Bernilai Tinggi, Lada Pernah Jadi ‘Mata Uang’ Eropa Kuno

(Tulisan ini pernah dimuat pada 7 Mei 2019)

Koran Sulindo – Romawi Kuno diketahui sudah telah mengimpor dan menggunakan rempah-rempah dari Nusantara sejak 400 tahun sebelum Masehi.

Dari reruntuhan Kota Pompeii yang terkubur debu dan letusan Gunung Vesuvius peneliti menemukan berbagai rempah dan bahan makanan eksotis.

Di antara rempah-rempah tersebut, lada merupakan salah satu komoditas termahal yang mampu dinikmati masyarakat Eropa kuno. Lada menjadi bahan paling penting untuk membumbui daging.

Dalam The Great Age of Discovery, Paul Hermann menyebut lada memberi cita rasa baru bagi orang Eropa yang sebelumnya tak pernah berganti menu makanan. Lada membuat daging dan masakan lain menjadi lebih nikmat rasanya.

“Rempah-rempah, terutama lada, pala, dan cengkih sangat diminati di Eropa. Sebelum makanan musim dingin dikenalkan pada abad ke-18, sapi harus dibunuh di musim gugur sebab bila tidak demikian daging yang dihasilkan akan membusuk sebelum musim semi yang akan datang,” tulis Hermann.

Sebelum lada digunakan orang-orang kaya Eropa, mereka hanya makan daging asap yang digarami.

Plinius, seorang penulis dan seorang jenderal Romawi pernah menyatakan rasa herannya terhadap ‘kegilaan’ orang Eropa pada lada.

“Pada umumnya, saat ingin makan sesuatu kita lebih tertarik ke rasa ataupun wujudnya. Sementara lada, butir-butirnya tidak menggiurkan. Satu-satunya yang dapat diharapkan hanyalah rasanya yang menusuk. Namun, untuk merasakan itu, orang bersusah-payah mendatangkannya jauh-jauh dari India,” tulis Plinius.

Rempah-rempah bernilai sangat tinggi karena jauhnya rute perdagangan yang harus ditempuh dari Malabar atau Kalkuta yang menjadi tempat transit rempah-rempah Nusantara sebelum dikirim ke Eropa.

Dari Malabar atau Kalkuta umumnya rempah dibawa berlayar pedagang Arab ke Jeddah. Waktu tempuh untuk rute ini adalah 50 hari pelayaran jika angin baik.

Di Jeddah muatan itu dibongkar dan wajib membayar pajak kepada Sultan Turki lalu diangkut dengan kapal-kapal kecil yang berlayar menyeberangi Laut Merah ke Tuuz atau Suez.

Di sana, selain harus membayar pajak lagi, muatan tersebut harus dibongkar dan dimuat ke atas unta-unta untuk dibawa ke Kairo dengan perjalanan selama kurang lebih 10 hari.

Dari Kairo, muatan itu dipindah ke kapal yang melayari Sungai Nil menuju Rosetta  dan membayar pajak lagi. Rempah kembali diangkut menggunakan unta-unta menuju pelabuhan Aleksandria, tempat di mana kapal-kapal berlayar ke Eropa menuju Genoa atau Venesia.

Saat Lisbon tampil menggantikan kedudukan Venesia sebagai kota dagang, Pelabuhan Antwerpen segera berkembang karena letaknya sebagai pintu masuk ke Eropa Utara.

Dari Antwerpen inilah rempah kemudian diangkut ke Prancis, Inggris, Jerman dan bahkan hingga ke negara-negara Baltik.

Perjalanan jauh itulah yang membuat lada bernilai sangat tinggi. Bahkan saking tingginya, dalam tuntutannya penguasa Goth, Alarik menggunakan lada sebagai ukuran. Ia meminta 3.000 pon lada dalam perjanjiannya dengan orang-orang Romawi di tahun 408.

Lada menjadi alat tukar yang ideal dan berharga seperti terbuat dari emas. Biaya melintas, sewa, pajak, bahkan denda pengadilan dapat dibayar dengan lada. Lada bisa membeli tanah dan pulau, melunasi barang gadaian, serta membeli kewarganegaraan atau membiayai sepasukan bersenjata lengkap.

Wanita tercantik, kuda gagah, perhiasan indah hingga karpet mewah atau bulu hewan langka semua bisa dimiliki dengan lada. [TGU]

Baca juga: