta kepadamu, mengapa cepat meninggalkan kami.” Mereka itu adalah orang yang sentimentil dan impoten.

Yang pasti, Bung Karno tidak memerlukan para pecinta atau kader yang demikian.

Saya juga bisa dimasukkan ke dalam golongan “para pecinta Bung Karno”, karena saya sewaktu hidupnya mengikuti dari jauh dan dari dekat. Saya ingin menyampaikan seruan kepada semua para pecintanya untuk mengeringkan air mata dan menanggalkan rasa duka.

Bukalah mata dan layangkan pandang di sekitar kita, alangkah indah hijaunya bumi, bumi Indonesia yang Bung Karno cintai dengan sepenuh hatinya.

Angkatlah kepala kita, alangkah birunya langit, langit Indonesia yang Bung Karno cinta dengan sepenuh jiwa.
Tidakkah kalian seakan-akan mendengar suaranya mengalun dalam udara “capailah bintang-bintang di langit”?

Alangkah indahnya bintang-bintang itu, bintang-bintang cinta dan cita. Cita keselamatan seluruh dunia, yang bebas dari pemerasan, cinta kepada umat manusia seluruhnya, yang didayaupayakan supaya hidup dalam damai bahagia sempurna.

Orang boleh mengatakan Bung Karno egois, terlalu cinta terhadap dirinya sendiri. Dan ini pun dia akui. Tiada sapa membantah bahwa dia pun sangat mencintai Indonesia, bangsa Indonesia, mencintai seluruh dunia, seluruh umat manusia?

Dulu, sering Bung Karno berjalan-jalan di tepi pantai, di Pelabuhan Ratu, pantai Indonesia di selatan Priangan, di Endeh, di Pantai Panjang Bengkulu, kemudian dia tiba-tiba berhenti dan menghadap ke lautan yang abadi mengombak.

Dari mulutnya keluarlah suatu permohonan yang mesra, suatu doa yang khusuk: “Ya, Allah, Ya Rabbi, limpahkanlah aku dengan tenaga, dengan sebagian kodrat-Mu yang Engkau mahzarkan di dalam samudra-Mu, supaya aku dapat berbakti kepada-Mu, malalui Tanah Air dan bangsaku, dunia dan umat manusia.”

Di dalam doa itu berbicara sifat-sifat yang terbaik dari diri Bung Karno. Marilah kita teladani sifat-sifat terbaik ini. Marilah juga kita berdoa seperti itu, marilah juga kita berbakti kepada Tuhan dan mewujudkan kebaktian itu dengan kebaktian kepada Tanah Air dan bangsa, kepada dunia dan seluruh umat manusia.

Dengan demikian barulah kita bisa mengatakan dan menunjukkan bahwa kita benar-benar mencintai Bung Karno dengan sebenarnya cinta.

(Tulisan ini pernah dimuat pada tanggal 1 Februari 2016)


Tito Asmara Hadi, putra pasangan Asmara Hadi (tokoh PNI/Partindo) dan Ratna Djuami (anak angkat Bung Karno dan Bu Inggit Ganarsih). Tito berdomisili di Bandung. Tulisan ini dicuplik dari draf buku “Fajar yang Luka”, tanpa tahun. Tulisan ini juga pernah dimuat disoekarnopedia.com]